Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

[True Story] Diary Kodel dan Oyosh (Part 1): Awal Persahabatan

1 Oktober 2013   10:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:09 139 0

Kisah ini pernah aku publikasikan di Fidelia Bercerita

Namaku fidelia anak Bapak Harry sama Ibu hmmm.. Ibu.. hmm... Ibu Harry (yaaakkkk...! nama emak sendiri lupa.. parah) aku baru saja masuk kekantor ini. Kantor yang berdiri megah diantara kali dan museum. (tiba-tiba aku ngebayangin kantor aku kayak diatas perahu) bukaaaannn.. bukan itu... haddeehhh.. gimana ngejelasinnya ya??

Mikir..

Masih mikir...

Baru nyadar daritadi Cuma ngebayangin pohon kelapa sama mobil angkot. *maaf pemirsa daya khayal aku kurang bagus, kadang-kadang ga nyambung tapi biarlah kita coba kembali.

tadi sampai mana ya?

Oh iya.. kantorku terletak di daerah kota tua jakarta barat, dimana setiap sore aku merasa sedang piknik saat pulang kantor. Kenapa?? Karena halaman kantorku akan berubah jadi pasar malam setiap jam 5 sore, mobil-mobil para bos harus segera menyingkir dari halaman atau akan bernasib menjadi gantungan pakaian dalam yang diobral 50ribu tiga biji. Hmm.. yang dijual celana dalam kenapa dapetnya jadi biji??

Ya sudahlah itu urusan abangnya sama pembeli celana dalam, kenapa kita harus repot ikut mikirin?? Ya kan?? Bener ga?? *sambil ngebayangin muka abangnya...

Siang itu aku baru saja diterima seminggu jadi pegawai, manajerku meminta aku untuk mengirim faks. Berhubung dirumah ga pernah punya mesin faks, secara benda paling canggih Cuma mesin cuci dan kompor gas. Jadi aku sama sekali ga tau bagaimana cara mengoperasikan mesin canggih yang bisa mengeluarkan kertas dari dalamnya itu.

“ada apa ya mba?” tanya seorang perempuan yang sedari tadi memperhatikan gerakanku yang lebih mirip mau senam ketimbang mau kirim faks.

“eh.. mau kirim faks.. tapi aku ga tau caranya..” perempuan yang belakangan aku tahu namanya mba Dewi itu tersenyum sambil menahan ketawa.

“sampai besok juga ga bakalan ke kirim faksnya.. kan mesin faks yang itu error.. kalau mau pakai punya pemasaran aja.. minta tolong sama Yoshi..”

Aku terhenyak kaget dan pura-pura sok keren.. “oowwhh pantesan.. hahaha...” mba Dewi sepertinya tahu ketawaku dipaksa, tapi dia cuek aja ga peduli sambil kembali nerima telpon yang berbunyi dimejanya.

Aku berputar-putar mencari ruang pemasaran tapi tetap saja aku tidak bisa membaca tanda-tanda ada tulisan “PEMASARAN” diruangan itu.

“maaf Bu, ruang pemasaran dimana ya?” seorang perempuan paruh baya yang aku tanya hanya menunjuk meja tepat dibelakang punggungku tanpa bicara sepatah kata pun. Mejanya kosong aku tak melihat ada mahluk satupun disitu.

“kalau Yoshi yang mana??”

Perempuan itu kembali menunjuk kearah perempuan muda berkacamata, berbadan mungil dan berhijab. Ya Tuhan.. aku pikir Yoshi itu laki-laki ternyata seorang perempuan? pantesan aja aku ga bisa lihat dia duduk disitu. Secara mataku Cuma bisa kebuka lebar kalau ada cowok ganteng doang. Hahahah...

“hhmm... mba.. permisi.. aku mau ngefaks..”

“oh.. pake aja..” Perempuan bernama Yoshi itu Cuma tersenyum sekilas dan kembali konsentarsi ke komputernya.

“sstt.. sstt.. tolong mba.. aku ga bisa..” aku kembali menghampirinya dan setengah berbisik, tiba-tiba aku melihat senyumnya mengembang lebar seakan aku adalah korban Bully selanjutnya.

“sini.. mana nomor faks nya..” dengan bangga dan angkuhnya dia mengambil kertas dari tanganku berikut kartu nama yang aku pegang.

Teeett.. teeett.. teeett...

Kertas yang dimasukan Yoshi kedalam mesin itu keluar lagi dari lubang yang berbeda. Betapa takjubnya aku melihat keajaiban benda yang berada dihadapanku ini.

“selesai...” Yoshi mengembalikan kertasnya ketanganku dan kembali duduk dimejanya.

“maksud aku.. aku mau belajar ngefaks...”

“tadi katanya mau kirim??”

“iya, tapi aku diajarin..”

Yoshi menghela nafas dan kembali menghampiriku, diajari dengan perlahan bagaimana caranya mengirim faks langkah demi langkah. Aku tak memperhatikan apa yang yoshi ajarkan, aku Cuma memikirkan darimanakah kertas itu lewat.

“sudah..” katanya dengan riang gembira tetapi matanya terlihat sedikit kesal. Aku mengangguk dan tersenyum, dalam hatiku bangga minta ampun bisa melihat proses teknologi tingkat tinggi mengirim data menggunakan kertas.

