Entahlah, aku bukan seseorang yang mampu mengutarakan apa yang ada dalam benak hatiku pada siapapun, bahkan kepada seseorang yang berarti untukku... Ia terkadang salah menangkap gerak-gerik yang ku lakukan. Alhasil ia merasa gagal dan aku merasa bersalah.
Aku masih termangu, menatap kekosongan pada pesan singkat itu. Kekosongan yang ku rasa mulai merasuki sebagian tubuhku, memacu rasa gelisah untuk terus bermunculan. Bagaimana tidak mematikan ketika moodnya tiba-tiba berubah menjadi mendung, untuk sekedar membalas pesan singkat saja ia memotong sedikit demi sedikit karakter hurufnya. Secara tak sadar otakku mulai bekerja secara keras untuk memecahkan mood buruknya yang bisa digambarkan bagai tsunami yang memakan banyak korban. Apalagi ketika ia mengutarakan bahwa akulah yang menjadi alasan mengapa ia seperti itu...aku cukup mati kutu untuk mendengarnya.
Satu hal yang sering ku takutkan ketika suasana mendung mulai ku lihat, ia meninggalkanku. Entah apa yang akan aku lakukan saat jejaknya mulai pergi menjauh. Tanganku masih mengetik kata demi kata yang mungkin bisa membantunya untuk tersenyum. Berharap itu bisa membantunya untuk tetap bertahan.
Rasanya seperti sudah jatuh tertimpa tangga ketika aku tahu kau mulai menunjukkan keacuhanmu lalu tiba-tiba aku mendengar kabar bahwa seseorang yang pernah mengisi harimu dahulu telah memutuskan hubungannya dengan lelaki yang telah ia pilih. Dan beberapa hari lalu kau katakan bahwa ia masih menghubungimu. Aku takut, takut kau menukar posisiku dengannya.
Tak terasa sesak dalam hati mulai mengais sebagian dalam diriku. Air mataku pun mulai mengalir membasahi pori-pori wajahku. Aku sadar, kau telah mengisi sebagian dari hatiku. Dan aku takut untuk melepasmu.