"A virus can change the fate of the world;
power has nothing to do with being tiny or giant!
Quote dari seorang novelis terkenal asal Turki, Mehmet Murat Ildan ini ditujukan untuk memotivasi siapapun yang merasa dirinya kecil, agar tak merasa kecil, virus saja yang ukuran sangat mini bahkan hanya bisa dilihat memakai mikroskop mampu mengubah dunia, paling tidak untuk sementara.
Namun rasanya kutipan tadi sangat nyata berhubungan dengan kondisi terkini, terlepas dari maksud awal quote itu ditujukan.
Saat ini kita semua menjadi saksi dan mengalami dengan nyata bahwa sebuah virus yang ukurannya hanya 0.06 mikron sedang merajalela dan mengacaukan hampir seluruh sendi kehidupan manusia yang ada di bumi ini.
Virus yang berbentuk seperti "Crown", karena itulah kemudian dinamakan sebagai Virus Corona, menurut data yang dilansir oleh Situs John Hopkins CSSE, Virus Corona sampai dengan Hari ini Rabu (04/03/20) Pukul 11.11 sudah menginfeksi 93.129 orang.
Jumlah yang meninggal akibat infeksi virus corona tersebut mencapai 3.198 orang, dengan pasien terinfeksi yang bisa disembuhkan berjumlah 50.681 orang.
Tentunya kita semua ingat, ketika pertama kali virus corona ini mulai merebak di Wuhan China. Beberapa kota besar di China mengalami karantina massal guna menahan penyebaran virus corona ini. Tak kurang 16 kota beserta 50 juta penduduk di dalamnya di isolasi oleh Pemerintah China.
Kota Wuhan dan beberapa kota kecil di Provinsi Hubei dengan jumlah penduduk 11 juta jiwa di tutup total, semua alat transportasi massal dan kendaraan pribadi tak boleh beroperasi,dan hingga saat ini warganya masih diberikan batasan bergerak yang sangat ketat.
Arus keluar masuk manusia dan barang benar-benar tak boleh dilakukan kecuali untuk alasan-alasan khusus, seperti untuk penyediaan berbagai kebutuhan pokok dan kesehatan.
Sekarang di Provinsi Hubei, menurut data yang dilansir Kantor Berita China Xin Hua, masih terdapat 26.901 pasien yang masih dirawat karena wabah virus corona ini. Secara keseluruhan penduduk provinsi Hubei yang terinfeksi virus corona berjumlah 67.103, jumlah yang meninggal sebanyak 228 orang dan yang berhasil disembuhkan sebanyak 33.757 orang.
Kota Wuhan yang merupakan episentrum penyebaran virus corona yang kemudian secara resmi disebut oleh World Health Organization (WHO) menjadi COVID 19 ini, merupakan sebuah kota metropolis terbesar ke 7 di China.
Namun demikian seperti halnya kota-kota besar di China lainnya, Wuhan memiliki jadwal penerbangan langsung ke berbagai kota diseluruh dunia termasuk Benua Eropa dan Amerika, makanya tak heran COVID 19 ini kemudian menyebar cepat ke berbagai belahan dunia.
Saat ini COVID 19 telah menyebar ke 76 negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia di dalamnya. Di China penyebaran wabah Virus Corona mulai turun, Menurut WHO jumlah kasus baru COVID 19 di luar China 9 kali lebih banyak.
Direktur Jenderal WHO, Thedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, jumlah kasus corona baru di China pada hari minggu (01/02/20) hanya 206 kasus baru, terendah sejak virus ini mulai merebak 22 Januari 2020 lalu.
"Diluar China, Jumlah total kasus sekarang memuncak 8.739 di 61 negara, dengan jumlah kematian 127, sekitar 81 persen kasus diluar China berasal dari 4 negara. Epidemi di Korea Selatan, Iran, Italia, dan Jepang merupakan ke khwatiran kami," Ujar Thedros seperti dikutip dari CNBC.Com Senin (02/02/20).
Namun demikian WHO belum menyatakan bahwa wabah COVID 19 Wabah Pandemi "Belum ada bukti bahwa virus tersebut menyebar bebas di masyarakat. Itulah salah satu alasan mengapa WHO belum menyatakan wabah pandemi," kata Tedros,
Meskipun WHO tak akan ragu-ragu untuk memutuskan bahwa COVID 19 itu Wabah Pandemi jika ditemukan bukti sebaliknya.
COVID 19 ini merupakan tiga serangkai virus dalam "keluarga corona" setelah sebelumnya virus SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) yang menginfeksi 8.096 orang dan menimbulkan korban meninggal sebanyak 774 orang dan MERS (Middle East Respiratory Syndrome).
Ketiganya menyerang sistem pernapasan dan dapat menimbulkan Pneumonia akut akut atau radang paru paru hingga menimbulkan kematian.
WHO sudah menetapakan wabah COVID 19 ini sebagai darurat global, hal itu dilakukan WHO sebagai langkah antisipasi potensi penyebaran di negara-negara dengan sistem kesehatan publik yang rendah.
Namun nyatanya, hanya satu negara yang memiliki sistem kesehatan publik rendah yang terpapar sangat banyak, yakni Iran. Saat ini di Iran terdapat 2.336 kasus COVID 19, hanya dalam satu pekan melonjak luar biasa dari sebelumnya di bawah 100 kasus, dengan jumlah kematian sebanyak 77 kasus.
Kondisi Iran ini di perparah dengan embargo ekonomi yang dilakukan oleh Amerika Serikat, sehingga Pemerintah Iran tak memiliki kemampuan keuangan untuk mengantisipasi kondisi seperti saat ini, serta kegagapan pemerintahnya saat awal COVID 19 mulai menyebar di Iran, bahkan Pemerintah Iran sempat menyatakan bahwa jumlah penderita Virus Corona yang terus meningkat itu adalah bagian dari propaganda asing.
3 negara lain di luar China yang terpapar sangat banyak adalah mereka yang memiliki sistem kesehatan yang relatif lebih baik, siapa yang menyangsikan sistem kesehatan di Korsel, Jepang dan Italia.
Namun nyatanya, Korsel merupakan negara dengan jumlah paling banyak terinfeksi COVID 19 diluar China, dengan 5.328 kasus.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Korea Selatan atau KCDC melaporkan pada Rabu (04/03/20) terdapat total 516 kasus baru infeksi COVID 19. Dengan jumlah kematian sebanyak 32 orang, seperti yang dilansir CNN.Com.
Selain Korsel, di Asia yang terpapar COVID 19 paling banyak diluar China adalah Jepang dengan 293 kasus, namun jika jumlah kasus yang terpapar di tambah dengan awak Kapal Pesiar Diamond Princess yang saat ini sedang berlabuh di Pelabuhan Chiba Jepang, maka kasus COVID 19 di Jepang berjumlah 927 kasus dengan korban meninggal sebanyak 6 orang.
Di Eropa, Italia merupakan negara yang terpapar paling parah COVID 19, Menurut Situs John Hopkins CSSE di Italia terdapat 2.502 positif terinfeksi COVID 19, dengan jumlah kematian sebanyak 70 orang, dan 160 orang diantara dinyatakan sembuh.
Dengan kenyataan seperti ini pihak WHO pun menyatakan kebingungannya, "Ini adalah virus unik, dengan fitur unik. Virus ini bukan influenza. Kami berada di wilayah yang belum dipetakan," ungkap Dirjen WHO Thedros.
Dampak Ekonomi
Dengan sebaran wabah yang sudah begitu luas, tentu saja segala sendi kehidupan di luar masalah kesehatan pun akan terkena dampaknya, mulai dari ekonomi, sosial, budaya, hingga olahraga pun tak luput dari efek virus corona ini.
Ekonomi dunia jelas akan terkena dampak dari Virus Corona ini, kita belum tahu hingga berapa lama kondisi seperti ini terus terjadi, semakin lama virus ini tak teratasi potensi semakin dalamnya jurang resesi ekonomi dunia semakin menganga.
Menurut Menteri Keuangan Indonesia pada masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, DR. Chatib Basri, dunia akan berada dalam kondisi stagflasi, kondisi dimana pertumbuhan ekonomi stagnan, namun inflasi terus meningkat.
Hal itu bisa terjadi karena adanya supply shock, seperti kita ketahui bersama China memiliki posisi yang sangat strategis dalam jalur global supply chain.
China adalah salah satu pusat dari jaringan produksi atau hub dari production net-work. Tak hanya itu, China juga memproduksi bahan pembantu atau barang modal bagi banyak negara di dunia. Terganggunya perekonomian China akibat Covid-19 akan membuat terganggunya rantai produksi global (global supply chain).
Kondisi China yang terganggu karena COVID 19 akan membuat tidak tersedianya bahan baku, barang penolong, barang modal atau komponen yang dibutuhkan negara-negara lain baik di Eropa, Asia termasuk Indonesia. dengan kondisi seperti ini maka produksi barang akan terganggu, ini lah yang disebut Supply Shock
Jika Covid 19 ini mereda dalam jangka waktu 3 atau 4 bulan maka kondisi ini mungkin tak akan terjadi karena stock bahan baku dan komponen yang diperlukan dalam proses produksi masih aman.
Jika lebih dari waktu tersebut, bahan baku dan berbagai bahan pendukung lainnya sudah habis maka supply shock akan terjadi.
Akibatnya rata-rata supply akan menurun, sementara demand terus bertambah akibatnya harga akan terus naik, maka terjadilah kalau dalam istilah ekonomi dinamakan Stagflation tadi.
Dampak Sosial
Virus Corona yang berasal dari Wuhan China ini mulai menampakan dampak sosial yang cukup berat, Sentimen rasial mulai terjadi di beberapa negara, virus corona juga menyebarkan Xenophobia atau rasisme.
Ketakutan yang berlebihan terhadap bangsa China karena dianggap sebagai pembawa virus corona faktanya terjadi di berbagai belahan dunia, mulai dari Inggris, Australia, hingga Kanada.
Di Australia seperti yang dilansir CNBCIndonesia.com seorang warga setempat menolak berjabat tangan dengan ahli bedahnya yang merupakan warga keturunan China.
Di Venesia Itali turis-turis China di ludahi oleh warga setempat karena mereka dianggap pembawa bencana berupa wabah virus corona.
Di Inggris Seorang warga negara Singapura bernama Jonathan Mok di bully hingga dipukuli hanya karena dia memilik ras China.
Tindakan rasis juga muncul di dunia maya, orang-orang keturunan China dan Asia mendapat komentar-komentar jahat.
Semua pihak harus menyadarkan bahwa memang viru jahat itu muncul di China, namun tak serta merta mereka juga jahat. Tak seorangpun menghendaki kejadian wabah virus corona ini terjadi.
Di Indonesia, lain lagi setelah 2 kasus positif virus corona terkonfirmasi. Saat ini terlihat masyarakat Indonesia mulai membatasi kontak sosialnya dengan berusaha untuk tak menaiki angkutan umum, kalau pun naik angkutan umum sebisa mungkin tidak bertegur sapa karena masing-masing berprasangka satu sama lain.
Selain itu stigmatisasi dan bias informasi terhadap 2 orang pasien positif COVID 19 terjadi, bagaimana media dengan begitu rupa mencoba menelanjangi data pribadi mereka.
Ini semua karena pemerintah seperti gagap dalam membangun komunikasi risiko. Padahal WHO sudah menekankan pentingnya komunikasi risiko.
Meliputi tukar informasi yang transparan antar otoritas dan ahli dengan publik agar warga melindungi diri dan keluarganya.
Dampak Lain
Setelah COVID 19 merebak terutama di sekitar Kawasan Timur Tengah, Arab Saudi langsung memerintahkan menghentikan segala kegiatan Umroh sejak tanggal 27 Februari 2020. Otoritas Kerajaan Arab Saudi menutup untuk sementara pemberian izin visa umroh dan wisata untuk waktu yang belum ditentukan.
Akibatnya umat Muslim yang berniat Umroh dari berbagai negara tak bisa melaksanakan rangkaian ibadahnya.
Selain itu Industri pariwisata beserta berbagai penunjangnya seperti hotel dan berbagai usaha ritel yang berkaitan dengan pariwisata kehilangan pelanggannya, ketika setiap negara membatasi mobilitas warganya ke luar negeri.
Amerika Serikat saat ini bahkan memberlakukan travel advisory tahap 4 bagi warganya yang hendak bepergian ke China. Hal ini setara dengan pelarangan bepergian warga AS ke negara-negara konflik dan memiliki tingkat terorisme yang tinggi.
Artinya dalam titik tertentu, AS dan mayoritas warga dunia lebih terancam dengan COVID 19 dibandingkan dengan potensi perang dan terorisme.
Fakta ini mengingatkan kita pada ucapan Bill Gates Pendiri Microsoft yang bersama istrinya kini menjadi filantropis yang begitu concern terhadap ancaman wabah penyakit yang berawal dari satu kawasan yang kemudian menyebar ke seluruh dunia atau biasa disebut pandemik.
"Fakta bahwa Pandemik global yang dahsyat belum terjadi dalam sejarah modern, bukan berarti pandemik itu tak akan terjadi di masa depan," ujar Bill Gates saat ia berpidato dalam Munich Security Conference di Munich Jerman 3 tahun lalu, tahun 2017.
Mungkinkah pandemik itu Virus Corona? semoga saja tidak.
Sumber.