Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Mengenang Prof Paulus Hadisuprapto

24 Juni 2012   05:12 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:36 550 0
15 Maret 2012. Sebuah pesan singkat masuk.  Dari Langga, kawan kuliah di Magister Ilmu Hukum Undip. Prof Paulus Hadi Suprapto meninggal dunia. Sakit jantung, mendadak. Mengagetkan tentu saja karena ia nampak enerjik dan bugar sehari-hari. Lahir di Solo pada 1949. Beberapa buku dilahirkannya. Kepakarannya di bidang Hukum Pidana, Hukum Pidana Anak, Kriminologi dan Viktimologi, juga Restorative Justice. Prof Muhammad Mustopa, Kriminolog UI, dalam suatu perjalanan pernah bercerita, bahwa penelitian Prof Paulus disebut sebagai salah satu model reintegrative shaming oleh John Braithwaite, dosen Australia National University yang banyak menulis tentang Restorative Justice.

Restorative Justice adalah anti tesis dari Hukum Pidana yang dipandang kurang sempurna. Prof Paulus lah yang mengenalkan saya pada konsep ini untuk pertama kalinya. Konsep ini kemudian menjadi tema penelitian saya selanjutnya. Tentu saja dengan kepulangannya menjadi satu kebingungan tersendiri, seperti keilangan salah satu guru untuk bertanya disaat buku mulai ngawur bercerita.

Ia orang yang bersahaja. Salah satu yang saya kagumi adalah kemampuan menulis bahasa ingrisnya. Suatu hari beberapa dosen di Undip pergi ke salah satu universitas di Philipina. Saya bertanya bagaimana proses awalnya.

"Awalnya cuma email-email saja, bahwa kami akan ke sana, apakah bisa menerima kedatangan kami, mereka bilang bisa, tapi kebiasaan di universitas kami harus ada semacam kuliah umum, apakah bisa menyajikan makalah?, weis tak iyakan saja, makalah belum jadi padahal."
Maka begitulah, sejak Ia mengiyakan, makalah khusus dikebut dari penelitiannya tentang konsep reintegrative shaming pada anak di Indonesia.  Di Philipina kemudian seorang pastur kabarnya bertanya tentang kenapa konsep tersebut belum bisa dijalankan di Indonesia, sementara di Philipina itu sudah bisa berjalan.

Prof Paulus memandang mahasiswanya sebagai rekan. Bukan sebagai hubungan subordinasi dosen-murid. Barangkali ini yang harus dicontoh dan diterapkan untuk para dosen. Saat saya menyodorkan bukunya untuk ditanda tangani, ia menuliskannya dengan kata-kata awal "Pro: Rekan Ferry, dari penulis". Saat tesis saya usai, ia minta satu tesis jilid hardcover saya. Ia minta saya menuliskan sesuatu dan menandatanganinya. Saya katakan ini bukan buku prof. Saya kemudian menuliskan terima kasih saya atas segala pengenalannya tentang restorative justice. Sejak saat itu saya berniat untuk menghadiahkan buku saya suatu saat nanti. Buku solo, bukan antologi. Saya belajar bahwa sebaiknya sekat antara dosen dan mahasiswa tidak perlu terlalu kaku dengan prinsip saling menghargai. Dan itu membuat belajar menjadi menyenangkan.

Dalam sebuah bimbingan tesis juga ia bertanya pada saya apakah akan meneruskan menjadi Tjipian atau melanjutkan pemikiran Prof Barda Nawawi Arif  dalam konteks tesisnya. Tjipian adalah sebutan untuk orang yang menggeluti pemikiran hukum alm.Prof Satjipto Rahardjo.  Saya ingin memadukan keduanya, meski saya tidak tahu apakah mampu melakukannya. Keduanya bagi saya masih bertalian satu sama lain, pemikiran Prof Tjip merupakan konsepsi-konsepsi hukum yang ideal untuk Indonesia, Prof Barda-lah--dalam pandangan saya--yang kemudian 'membumikannya.' Prof Tjip mengambil ranah budaya hukum/legal culture, prof Barda membumikannya lewal substansi hukum/legal substance.

Hari ini kematian kembali menasehati, bahwa dunia hanya persinggahan sementara, tak peduli berapa banyak buku ditulis dan sebagainya pada akhirnya kematian akan datang. Semoga kita menjadi orang yang bersiap dengan bekal yang banyak. Selamat jalan prof. Terima kasih atas ilmu yang telah diberikan selama ini.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun