Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan Pilihan

Jika Tak Ada OTT, KPK Bisa Jadi "Komisi Pembiaran Korupsi"

8 September 2019   22:26 Diperbarui: 8 September 2019   22:28 75 4
Akhir-akhir ini, Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakuakan KPK banyak mendapat sindiran dari beberapa pihak. Tak hanya kalangan politikus di DPR, Presiden Jokowi pun juga melontarkan sindiran yang sama.

Dalam pidato kenegaraan di DPR RI, 16 Agustus lalu, Jokowi mengatakan, penegakan hukum yang keras harus didukung. Tapi keberhasilan bukan hanya diukur dari berapa kasus yang diangkat dan bukan hanya berapa orang dipenjarakan. Harus juga diukur dari berapa potensi pelanggaran hukum bisa dicegah; berapa potensi kerugian negara yang bisa diselamatkan.

Kritik serupa juga dilontarkan oleh Calon Pimpinan Komisi Pemberatasan Korupsi (Capim KPK)  yang saat ini sedang mengikuti seleksi untuk menjadi Pimpinan KPK periode 2019-2023.

Ketika Capim KPK dari unsur kejaksaan,  Johanis Tanak menilai langkah penanganan korupsi dengan melakukan OTT adalah langkah yang keliru, saya sempat memprediksi bahwa orang ini tidak akan lolos seleksi.

Namun saya salah. Johanis Tanak adalah satu di antara 10 nama Capim KPK yang dikirimkan ke DPR oleh Presiden Jokowi untuk disaring menjadi  lima nama yang nantinya akan jadi Pimpinan KPK periode ke-5.

Jika melihat indikasi upaya melemahkan KPK oleh presiden dan DPR (presiden tidak mau mencoret capim bermasalah -- DPR mau merivisi UU KPK), sepertinya Johanis Tanak yang tidak setuju adanya OTT ini akan mulus lolos menjadi Pimpinan KPK.

Lalu, apa jadinya jika   KPK tidak  lagi melakukan OTT?

Mengutip artikel Kompas berjudul 'Capim KPK Ini Sebut OTT Tindakan Keliru' yang tayang pada Rabu (28/8) lalu, apabila terpilih  menjadi pimpinan KPK, Johanis Tanak akan memberi masukan  kepada pimpinan lain bahwa sebaiknya KPK jika sudah mengetahui ada seseorang yang akan melakukan tindak pidana penyuapan atau korupsi, yang bersangkutan dipanggil dan ditanya kemudian membuat surat yang dikirim ke seluruh lembaga penegak hukum, termasuk Mahkamah Agung.

Sungguh, sebuah penalaran yang tidak bisa dicerna oleh akal yang waras (menurut saya). Lha wong orang mau korupsi kok dipanggil dan ditanya. Apa ada maling yang mengaku terus terang, 'iya pak, saya akan mencuri.'

Seseorang yang dipanggil dan ditanya tersebut sudah tentu tidak akan mengatakan akan menyuap/menerima suap atau akan korupsi dan sudah pasti akan siap membuat surat untuk di kirim ke seluruh lembaga penegak hukum.

Memangnya kalau sudah dipanggil, ditanya, dan membuat surat trus seseorang tersebut dijamin tidak melakukan tindak pidana penyuapan atau korupsi? Atas dasar apa KPK percaya bahwa seseorang tersebut tidak akan korupsi? Apa karena sudah dipanggil, ditanya, dan disuruh membuat surat?

Bagaimana kalau misalnya karena merasa KPK sudah percaya tidak akan melakukan korupsi  lalu   seseorang tersebut tetap melanjutkan rencananya untuk korupsi secara diam-diam? Dipanggil lagi, ditanya lagi, dan disuruh membuat suart lagi? Iya kalau ketahuan, kalau tidak? Atau, KPK akan membiarkannya?

Betapa bodohnya pimpinan KPK jika meniadakan OTT dan menggunakan cara seperti usulan Johanis  Tanak. Ingat! KPK adalah singkatan dari Komisi Pemberantasan Korupsi. Selama ini, cara yang paling ampuh untuk memberantas korupsi adalah dengan cara OTT.

Secara pribadi, saya sependapat dengan anggota Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah yang  menilai OTT justru menunjukkan performa KPK yang memuaskan dari sisi penindakan korupsi. Apalagi aktor yang ditangkap belakangan adalah orang penting alias politically exposed person.

Hemat saya, jika tidak ada lagi OTT, KPK akan jadi 'Komisi Pembiaran Korupsi'. Ingat, koruptor itu licin seperti belut. Juga seperti tikus, hobinya menggerogoti dari tempat tersembunyi.

Memang, dalam pemberantasan tindak pidana korupsi terdapat pencegahan dan penindakan. Jika bisa dicegah, tentu tidak perlu ditindak. Namun, apabila ada seseorang  melakukan korupsi  apakah KPK hanya cukup memanggil dan menanyai terduga pelaku dan menyuruh membuat surat, tanpa menangkapnya?

Di Indonesia tidak akan pernah ada koruptor, kalau KPK atau penegak hukum yang lain tidak menangkapnya. Seseorang akan disebut sebagai koruptor apabila tertangkap melakukan korupsi. Kalau tidak tertangkap, mereka tetap pejabat, mereka tetap wakil rakyat yang penampilannya bersahaja seolah tiada dosa.

Seperti kasus Romahurmuziy alias Romi itu. KPK tetap menghadiahi rompi oranye meski dia mengaku dijebak. Ya memang dijebak. Kalau tidak dijebak ya tidak akan ketangkap. Romi tidak akan bergelar koruptor jika KPK tidak menangkapnya.

Kasus Romi tentu akan berbeda jika KPK-nya KPK baru yang pimpinannya menggunakan cara seperti pandangan Johanis Tanak. Pasti dialognya juga akan sangat lucu dan konyol.

"Eh, Rom. Kamu terima uang suap, ya?"
"Enggak, Pak. Sumpah enggak!"
"Jangan terima uang suap lo, ya. Gak baik itu. Melanggar hukum. Nanti kamu bisa ditangkap."
"Iya, Pak. Saya tahu, kok."
"Ok. Kamu bikin surat ya. Kirim ke seluruh lembaga penegak hukum."
"Ashiap, Pak. Terima  kasih."


***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun