Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Melianus dan Dinamo Jengki

13 Maret 2011   08:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:50 228 3

18.30 WIT.

Aku mengakhiri pelajaran tambahan sore itu. Anak-anak berhambur menuju refter asrama, makan malam. Aku menuju parkiran, menghampiri si Biru, sepeda jengkiku.

Tiga empat kayuh, lampu si Biru mati. Aku berhenti di pintu gerbang asrama, memeriksa dinamo yang menempel di ban depan.

“Pak Guru, sepeda kenapa kah?”

“Eh, Melianus. Ko bikin kaget saja. Ini lampu sepeda saya mati.”

“Sa bantu bikin baik kah?”

“Ko tra makan kah? Ko pu teman su masuk refter semua tho?”

“Nanti, Pak Guru. Sa bikin baik Pak Guru pu lampu dulu.”  Ia pun mulai membongkar dinamo si Biru.“Pak Guru makan di asrama saja sudah. Biar sa bikin baik Pak Guru pu lampu.”

Aku pun menuju refter, ikut makan malam di asrama sambil menunggu Melianus memperbaiki lampu si Biru.

Makan malam selesai, Melianus menghampiriku, membawa dinamo yang sudah terbongkar dan jerigen minyak tanah. “Pak Guru, sa su tahu kenapa lampu tra mau menyala.”

“Apanya yang rusak?”

“Trada. Cuma minyak habis saja. Tapi sa tra tahu cara isi minyak, Pak Guru.”

“Oo, begitu. Ko pu logika bagus juga ee.... Tapi setahu saya memang tra pake minyak, Melianus. Ini dinamo namanya, bukan tempat minyak.”

“Ah, begitu kah? Baru bagaimana bisa menyala, Pak Guru?”

“Ko bawa dinamo ini sudah. Besok ko kasih tunjuk Pak Kirjo, ko pu guru fisika. Ko tanya dia ee... bagaimana ini barang pu cara kerja. Habis itu baru ko bikin baik.”

“Pak Guru, sa su bikin baik Pak Guru pu dinamo.”

“Iyo kah? Pake minyak tanah kah tidak?”

“Trada, Pak Guru. Sa su tahu dia pu cara kerja. Pak Guru Kirjo su ajar saya. Itu ternyata pake magnet dan kumparan, Pak Guru.”

“Ahaee..., ko pintar sekarang ee...”

“Ah, sa memang pintar, Pak Guru. Kemarin sa belum tahu saja.”

“Ko betul sekali. Belum tahu itu bukan tra pintar.”

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun