Oleh Abdul Fickar Hadjar
Pengantar
Ada dua sistem hukum acara pidana yang berkembang di dunia, yang didasari oleh tradisi common law dan tradisi civil law. Tradisi Civil Law dengan sistem hukum acara inquisitorial, dan tradisi Common Law dengan sistem hukum acara accusatorial.
Dalam sistem akusatorial posisi Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan Terdakwa sederajat, mereka “bertanding” (contest) dengan hakim sebagai wasit (referee). Dalam sistem inkuisitorial, maka hakim berubah dari seorang “impartial referee into an active inquisitor who is free to seek evidence and to control the nature and objective of the inquiry”. Pertandingan berubah menjadi individu Terdakwa menghadapi Negara (diwakili JPU).1)
Sistim hukum Indonesia digolongkan termasuk tradisi civil law, karena itu tidak mengherankan jika hukum acara pidana sebelum lahirnya KUHAP 1981, yaitu HIR (stbld Th. 1941 No. 44 jo UU Darurat Tahun 1951 No. 9)2) , menempatkan tersangka/terdakwa sebagai objek juga sangat minimal penghargaan terhadap hak asasi manusia, dan pada zamannya KUHAP 1981 menjadi undang-undang fenomenal yang disatu sisi melindungi harkat martabat manusia dan di sisi yang lain melindungi kepentingan dan keteriban masyarakat, meskipun peran hakim tetap sebagaimana system inkuisitorial.
Kini berdasarkan pertimbangan-pertimbangan antara lain untuk lebih memberikan kepastian hukum, penegakan hukum, ketertiban hukum, keadilan masyarakat, dan perlindungan hukum serta hak asasi manusia, baik bagi tersangka, terdakwa, saksi, maupun korban, serta telah diratifikasinya beberapa konvensi internasional yang berkaitan langsung dengan hukum acara pidana, maka hukum acara pidana ic KUHAP 1981 perlu disesuaikan dengan materi konvensi tersebut. Dari beberapa substansi perubahan atau penyesuaiannya meski secara umum terdapat apresiasi yang lebih terhadap HAM terdakwa, korban maupun masyarakat, ternyata juga terdapat beberapa hal yang dalam perspektif pemberantasan korupsi sangat merugikan.
Demikian juga halnya dari beberapa diskusi (termasuk juga ILC), perubahan KUHAP 1981 setidaknya juga didorong dan distimulasi oleh banyaknya “ruang abu-abu” pada tingkat penyelidikan, penyidikan dan pra penuntutan, yang oleh para oknum yang nakal dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi pribadinya. Kejahatan juga bisa lahir dari sebuah system yang tidak adil. Karena itu perubahan yang ektrim dalam RUU KUHAP diantaranya terdapat pada institusi hukum dalam lingkup penyidikan dan penuntutan, antara lain dihilangkan (disatukannya) lembaga “penyelidikan” dengan penyidikan, dikuranginya masa tahanan dalam lingkup penyidikan dan penuntutan yang hanya menjadi 7 (tujuh) hari, perizinan penyadapan, dan kemudian juga diperkenalkannya “Hakim Komisaris” sebagai pengganti institusi “praperadilan”.