***

Seperti biasa kereta setiap jam pulang kerja akan penuh dan sesak, tapi aku tak pernah kalah semangat. Aku sudah terdidik harus sekuat laki-laki meski pada akhirnya aku akan merengek karena taksanggup menjadi laki-laki. Helooww?? Aku perempuan?? Masa harus ikut dorong-dorong angkot mogok??

Aku melihat sosok bernama Yoshi tadi sedang duduk manis disalah satu kursi dalam gerbong kereta ber AC yang kami sebut commuter line itu. Huuffhh... enak banget ya bisa duduk.. pegel banget berdiri begini. Sepertinya Yoshi sadar aku memperhatikannya daritadi, dia melemparkan senyum penuh kemenangan saat aku mulai terhimpit lautan manusia yang bergerak masuk secara brutal dari stasiun Gondangdia. Aku tak dapat melihat perempuan menyebalkan itu lagi karena sudah terhalang banyak orang dan bau ketiak yang menyengat.

“hai.. kita satu arah ya? Naik dua dua juga?” saat aku berhadap-hadapan dengan Yoshi di angkutan umum bernomor 22A menuju pondok gede.

Yoshi menatapku heran dan mencopot earphonenya. “kenapa?” tanya nya pelan dan manis. Beuuhh.. aku daritadi berkicau, kuping nya malah di sumbat sama musik dari handphone miliknya.

“naik 22 juga??” ulangku lebih singkat, dirinya mengangguk pelan.

“tapi aku mau ke mall buaran..”

“owwh.. belanja?”

“ada yang mau dibeli..”

Aku terdiam menatap jendela belakang yang kebetulan menempel dengan pipiku karena padatnya penumpang, Yoshi mengeluarkan dua lembar ribuan.

“duluan yaa..”

“oh. Ya..”

Aku mulai mengeluh atas ketidakramahan minggu pertama aku bekerja ini.

“neng mau turun dimana?” supir angkutan umum itu membuyarkan tidur soreku.

“rumah sakit bang..”

“rumah sakit mana?? Duren sawit atau yadika?”

“duren sawit..”

“udah lewat neng...”

“kalau gitu yadika..”

“udah lewat juga..”

“ini dimana?”

“mau kepangkalan jati, ini ada klinik Ellya..”

“ya udah bang turun sini aja..”

“neng kalau sakit bilang, nanti kan abang ingetin mau turun dimana..”

Aku seakan-akan terhipnotis dengan kata-kata romantisnya yang belum pernah aku dengar bahkan dari pacarku yang rocker itu. Aku tersenyum dan memberikan ongkos dengan tergesa-gesa takut bisa jatuh cinta kalau lama-lama dalam angkot ini.

Otakku berputar keras berusaha memahami ucapan supir angkot romantis tadi “siapa yang sakit??” pikirku dalam hati. Lalu aku tersenyum saat menyadari bahwa tigaakses menuju rumahku adalah rumah sakit Duren sawit, Rumah sakit yadika atau Klinik Ellya. Huh... pantes aja tadi si abang bilang aku sakit.. rupanya rumahku diapit oleh tiga jalan besar menuju rumah sakit.

***

Itulah awal perkenalanku dengan mahluk yang bernama Yoshi, akhir-akhir ini aku menyebutnya Oyosh karena dia dengan songong dan lantangnya memanggilku dengan sebutan Kodel dihadapan semua orang. Tiga bulan aku menjadi anak baru dikantor ini membuat pertemanan kami yang semula biasa aja jadi lebih nempel. Entah bagaimana kami bisa akrab dan sedekat ini seperti upin dan ipin, seperti spongebob dengan patrick, seperti dumb and dumber, seperti sepatu dan jempol kaki.

Entahlah..

“gue mau ke mall buaran...” ucapku mengawali pembicaraan kami di sore itu dalam angkot.

“gue juga..”

“iya?? Beneran?? Waaaww.... “ tiba-tiba aku histeris mendengar pernyataan itu seolah meyakinkan bahwa kami mulai sehati.

“lo mau beli apa??”

“makan”

“sama gue juga.. hahahahah...”

“waaaa..... hahahahaha...” seluruh penumpang angkot sebenarnya mulai risih mendengar pembicaraan kami yang sama sekali ga berbobot dan berisik seperti angkot itu milik berdua.

“gue mau beli hair dryer...” aku menambahkan dengan nada anak A be ge jaman sekarang yang serba lebay dan mulutnya yang mangap lebar kalau bicara.

“gue juga...” kata Oyosh dengan hebohnya, kami saling menggenggam dengan mata berbinar binarpersis dua manusia yang baru saja dapat undian satu milyar.

“buaran..”

Suara supir angkot menyadarkan kami yang masih saling menggenggam, seketika aku mendengar helaan nafas panjang dari beberapa penumpang angkot. senyuman lega juga terlihat dari wajah mereka...mungkinkarena kami sudah keluar dari angkot yang mereka naiki.

“mereka kenapa ya Yosh??”

“aahh.. biarkan saja.. mungkin mereka kagum sama kita..”

“oohh My God... serius lo?”

“iyaaa... “

“ya ampun yoshi... kok tiba-tiba gue jadi ga siap terkenal gini yaa??? “

“its oke kodel... stay cool..”

Kami pun berjalan bergandengan tangan, senyum seanggun mungkin dan berjalan layaknya paris hilton dan Nichole richie.

“Yosh... jangan sampai mereka tahu kalau kita terkenal ya...”

“baiklah.. kita harus pura-pura seperti rakyat biasa”

“hmm.. iya.. bagus..”

***

(bersambung)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun