Seharusnya ada pemateri dari IDKita Kompasiana dan DNS Nawala pada sesi awal di hari terakhir (7/7) Teachers Writing Camp 2 di Wisma UNJ Jakarta. Namun ternyata para pemateri berhalangan hadir. Akhirnya dengan sigap Om Jay meminta bantuan seorang jurnalis Kompas Cetak yang kebetulan datang ke wisma UNJ. Beliau adalah mbak Esther. Dari jari-jemari mbak Esther-lah profil Wijaya Kusumah bisa nampang di rubrik sosok Kompas Cetak yang terbit pada bulan Mei. Mbak Esther adalah seorang wartawati yang sudah lebih dari 10 tahun mengabdi sebagai jurnalis. Dibalik tulisan-tulisannya yang lugas, mbak Esther juga menyimpan keinginan untuk lebih rajin ngeblog lagi. Dan disitulah keluar curahan hati seorang wartawati yang kalem dan percaya diri meskipun secara mendadak ditembak langsung oleh Om Jay untuk berbagi pengalaman selama menjadi juranalis di Kompas Cetak. Yang menarik adalah ada sebuah pertanyaan dari salah seorang peserta yang cukup menohok, namun demikian ternyata mbak Esther sudah terbiasa dan menyatakan bahwa pertanyaan seperti itu selalu muncul kembali di masa-masa sekarang bahkan mungkin masa akan datang. Kompas di Aceh kurang diminati, karena ada stigma yang berkembang bahwa Kompas membawa misi agama tertentu dalam pemberitaan di medianya. Namun demikian, mbak Esther menegaskan bahwa Kompas tidak sama sekali berafiliasi pada agama, suku, ras, bahkan organisasi tertentu dalam setiap pemberitaannya. Kompas dijaga agar bisa terus independen dalam segala pemberitaan. Apalagi jika ada sesuatu hal yang berkaitan dengan politik, pimpinan tertinggi akan langsung menindak dengan tegas bawahannya yang jelas-jelas bergabung dengan partai politik.
KEMBALI KE ARTIKEL