Materi-materi perubahan dalam RUU KUHAP yang tidak kalah signifikannya adalah tentang system yang digunakan dalam persidangan yaitu Acara pidana yang dilaksanakan secara wajar dan perpaduan antara sistem hakim aktif dan para pihak berlawanan secara berimbang (Pasal 4). Sistem hakim aktif sebagai konsekwensi system pembuktian undang-undang secara negative, mewajibkan hakim mencari kebenaran hakiki didalam membuktikan kesalahan terdakwa dengan cara menggabungkan terpenuhinya pembuktian menurut undang-undang dengan alat bukti yang sah dan keyakinan hakim. (217 KUHAP). Dalam konteks KUHAP 1981, kedudukan hakim sejalan dengan tugas penuntut umum yaitu membuktikan dakwaan dengan alat bukti yang sah menurut UU sebagaimana pernyataan Prof Boy Mardjono hakim lebih mengidentifikasikan dirinya sebagai JPU ketimbang sebagai wasit. Dengan perpaduan antara “system hakim aktif dan para pihak berlawanan secara berimbang , ada pergeseran peran hakim pidana, selain sebagai berperan aktif dalam mencari kebenaran materiil juga bertindak sebagai wasit bagi dua pihak yang berlawanan dipersidangan, yaitu JPU dan Terdakwa.3)
Beberapa masalah dalam RUU KUHAP
Mengacu pada TOR, ICW mengidentifikasi beberapa permasalahan yang akan timbul dari RUU KUHAP dalam pemberantasan korupsi, antara lain :
-Eksistensi KPK dan Pengadilan Tipikor dalam RUU KUHP;
-Hilangnya (disatukannya) lembaga “penyelidikan” (dengan penyidikan) yang akan berpengaruh pada hilangnya beberapa kewenangan lain (penyadapan, pencekalan, pemblokiran bank);
-Hakim Komisaris, terutama kewenangan menangguhkan penahanan dan menghentikan perkara;
-Putusan bebas tidak dapat di kasasi;
-Putusan Mahkamah Agung tidak boleh lebih berat dari putusan peradilan di bawahnya;
Sebagaimana judul diskusi ini “Merancang KUHAP yang Berpihak pada Pemberantasan Korupsi”, berdasarkan urutan permasalahan diatas, maka jika dikemukakan dalam bentuk pertanyaan umum: sejauhmana RUU KUHAP tidak menjadi hambatan, bahkan dapat mendorong optimalisasi pemberantasan korupsi terutama yang dilakukan oleh KPK ?
Tentang Eksistensi KPK & Pengadilan Tipikor dalam RUU KUHAP
KUHAP adalah seperangkat hukum pidana formil, yang mengatur cara dan prosedur hukum dalam mengajukan, memeriksa, memutus dan melaksanakan putusan terhadap pelaku tindak pidana, sehingga menjamin terlaksananya hukum materil (KUHP) melalui lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan. Demikian juga meski pengaturan mengenai tindak pidana tidak hanya ada dalam satu undang-undang (KUHP) atau tidak terunifikasi, tetapi KUHAP sebagai hukum procedural juga berlaku bagi tindak pidana lain yang diatur undang-undang diluar KUHP, kecuali undang-undang tersebut mengatur lain (lex specialis derogate lex generalis).
KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah lembaga penegakan hukum yang dilahirkan pasca reformasi sebagai jawaban terhadap tidak optimalnya lembaga-lembaga penegakan hukum khususnya di bidang pemberantasan korupsi dan masing-masing diatur dalam undang-undang tersendiri. Pengadilan Negeri Tipikor masuk dalam kelompok pengadilan khusus sebagaimana dimaksudkan dalam UU Kekuasaan Kehakiman yang merupakan bagian dari Pengadilan Negeri, sedangkan KPK meski sebagai penegak hukum mandiri namun aparatnya masih disuport oleh lembaga penegak hukum lainnya seperti polisi dan Jaksa.
Beberapa ketentuan dalam perundang-undangan, kiranya dapat menjawab atau memberikan gambaran mengenai eksistensi KPK dalam RUU KUHAP:
RUU KUHAP
1.Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negera Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri tertentu, atau pejabat lain yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan dalam mencari kebenaran materiel dengan cara mengumpulkan bukti-bukti yang dengan bukti tersebut menjadikan terang tindak pidana yang terjadi dan menentukan tersangkanya. (Pasal 1 butir 2)
2.Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan pengadilan atau penetapan hakim.(Psl 1 butir 4)
3.Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. (Psl 1 butir 5)
UU No. 20 Tahun 2003 tentang KPK
1.Penyelidik adalah Penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (Psl 43 ayat 1);
2..Penyidik adalah Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi; (Psl 45 ayat 1)
2. Penuntut adalah Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi; (Psl 51 ayat 1)
3. Penuntut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jaksa Penuntut Umum (Psl 51 ayat 3)
Dari ketentuan tersebut dalam RUU KUHAP terdapat kalimat yang menyebut: pejabat lain yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan, hal ini berarti ada ketentuan yang mengakomodir keberadaan Penyidik KPK yang bukan kepolisian yang diberikan kewenangan menyidik oleh UU. Dengan kata lain dalam konteks ini eksistensi KPK diakui.
