Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan Pilihan

Mestinya, Tak Ada Polisi dan Jaksa Jadi Pimpinan KPK

8 September 2019   14:30 Diperbarui: 14 September 2019   19:41 142 3
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, KPK bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. Lembaga anti rasuah ini didirikan berdasarkan Undang-Undang  Nomor 30 Tahun 2002  Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 6 huruf (b) UU Nomor 30 Tahun 2002 menyebutkan, Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai  tugas supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V, supervisi  mempunyai makna pengawasan utama; pengontrolan tertinggi. Artinya, kepolisian dan kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum konvensional, yang (juga) berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana  korupsi, berada di bawah pengawasan dan pengontrolan KPK.

Anehnya, dalam proses pemilihan pimpinan KPK periode 2019-2023, kedua institusi tersebut sepertinya ngotot mendudukkan orangnya di kursi pimpinan. Lebih aneh lagi, salah seorang anggota panitia seleksi ada yang berpendapat bahwa  calon pimpinan KPK harus berasal dari sebuah lembaga penegak hukum konvensional.

Lho, piye to? Bukankah dibentuknya KPK itu karena lembaga penegak hukum konvensional dinilai belum mampu memberantas korupsi secara maksimal? Bukankah publik lebih percaya KPK ketimbang polisi dan jaksa dalam hal pemberantasan korupsi?

Mestinya, tidak ada (unsur) kejaksaan dan kepolisian yang menjadi pimpinan KPK. Ngototnya kepolisian dan kejaksaan untuk menduduki kursi pimpinan patut dicurigai sebagai uapaya melemahkan KPK.

Apalagi, Johanis Tanak -- satu-satunya calon pimpnan  KPK dari kejaksaan  dengan konyolnya telah mengutarakan pendapat bahwa Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK selama ini keliru secara hukum.

Apa jadinya KPK kalau dipimpin oleh orang seperti ini. Padahal, KPK dengan OTT-nya telah banyak kali terbukti berhasil membongkar kasus pencurian uang rakyat. Hanya  KPK yang berani  membongkar kedok politikus busuk di lingkar kekuasaan.

Seandainya tidak ada KPK, saya yakin Romy akan aman-aman saja.

KPK adalah supervisor-nya kejaksaan dan kepolisian. Jika KPK dipinpin polisi dan jaksa , sama artinya mereka mengawasi dan mengontrol dirinya sendiri.

Sudah pasti akan ada konflik kepentingan ketika KPK menangani kasus di kepolisian atau kejaksaan.  Padahal sudah menjadi rahasia umum, banyak oknum jaksa dan oknum polisi yang terlibat kasus korupsi  dan hanya KPK yang mampu membongkarnya.

Masih segar dalam ingatan kita kasus Cicak versus Buaya. Sejarah telah membuktikan, kejaksaan dan kepolisian yang dipersonifikasikan sebagi buaya oleh Susno Duadji ternyata tidak tepat karena dalam perkembangan selanjutnya si buaya telah berubah menjadi tikus.

Sekali lagi, mestinya tidak ada (unsur) kejaksaan dan kepolisian  yang menjadi pimpinan KPK. Kepolisian dan kejaksaan mestinya sadar bahwa mereka berada di bawah pengawasan KPK. Logikanya, kalau kepolisian dan kejaksaan sudah becus bekerja memberantas korupsi, untuk apa dibentuk KPK? Jika ternyata KPK lebih bisa diharapkan memberantas korupsi, lha kok polisi dan jaksa mau duduk jadi pimpinannya?

Hemat saya, KPK akan lebih perkasa jika tidak dipimpin polisi dan jaksa. Meski demikian, harapan untuk menyelamatkan KPK sepertinya sudah sirna.  Presiden bisa mencoret nama capim bermasalah, tapi Jokowi tidak melakukannya. DPR malah lebih gila dengan rencananya merevisi UU KPK.

Sepertinya, saat ini kita tengah menyaksikan detik-detik kematian KPK.  Atau, kalau pun masih hidup, kita akan menyaksikan KPK mengalami impotensi karena DPR dan Presiden secara bersama-sama dengan sengaja mengebiri.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun