Sedikit mengingat kembali sebuah desa kecil dimana aku masih menikmati pagi bersama Ibunda. Pagi yang masih buta. Dukuh singkil masih memiliki suasana segar. Suasana yang berbeda sekali jika dibanding dengan daerah seperti pasar jangkrik Jakarta. Kabut tipis masih akrab menyelimuti sepanjang jalan utama daerah Telukan Parangjoro. Dukuh singkil tepat di antara Telukan Parangjoro. Sejak aku lahir gunung Lawu sudah bisa terlihat dari samping rumahku. Meski berjarak lima puluhan kilometer gunung lawu dengan kotanya Tawangmangu masih terlihat urutan jalannya. Terlihat dari tempatku berdiri jalan menuju ke Tawangmangu seperti ular naga putih yang meliuk-liuk. Kalau malam hari ular naga putih tersebut berubah menjadi ular kuning yang liukannya tidak berubah. Itulah lampu-lampu sepanjang jalan.
Jalan utama singkil tetap bernama jalan desa Parangjoro. Singkil hanya sebuah dukuh kecil. Andai kuperkenalkan Singkil sebagai tempat asalku banyak yang tidak tahu. Parangjorolah yang lebih cepat dikenal. Parangjoro termasuk desa yang sudah mendapatkan sentuhan karya dari tangan-tangan hebat dimana aneka jenis mebel antik dan modern banyak diproduksi. Sebagian daerahnya memiliki warga yang bermata pencaharian membuat gitar dan wayang. Banyak sudah karya-karya dari Parangjoro yang go public dan go international. Sebagian penduduk asli juga banyak yang menggantungkan hidupnya dengan bercocok tanam. Bercocok tanam atau bertani sepertinya keahlian turun temurun yang lebih banyak dikuasai oleh sebagian besar penduduk daripada mebel, wayang maupun gitar.
Sungai Bengawan Solo menjadi penyekat antara desa Parangjoro itu sendiri dengan desa di sebelah baratnya. Sekitar tahun sembilan puluhan sebuah proyek bernama Proyek Bengawan Solo atau PBS mulai membendung sungai Bengawan Solo purba dan memindahkan alirannya ke sebelah barat sekitar tiga kilometeran jaraknya. Konsep dipindahkannya aliran adalah untuk meluruskan jalur sungai. Sebelumnya memang Bengawan Solo purba terkenal dengan jalur yang tidak lurus yang pada musim penghujan bisa saja menjadikan banjir di seputarnya. Meskipun proyek itu dimaksudkan untuk memikirkan kesejahteraan rakyat tetap saja masyarakat setempat ada yang merasa terusik. Baru setelah semua terealisasi orang-orang baru merasakan sendiri manfaatnya.
Pagi itu aku sudah harus bangun dan menghadapi kehidupan. Aku tidak boleh terlihat lemah di kala menyongsong pagi. Ibuku selalu risih jika melihatku masih membiarkan mata tertutup. Menurutnya setiap hari aku harus berkarya. Semua itu diawali dengan membuka mata. Padahal bagiku membuka mata di pagi hari buta lebih berat daripada membajak sawah milik ayah. Bagaimanapun juga dalam urusan membuka mata ibuku lebih mempunyai power. Jangan salah, hanya karena aku tidak mau membuka mata bisa jadi sarapan pagi diawali dengan pidato resmi khusus.
“Heh … sudah siang, lekas bangun. Jangan sampai kau terdeportasi oleh alam gara-gara bangunmu didahuluin oleh matahari!”.
Pidato berikutnya bisa saja berbeda. Intinya sama yaitu agar aku segera bangun.
“Ayam saja pagi buta sudah ceker-ceker cari makan kok, kamu yang dikasih akal malah angot-angotan. Awas rejekimu dipatok ayam nanti”. Kalimat seperti itu yang lebih sering dilontarkan padaku.
Percaya atau tidak bertahun-tahun aku belum bisa membuktikan bahwa bangun pagi itu pilihan yang menarik. Aku selalu beranggapan bahwa bangun pagi itu adalah mengurangi nikmatku bermanja-manja di balik selimut. Bagaimanapun juga aku harus tetap bangun. Bukan karena ada yang menarik, tetapi lebih dari mengindari ultimatum yaitu tidak ada sarapan. Ultimatum itu seperti menjadi hal yang berbahaya bagiku. Aku tidak ingin telor dadar yang dicampur dengan tepung, irisan daun bawang dan cabe rawit musnah begitu saja.
Dengan susah payah kubuka mata juga pagi itu. Ternyata suasana masih sama seperti menjelang tidur semalam. Lampu di ruangan kamar tamu masih menyala. Di luar masih gelap yang hanya bersinarkan lampu taman. Udara pagi dingin menusuk. Bedanya dengan semalam, pintu rumah saat ini sudah terbuka lebar. Angin segar menerobos masuk mengganti udara yang terdapat asap obat nyamuk bakar merek domestos dari salah satu ruangan kamar. Setelah berhasil mengerjakan sholat shubuh aku menekan tombol aktif yang terpasang ditubuhku. Rutinitas pekerjaan rumah kulakukan berulang-ulang setiap harinya. Saking berulangnya akupun seperti sudah tidak perlu mikir untuk mengerjakan apa yang harus kukerjakan. Karena itulah aku mengistilahkan diriku sendiri bahwa aku adalah robot yang mempunyai tombol on off. Seolah-olah Jika ingin aktif tinggal kutekan tombolnya.