Apakah ketentuan yang tidak memuat nomenklatur KPK ini dapat ditafsirkan sebagai upaya pelemahan pemberantasan korupsi atau setidaknya terkesan meniadakan KPK ?
a). pemuatan sebutan “pejabat penyidik KPK” secara ekplisit dalam ketentuan Pasal tersebut, , maka akan mensejajarkan kedudukan KPK sebagai penegak hukum bersama kepolisian, kejaksaan dan pengadilan (Negeri, Tinggi dan Mahkamah Agung).
b). sebagai konsekwensi penyebutan secara ekspilsit tersebut, maka KPK menjadi lembaga penegakan hukum yang permanent (tetap) dan ini berarti harus diberikan argument yang kuat bagi eksistensi KPK sebagai penegak hukum yang tidak ad hoc, menggantikan argument (konsideran UU KPK) bahwa KPK dibutuhkan karena lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi (penegak hukum lain) belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Tentu saja argument harus dibangun secara komprehensif baik dari sisi filosofis, sosiologis dan tentu saja yuridis.
Namun demikian penjelasan Pasal 6 huruf c tentang “Penyidik dan Penyidikan” RUU KUHAP menyebutkan :
Yang dimaksud dengan "pejabat suatu lembaga yang ditunjuk secara khusus menurut undang-undang tertentu yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan", ialah:
-Kejaksaan yang berwenang menyidik pelanggaran berat Hak Asasi Manusia, korupsi dan lain-lain;
- Komisi Pemberantasan Korupsi yang berwenang menyidik tindak pidana korupsi; dan
-Perwira Angkatan Laut yang berwenang menyelidiki pelanggaran di Zona Ekonomi Eksklusif.
Menurut saya, meskipun penyebutan KPK hanya dalam penjelasan undang-undang, tanpa menapikan upaya mendudukan KPK sebagai penegak hukum permanen di bidang pemberantasan korupsi, kiranya secara minimal sudah ada pengakuan (recognition) bagi KPK sebagai penegak hukum.
Tentang hilangnya lembaga “penyelidikan”
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Dari kegiatan penyelidikan ini dapat ditemukan atau tidak “bukti permulaan yang cukup”. Jika tidak ditemukan, maka KPK akan menghentikan kegiatan penyelidikan. Sebaliknya jika ditemukan bukti permulaan yang cukup, KPK akan melaksanakan “penyidikan” sendiri terhadap perkara korupsi yang telah ditemukan bukti permulaan yang cukup tadi. Namun demikian dapat juga KPK melimpahkan perkara tersebut kepada penyidik kepolisian atau kejaksaan, dalam hal dilimpahkan, maka kepolisian atau kejaksaan wajib melaksanakan koordinasi dan melaporkan perkembangan penyidikan kepada KPK.
Aktivitas penyelidikan inilah yang banyak melahirkan banyaknya tindak pidana korupsi yang tertangkap tangan, karena memang dalam konteks penyeleidikan ini KPK mempunyai kewenangan untuk menyadap, memerintahkan pencekalan, pemblokiran bank dan lainnya, sehingga dengan kewenangan inilah KPK melakukan banyak operasi Tangkap Tangan (OTT). Keberhasilan KPK selama ini umumnya berasal dari proses penyelidikan yang dilakukan, dan jika lembaga “penyelidikan” ini dihilangkan, maka akan sulit bagi KPK menangkp banyak koruptor dimasa yang akan dating.
Dalam sebuah diskusi, beberapa orang penyusun RUU KUHAP (al Prof. Andi Hamzah) menyatakan bahwa lembaga “penyelidikan” tidak dihapus hanya digabung dengan “penyidikan” dan salah satun alasanya menghilangkan “ruang abu-abu” yang banyak dimanfaatkan oknum-oknum. Argumen ini dapat diterima, jika dalam konteks pemberantasan korupsi, KPK juga diberikan kewenangan penghentian penyidikan (SP3), namun kenyataannya berdasarkan UU KPK tidak mempunyai kewenangan untuk menghentikan penyidikan. Berbeda halnya dengan penyelidikan yang belum masuk pada “ranah projustisial” KPK dapat menghentikan.
Apakah penghilangan lembaga penyelidikan atau penyatuan dengan lembaga penyidikan dalam RUU KUHAP berpotensi “membunuh” atau setidaknya melemahkan KPK ?
Untuk menjawab pertanyaan ini, setidaknya ada dua alternatif yang dapat dilakuan:
1.Dalam ketentuan Pasal 39 ayat (1) UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan:
“Penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan dan berdasarkan undang-undang hukum acara pidana yang berlaku (ic KUHAP-red) dan berdasarkan Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
Dengan ketentuan ini, dapatlah ditafsirkan bahwa apa yang tidak diatur (atau dihilangkan) dalam hukum acara pidana (KUHAP) dan UU No. 31 tahun 1999, tetapi diatur dalam UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka ketentuan-ketentuan khususnya mengenai “penyelidikan” harus tetap berlaku, sepanjang belum dibatalkan. Keberlakuan ini didasarkan pada pengecualian dan berlakunya asas lex specialis derogate lex generalie, sehingga baik “eksistensi lembaga penyelidikan”: maupun kewenangannya (menyadap, memerintahkan pencekalan, pemblokiran bank dan lainnya) tetap berlaku.
2.Dibuat ketentuan bahwa karena peranan KPK yang khusus dalam menangani korupsi di Indonesia, maka dalam hukum acara pidana yang berlaku untuk KPK tetap dilengkapi dengan lembaga “penyelidikan”.
3.Memperkuat kemampuan sumber daya manusia KPK khususnya di bidang penyidikan dan menyusun prosedur-prosedur yang memungkinkan tindaka-tindakan penyelidikan dapat dilakukan dalam keadaan tertentu (mencekal tanpa izin dsb).
Tentang Hakim Komisaris
Dalam Pasal 1 butir 7 RUU KUHAP, Hakim Komisaris didefenisikan sebagai pejabat yang diberi wewenang menilai jalannya penyidikan dan penuntutan, dan wewenang lain yang ditentukan dalam Undang-Undang. Lembaga ini untuk menggantikan lembaga praperadilan yang selama ini belum berjalan sebagaimana mestinya, Hakim Komisaris ini pada dasarnya merupakan lembaga yang terletak antara penyidik dan penuntut umum di satu pihak dan hakim di lain pihak. Wewenang hakim komisaris lebih luas dan lebih lengkap daripada prapenuntutan (lembaga praperadilan).
Kewenangan Praperadilan (Pasal 1 butir 10, Pasal 77, Pasal 95, Pasal 97 KUHAP)
a.Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya upaya paksa berupa penangkapan dan penahanan;
b.Memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan dan penuntutan.
c.Berwenang memeriksa tuntutan ganti rugi.
d.Memeriksa permintaan rehabilitasi.
e.Praperadilan terhadap tindakan penyitaan.
