Sejak awal pembentukan Undang-Undang Dasar 1945, para perancang dari Undang-Undang dasar tersebut telah menyadari baik pada sidang BPUPKI ataupun pada sidang PPKI bahwa Undang-Undang Dasar kita ini bersifat sementara. Sifat sementara ini dapat kita lihat dari pernyataan-pernyataan anggota BPUPKI dalam sidang BPUPKI seperti Soemitro Kolopaking, Soepomo, AA. Maramis, Wongsonegoro dan Sukiman. Seperti pada sidang BPUPKI tanggal 11 juli 1945 Soemitro Kolopaking mengatakan bahwa "seperti dalam pembicaraan saya kemarin saya mengatakan bahwa semua susunan pada waktu itu amat dipengaruhi oleh suasana perang, maka saya usulkan supaya UUD disusun sedemikian itu sehinngga gampang diubah dan disesuaikan dengan perkembangan zaman". Kemudian pada sidang tanggal itu juga ketika Soepomo, AA. Maramis dan Wongsonegoro ketika ditanya oleh pimpinan sidan KRT. Radjiman Wedyodiningrat terkait sifat UUD yang sedang mereka bentuk mereka menjawab "Sederhana saja, setidaknya bisa dijalankan ketika masa perang". Sehingga bisa dilihat ketika dalam perumusan Rumusan UUD masih dinaungi suasana peperangan sehingga UUD yang dibuat pun hanya sebatas bisa dijalankan ketika suasana peperangan dan memang dibuat untuk waktu yang tidak lama. Â
 Sejalan dengan pemikiran para perancang rancangan UUD pada sidang BPUPKI, Ketua PPKI Soekarno dalam pengesahan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam pidatonya mengatakan bahwa "Tuan-Tuan semua tentu mengerti, bahwa Undang-Undang Dasar kita yang kita buat sekarang ini adalah Undang-Undang Dasar Sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan: ini adalah Undang-Undang Dasar Kilat. Nanti ketika kita sudah bernegara didalam suasana lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majlis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang yang lebih lengkap dan sempurna".[1] Pidato tersebut diamini oleh seluruh anggota sidang PPKI seperti Iwa Kusuma Sumantri, Otto Iskandariah, Mohammad Hatta, Sam Ratulangi dan peserta sidang lainnya.
Ungkapan-ungkapan para founding father tersebut seperti diamini oleh perkembangan zaman. Sehingga baru berlaku selama empat tahun konstitusi kita sudah mengalami pergantian konstitusi menjadi UUD RIS tahun 1949, kemudian konstitusi itu hanya berlaku selama satu tahun karena pada tahun 1950 konstitusi kita diganti menjadi UUDS 1950. UUDS ini bertahan cukup lama yaitu selama delapan tahun, namun pada tanggal 5 Juli 1958 keluarlah Dekrit Presiden 5 Juli 1958 yang mengembalikan kembali konstitusi kita ke UUD 1945.
Tidak cukup sampai disitu, karena tidak serta merta UUD 1945 tersebut menjadi sempurna dan sudah tidak bisa diubah lagi. Namun, kenyataannya UUD 1945 tersebut masih juga mengalami perubahan sebanyak empat kali yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002. Perubahan Undang-Undang Dasar pada tahun tersebut adalah perubahan dalam arti untuk melakukan pembaharuan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 tidak dalam arti mengganti Undang-Undang Dasar sebagaimana dijelaskan diatas. Perubahan ini menurut KC Wheare sah-sah saja terjadi karena tujuan utama melakukan perubahan terhadap konstitusi adalah untuk melindungi salah satu atau lebih dari empat tujuan, yaitu:
- Konstitusi hanya boleh diubah dengan pertimbangan yang matang dan bukan hanya karena alasan yang sederhana atau secara serampangan
- Rakyat mesti diberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapat mereka sebelum dilakukan perubahan
- Dalam sistem federal, kekuasaan unit-unit pusat tidak boleh diubah oleh satu pihak
- Hak individu atau masyarakat misalnya hak minoritas bahasa, agama atau kebudayaan mesti dilindungi
Perubahan ini terjadi setelah kekuasaan rezim Soeharto selama 32 tahun rezim itu berkuasa. Pada saat rezim itu berkuasa pemerintah mmenjadikan UUD sebagai sesuatu yang sakral dan tidak bisa dirubah. Sehingga konstitusi digunakan pemerintah untuk menekan para pesaing politiknya karena yang berhak menafsirkan UUD pada saat itu adalah presiden itu sendiri. Sehingga rezim tersebut bisa berkuasa selama 32 tahun. Namun setelah gerakan reformasi 1998 dan rezim Soeharto turun maka dimulailah era reformasi. Tuntutan reformasi dan kondisi politik pada waktu menghendaki bahwa adanya perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan ini diawali dengan Sidang istimewa MPR tahun 1998 yang mengahasilkan tiga ketetapan. Pertama, Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1998 tentang pencabutan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum. Kedua, Ketetapan Nomor MPR XIII/MPR/1998 Tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan  Wakil Presiden Republik Indonesia. Ketiga, Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Ketetapan tersebut menjadi langkah awal perubahan daripada Undang-Undang Dasar 1945.
Menjelang pemilu tahun 1999 gejolak konflik politik semakin meningkat. Kondisi ini berlanjut sampai sidang istemewa MPR pada tanggal 1-20 Oktober 1999 dan pada waktu itu amandemen terjadi. Suasana pada waktu itu juga dipenuhi tuntutan terkait dari perubahan Undang-Undang Dasar 1945 baik berasal dari aspirasi dan paham politik, ras, agama, dan semua golongan yang memang sudah merasa UUD ini telah tidak cocok lagi dengan keadaan politik pada waktu itu.  Jadi, pad waktu itu sulit untuk memenuhi semua tuntutan itu tercapai. Alasannya adalah pertama, ada kesan bahwa proyek amandemen ini tidak ditangani dengan secara serius, kedua, karena proyek ini hanya ditangani oleh MPR sehingga terkesan bahwa ini sebatas formalitasa pemenuhan kebutuhan amandemen pada waktu itu. Kemudian pada tanggal 7 Oktober 1999 panitia Ad Hoc III Badan Pekerja MPR menyepakati tiga persoalan utama yaitu, menyepakati bahwa setiap fraksi MPR sepakat untuk melakukan Amandemen, menyepakati terkait ruang lingkup amandemen mereka menyepakati bahwa Pembukaan UUD 1945 tidak diubah yang diubah hanya batang tubuh dan penjelasan UUD 1945dan yang dimasukkan hanya sebatas hal-hal yang bersifat normatif, menyepakati  bahwa dalam amandemen terdapat tujuh prioritas yang harus di amandemen yaitu, pertama, pemberdayaan mengenai lembaga tertinggi negara, kedua, pengaturan kekuasaan pemerintahan negara dan pembatasan masa jabatan presiden, ketiga, peninjauan kembali terkait lembaga tinggi negara yang bersifat konsultatif (DPA), keempat, mengenai pemberdayaan kekuasaan DPR, kelima, pemberdayaan lembaga auditing negara, Keenam, pemberdayaan dan pertanggung jawaban lembaga kehakiman, ketujuh, pembahasan mengenai BI dan polisi dan TNI. Sehingga pada perubahan pada amandemen pertama ini hanya terfokus pada ketujuh prioritas tersebut. Namun, dikarenkan gejolak politik tadi tidak semua keinginan amandemen I ini dilaksanakan, amandemen pertama hanya sebatas 9 pasal yang terbatas pada pasal yang terkait presiden dan terkait DPR. Sehingga masih butuh lagi adanya amandemen lagi.
Pasca penetapan amandemen pertama pada tanggal 19 Oktober 1999, dan berdasarkan Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/1999 Â menugaskan kepada Badan Pekerja MPR untuk melanjutkan perubahan UUD 1945 pada konsideran poin C, ketetapan tersebut berbunyi bahwa "waktu yang tersedia untuk melakukan perubahan UUD RI tahun 1945 sangat terbatas sehingga tidak memungkinkan MPR Indonesia melakukan perubahan sesuai dengan dinamika aspirasi masyarakat". Dengan alasan tersebut maka perlu diadakannya perubahan lagi terhadap UUD 1945. Dalam amandemen ini 11 fraksi yang memberikan pandangan terkait amandemen memiliki kecenderungan untuk memperkuat lembaga legislatif dan cenderung untuk melemahkan eksekutif dengan berbagai ketentuan yang mengikat kepadanya. Pandangan yang lain dalam amandemen kedua ini adalah pandangan terkait adanya otonomi daerah seluas-luasnya dan sikap tegas pemerintah pusat terhadap kewenangan yang dimiliki oleh daerah dan pembagian yang merata antara pusat dan daerah. Panadangan selanjutnya yang muncul pada saat itu adalah terkait wacana gender dan realitas keberpihakan dalam iklim politik yang merupakan bagian dari bagian penambahan Hak Asasi Manusia yang dirasa perlu memiliki tempat dalam UUD 1945. Kemudian dalam amandemen kedua ini menghasilkan dari 20 bab yang dibahsa hanya 7 bab yang diselesaikan yaitu, bab terkait bentuk dasar dan kedaulatan, bab kekuasaan pemerintahan negara, bab MPR, bab Perekonomian nasional, dan kesejahteraan nasional, bab pendidikan dan kebudayaan, bab agama. bab perubahan UUD, bab bab DPA.
Namun amandemen yang dilakukan terhadap UUD negara ini tidak cukup hanya sampai disitu. Pasca sidang tahunan MPR tahun 2000 Badan Pekerja MPR telah berhasil menyelesaikan dan menyepakati untuk tetap mempertahankan hasil perubahan pertama dan hasil perubahan kedua. Namun, pada sidang itu telah menyelesaikan rancangan rumusan amandemen UUD 1945 ketiga. Hasil rumusan dari rancangan itu adalah Bab I sampai Bab IX dan penambahan Bab VII A tentang DPD, Bab VIB tentang pemilihan umum dan bab VIIIA tentang BPK. Namun dalam amandemen ketiga ini MPR tidak bisa mengesahkan terkait keanggotaan MPR, peranan MPR memilih presiden dan wakil presiden, DPA, dan masih ada beberapa masalah lain yang belum sanggup untuk disahkan, sehingga masih ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Badan Pekerja MPR.
Ada tiga pemikiran yang berkembang dalam merespon keseluruhan hasil amandemen pertama, kedua, ketiga  UUD 1945. Pertama, adanya pemikiran bahwasanya amandemen yang dilakukan telah keblabasan, hal tersebut dikarenakan perombakan yang dilakukan MPR telah jauh dari tunutuan reformasi yang mana reformasi hanya menghendaki dilakukan penyempurnaan. Kedua, tetap melanjutkan amandemen keempat sesuai dalam sidang tahunan MPR  sesuai dengan ketetapan MPR Nomor XI/MPR/2001 yang mengatakan bahwa UUD masih dipandang perlu melanjutkan perubahan. Ketiga, melihat kelemahan-kelemahan dalam tiga kali perubahan yang telah dilakukan dan harus berujung pada pembuatan konstitusi yang baru yang ditetapkan oleh komisi konstitusi yang independen. Namun dikarenakan memang pekerjaan rumah yang masih banyak maka amandemen keempat tetap dialakukan. Salah satunya adalah penghapusan DPA yang mana tentang DPA ini gagal disahkan ketika amandemen ketiga.
Kemudian apa masih perlu dilakukan amandemen lagi?? Terkait hal itu mengingat perkataan Soekarno bahwasanya UUD 1945 ini adalah UUD kilat dan harus disesuaikan dengan perkembangan zaman. Maka ketika zaman mengingkan amandemen maka harus diamandemen. Kemudian yang mungkin harus diamandemen pada tahun-tahun ini adalah terkait kekuasaan DPD yang harus diperluas lagi sehingga benar-benar menjadi lembaga legislatif bikameral tidak hanya menjadi lembaga legislatif setengah bikameral.
Malang, 05 Desember 2018