Sepanjang pengetahuan saya, mereka yang nawarin kartu kredit manis2 banget tutur bahasanya, tapi kalau telat bayar dan macet, maka teror telpon akan datang bertubi-tubi. Isinya makian dan ancaman. Itulah yang di alami ibu saya yang sudah tua renta, yang tak pernah berhutang selama hidupnya apalagi kenal kartu kredit.
Ketika saya berlibur ke Indonesia tahun 2012 bersama suami, maka hal pertama yang kami lakukan adalah mengunjungi ibu tercinta. Sesampainya di sana , tiba2 ibu saya menangis dan cerita beliau di teror oleh debt collector hampir setiap hari. Lho koq bisa? Ternyata adik saya, A dan istrinya K pernah apply kartu kredit dan mereka menggunakan alamat ibu saya. Ya namanya seorang ibu, anak mau pinjam alamat masa ngga di kasih, hanya beliau waktu itu tak ngerti untuk apa.
Usia ibu saya saat itu 76 tahun, di teror debt collector ya jelas ketakutan dan gemetar. Padahal sudah dijelaskan kalau beliau tak tahu apa apa, tapi tetap aja mereka mengancam akan datang ke rumah ibu saya untuk mengambil barang2 yang ada. Memaki ibu saya yang bukan pemakai kartu kredit sungguh sangat tidak sopan. Sejak itu beliau takut angkat telpon, untung pembantu kami berani menjawab dengan galak, tapi tetap saja akhirnya mereka datang dan menggedor2 pintu rumah seolah ibu yang punya hutang.
Tak terima ibu di perlakukan seperti itu, sayapun mengambil tindakan tapi dengan cara yang benar. Pertama saya suruh adik adik saya bicara pada A dan K tentang debt collector yang mengganggu ibu. Adik2 yang lain emosi ibu kami di bentak bentak, maka mereka pun jadi emosi kepada A dan K , jadilah "perang saudara".
Sebagai anak sulung saya pun turun tangan dan bicara baik baik pada A dan K. Saya berusaha mendengarkan dulu uneg uneg mereka dan kenapa tak membayar tagihan. Mungkin mereka juga bingung ternyata tagihannya sangat besar, ya pastilah bunga kartu kredit kan beranak, bercucu dan bercicit. Lalu saya ceritakan gimana ibu kami ketakutan dsb. Dengan tegas tapi halus saya bilang, jika urusan ini tak segera diselesaikan, maka jangan salahkan kakakmu ini yang akan menulis email, telpon atau datang ke kedutaan tempat adikku A bekerja. Saya tak peduli kalian mau punya kartu kredit 1000 tapi jangan pernah lagi pakai alamat ibu kita. Akhirnya mereka mengerti.
Dengan di dampingi pengacara, maka diadakan pertemuan di rumah ibu kami. Disana berkumpul debt Collector , A dan K , saya waktu itu sudah kembali ke Australia. Si penagih yang galak2 langsung minta maaf pada ibu saya. Akhirnya ditemukan kesepakatan. Sejak itu tak ada lagi yang mengganggu ibuku. Wanti wanti saya pesan pada ibu, kalau ada yang konfirmasi soal alamat, tanya buat apa, kalau untuk kartu kredit jangan diladenin.
Kadang kita merasa bangga kalau kartu kredit berderet di dompet, padahal semakin banyak kartu kredit, semakin mahal iuran tahunannya plus bunga jika telat membayar. Jangan heran jika banyak yang sampai menjual apa saja yang ada untuk melunasi kartu kredit.
Sebenarnya tak ada yang salah punya kartu kredit yang penting digunakan dengan bijaksana untuk hal hal urgent, bukan untuk memenuhi nafsu belanja. Punya 1 sudah cukup dengan record pembayaran yang bagus, maka otomatis limit nya akan di naikan.
Sebaliknya jika kartu kredit untuk hal hal konsumtif ya pantas aja ada istilah kartu kredit enak pakainya, nyesek bayarnya dan ngilu ditagihnya. Salah satu korbannya ibu saya yang tak bersalah tapi dimaki maki debt collector. Mudah mudahan di Indonesia tak ada lagi penagihan kartu kredit dengan cara kasar.