Kewenangan lembaga “Hakim Komisaris” (Hakim Pemeriksa Pendahuluan) Psl 1 butir 7 dan Pasal 111 RUU KUHAP
a.sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, atau penyadapan;
b.pembatalan atau penangguhan penahanan;
c.bahwa keterangan yang dibuat oleh tersangka atau terdakwa dengan melanggar hak untuk tidak memberatkan diri sendiri;
d.alat bukti atau pernyataan yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat dijadikan alat bukti;
e.ganti kerugian dan/atau rehabilitasi untuk seseorang yang ditangkap atau ditahan secara tidak sah atau ganti kerugian untuk setiap hak milik yang disita secara tidak sah;
f.tersangka atau terdakwa berhak untuk atau diharuskan untuk didampingi oleh pengacara;
g.bahwa penyidikan atau penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang tidak sah;
h.penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang tidak berdasarkan asas oportunitas;
i.layak atau tidaknya suatu perkara untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan.
j.pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama tahap penyidikan.
Pertanyaannya: apakah ketentuan tentang “Hakim Komisaris” ini akan mengganggu upaya-upaya pemberantasan korupsi utamanya oleh KPK ?
Untuk pemberantasan korupsi yang diilakukan oleh KPK, harus dibuat ketentuan undang-undang tentang bagaimana Hakim Komisaris ini akan berperan, ada dua kemungkinanyang dapat dilakukan (dengan catatan setiap persidangan Hakim Komisaris terbuka untuk umum):
1. Dibuat ketentuan dalam KUHAP bahwa untuk penanganan pemberantasan korupsi oleh KPK akan ditunjuk seorang Hakim Komisaris Khusus oleh Mahkamah Agung (Hakim Komisaris khusus KPK ini dapat diambil dari salah seorang Hakim Agung); atau
2. Dibuat ketentuan dalam KUHAP bahwa karena peranan KPK yang khusus dalam menangani korupsi di Indonesia, maka dalam hukum acara pidana yang berlaku untuk KPK, tidak akan ada prosedur dengan Hakim Komisaris;
Sedangkan untuk pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan, maka tetap diperlukan posedur hukum acara pidana dengan Hakim Komisaris.
Putusan bebas tidak dapat di kasasi;
Pasal 240 RUU KUHAP
Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali putusan bebas.
Penjelasan:
Dalam doktrin hukum acara pidana, “bebas tidak murni” adalah “lepas dari segala tuntutan hukum” (ontslag van alle rechtsvervolging). Oleh karena itu, untuk mengajukan kasasi terhadap putusan bebas yang digolongkan sebagai bebas tidak murni harus terlebih dahulu dinyatakan sebagai putusan lepas dari segala tuntutan hukum, dimana perbuatan yang didakwakan terbukti namun terdapat dasar pembenar atau dasar pemaaf.
Pasal 244 KUHAP 1981
Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.
Ketentuan ini (Psl 244 KUHAP 1981 = Psl 240 RUU KUHAP) adalah satu-satunya landasan hukum untuk mengajukan upaya hukum kasasi dalam perkara pidana. Dalam penjelasan RUU KUHAP dijelaskan mengenai bebas tidak murni dan terhadap putusan yang bebas tidak murni dapat diajukan kasasi.
Dalam praktek , hamper semua putusan bebas (murni) ini oleh Penuntut Umum selalu saja dilakukan upaya hukum kasasi, biasanya argument yang diajukan adalah:
a.Judexfactie (Pengadilan Negeri/Tinggi) telah salah menerapkan hukum pembuktian sebagaimana Pasal 185 ayat (3) dan (6) KUHAP;
b.Cara mengadili yang dilakukan Judexfactie tidak dilaksanakan menurut ketentuan UU;
c.Putusan Judexfactie bukan merupakan putusan bebas murni (vrijspraak) melainkan putusan bebas tidak murni (ontslag van alle rechtsvervolging).