Suasana pagi seperti itu hilang. Pagiku di rumah dukuh Singkil sudah tidak ada lagi ultimatum dan sudah tidak ada lagi telor dadar favorit yang disajikan oleh beliau. Beberapa waktu lalu ibu pulang ke rahmatullah. Robot dalam diriku seperti sudah hilang aliran listriknya. Meskipun diganti dengan battery atau accu, tombol on off nya seakan ngadat. Aku rindu pagi bersama ibu. Aku rindu pidato resminya yang khas. Aku tahu meskipun kubuka mataku yang beratnya melebihi rolling door rusak, pagi bersama ibu seperti ada sensasi. Atau kalau boleh kukatakan lebih tepatnya perhatian dan kasih sayang. Sesuatu yang alami yang sengaja diperuntukkan untukku. Dipersembahkan untukku. Sebagai bantuan dan sebagai pengarahan untuk menyongsong nilai kehidupan.
Aku baru menyadari bahwa keindahan pagi itu bukan terletak pada keberhasilan membuka mata saja. Lebih dari itu. Pesan yang disampaikan ibuku kuterima terlambat. Kusadari pesannya justru di saat ia sudah tiada. Indahnya pagi itu ternyata baru bisa dirasakan dengan hati. Hatilah yang harus menyambut. Hatilah yang akan menggenggam manfaat semua pagi. Pekerjaan rumah yang berulang yang lebih kuserahkan pekerjaannya kepada robot di dalam diriku ternyata bermakna. Harusnya selama ini kulakukan dengan hatiku, bukannya robot mentang-mentang pekerjaan yang dilakukan berulang-ulang. Harusnya dengan hatiku semua itu kulakukan. Sebenarnya rutinitas itu hanyalah simbol jikalau diterjamkan aku harus banyak berkarya mulai dari pagi. Bukan hanya memegang sapu dan pel untuk membersihkan rumah saja kemudian tugas usai.
Perlahan semangatku mulai membenahi sikap. Mulai bisa menerima pagi itu dan pagi berikutnya, walaupun ibunda tidak lagi bersama. Ternyata peran ibu dulu di setiap pagi hanyalah membantu membuka jalan, agar aku bisa menyaksikan dan merasakan bahwa Gusti Allah memberi awalan waktu untukku berkarya. Tinggal aku mau membuka mata atau tidak.
Pagi bersama ibu di dukuh Singkil telah menghujam dalam hati. Memberi arti yang dalam, yang karenanya dapat kubawa kemana pergi yang di setiap kesempatan selalu memberi aroma harum bagiku dan perasaan semakin takjub akan kebesaran Gusti Allah.
Ingin aku menceritakan padanya bahwa aku berhasil mendahului matahari bangun di sebuah kota di Australia, yaitu kota Brisbane. Aku tersenyum di pagi itu dengan penuh pengertian bahwa baru saja Gusti Allah sekali lagi memberi awalan waktu padaku untuk berkarya. Pagi itu aku berada di pinggir sungai yang sepanjang pinggiran sungai dibentuk taman yang digunakan untuk wahana berlari pagi bagi penduduk Brisbane.
Terlihat dari tempatku jam digital besar di atas gedung dekat baliho bertuliskan Hitachi menunjukkan angka 04..38. Subhanallah … Maha Suci Allah dengan segala ciptaanya. Aku di Brisbane menjemput pagi tepat di deretan water taxi ditambatkan. Aku tengah dalam petualangku. Saat aku mendapat libur dua hari karena kapal pesiar yang membawaku ke Australia tengah dry dock. Istilah dry dock kalau untuk kendaraan adalah turun mesin.
Untukmu ibu!! karyaku berikut ini di sebuah pagi…
Semilir angin pagi, menambah aku hanyut dalam keadaan yang lebih tenang.
Dua menit lalu kulihat jam digital besar diatas gedung dekat dengan tulisan HITACHI 04.38.
Menit berikutnya bukan waktu lagi yang kuingat..
Tetapi kosong...
Kemudian mencerna...
Memahami...
Mendeteksi alur nafas yang perlahan tertarik rapi dan keluar los.. apa adanya...
Keheningan....tetap terjaga...
Sesekali hembusan angin dari atas permukaan air di depanku mencoba menggugah rasa.
Untuk menimbulkan pertanyaan yang berbagai bentuk...
Naluri mempertahankanku untuk tetap relaks, enjoy...
Siapakah aku...? pertanyaan itu yang paling membabi buta dan ngotot muncul
Belum terucap jawaban
Untuk siapa aku...? nerocos mengikuti
Kembali berusaha menjawab
Mau kemana aku setelah mati...?
Dalam diam kutemukan berbagai Intropeksi...dan diamku ternyata tidak kosong...
Aku bergumam dengan kekuatan hati yang ingin mendekat....dan bersama -NYA.
Benar-benar luar biasa...sampai aku dapatkan Sesuatu yang damai...
Sesuatu yang tidak menuntut....
Dan kesimpulan ini terumus menjadi bagian dari pemahaman diriku
Bahwa ada saat dimana aku bisa bersama-NYA...
Bahwa aku bisa mengadu pada-NYA, kapan saja..
Di Solo, di dunia porthole, di apartemen kecil Michigan sana, di kamar yang kusewa, di kediaman dan di belahan dunia manapun... dan ingin kulakukan itu dimana saja...”
(Brisbane Australia)
Adi MedWist