Sepulang misa pagi, setelah kolaborasi tenor kami padukan bersama kor wilayah Andreas iringi nyanyian umat paroki Wonokromo, kami biasa singgah di lapak koran dekat belokan masuk jalan Sidosermo. Kompas Minggu, hanya itu satu-satunya alasan untuk mampir sejenak, sebelum kembali melaju dengan Astrea tua pulang ke rumah. Lalu aroma kopi buatan Mbah Uti menyapa kami di pintu masuk.
"Milan menang tadi pagi?"
"Kalah lagi, om. Memang susah nggak ada Kaka."
Begitulah topik minggu pagi, sambil nyeruput kopi panas. Om akan buka tas kerja, mengambil bolpoin, lalu mulai membuka halaman tengah Kompas Minggu.
"Om, kalau nggak bisa isi, ojo sungkan nanya aku ya..."
Om biasanya tertawa lepas sejenak, lalu merapikan letak kacamata dan kembali telusuri kotak-kotak kosong.
"Nama belakang asisten pelatih timnas Jerman, empat kotak, huruf terakhir W, siapa ya?" Om bertanya menatap lembar koran yang menutupi hampir seluruh permukaan meja pendek di teras rumah, tapi aku ngerti beliau sedang tunggu jawabanku.
Teka Teki Silang, dan cerpen Kompas Minggu adalah memori Om dan ponakan yang berbagi kepulan asap rokok. Dan betapa memori selalu sisakan teka teki waktu yang tak pernah setuntas kisah pendek dalam lembar koran minggu pagi, pun dalam dongeng yang Mbak Andri baca di lembar Kompas Anak. Mungkin karena waktu itu Mbak Andri masih kelas 4 SD. Entahlah, lagipula apa gunanya berteka teki dengan memori?
Minggu lalu, saat mampir sejenak sebelum buru-buru mengejar pesawat balik ke Jakarta, aku dan Om berbagi kopi dengan senja yang basah.
"Om masih suka isi TTS di Kompas Minggu?"
"Waduh, ensiklopedi hidup kan sudah lama pindah ke Jakarta..."
***