Sedangkan dasar hukum yang digunakan oleh Penuntut Umum dalam mengajukan kasasi terhadap putusan bebas adalah : Keputusan Menteri Kehakiman RI No.M.14-PW.07.03 tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tampahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (TPP KUHAP). Butir 19 TPP KUHAP menjelaskan: “Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding, tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini didasarkan Yurisprodensi.
Putusan MA tidak boleh lebih berat dari putusan peradilan di bawahnya;
Pasal 250 RUU KUHAP menyatakan bahwa Putusan Mahkamah Agung mengenai pemidanaan tidak boleh lebih berat dari putusan pengadilan tinggi. Dalam penjelasan naskah akademiknya dikemukakan argument bahwa karena putusan Mahkamah Agung tidak menyangkut fakta atau pembuktian, melainkan menyangkut penerapan hukum, oleh karena itu serupa dengan beberapa KUHAP Negara lain, putusan MA tidak boleh lebih berat dari pada putusan pengadilan tinggi.
Ketentuan ini dirasakan dan dikemukakan oleh beberapa kalangan (termasuk Hakim) ketentuan yang tidak logis dan jelas telah mengintervensi kemandirian hakim serta berlebihan, karena pembatasan terhadap penjatuhan hukuman telah dilakukan oleh KUHP maupun UU lain yang mengatur hukuman maksimal dan minimal khusus.
PENYADAPAN
Penyadapan memang merupakan pelanggaran yang serius atas privacy seseorang, dan karena itu sangat ketat aturannya. Hanya diperkenankan terhadap tindak pidana yang ditetapkan dalam UU dan dilakukan dengan pembatasan berupa ijin dari Hakim Komisasris dan untuk waktu terbatas.
Penyadapan ini sebenarnya merupakan “upaya-paksa luar-biasa” yang “ampuh” di Indonesia untuk menanggulangi wabah korupsi, khususnya penyuapan. Namun, KPK pun harus menyadari bahwa bahaya “penyalahgunaan kekuasaan” juga besar. Karena KUHAP berlaku umum tidak hanya berlaku bagi KPK, maka dapat diatur agar untuk KPK oleh MA ditunjuk seorang HakimKomisaris khusus yang berasal dari MA.
*) Makalah pada diskusi ”Merancang KUHAP yang berpihak pada Pemberantasan Korupsi”, ICW. 11 Nopember 2011.
1) Boy Marjono Reksodipoetro menyatakan : ada kerancuan dalam peristilahan di Indonesia yang menamakan Hakim sebagai “penegak hukum”. Istilah “penegak hukum” ini berasal dari bahasa Inggris “law enforcement (officer)”, yang merujuk pada petugas kepolisian dan Jaksa Penuntut Umum (prosecutor). Salah kaprah ini membawa akibat (sampingan) bahwa di Indonesia Hakim lebih mengidentifikasikan dirinya dengan JPU daripada berdiri secara netral (bukan pihak dalam perkara). Seharusnya hakim adalah “penegak keadilan” (dalam bahasa Ingggris “Judge”=Penilai dan “Justice”=Pemberi Keadilan). (Makalah RUU KUHAP dalam konteks Efektifitas Penanganan Tipikor, KPK 25 September 2013);
2) M yahya Harahap dalam Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, menyeb utkan bahwa pada masa berlakunya HIR aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa & Hakim) tergolong kelompok alat kekuasaan (instrument of power) yang menitik beratkan setiap orientasinya pada kekuasaan semata dalam fungsi dan wewenang yang ada padanya (Pustaka Kartini, 1985, halaman 36).
3) Yang dimaksud dengan “para pihak berlawanan secara berimbang” adalah yang dikenal dengan sistem adversarial yang harus menjamin keseimbangan antara hak penyidik, hak penuntut umum, dan/atau hak tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan pidana. Dengan demikian, penerapan hukum acara pidana di Indonesia merupakan perpaduan antara sistem Eropa Kontinental dengan sistem adversarial. (Penjelasan Umum RUU KUHAP)