Temanku bilang, harus berpakaian rapi dan pakai dasi. Wah, cukup merepotkan. Aku tak terbiasa memakai dasi. Setiap kali memakainya, leherku terasa tercekik, nafasku sesak. Tapi tak apalah, toh sudah lama juga aku tak bertemu dengannya.
Selepas magrib, mulailah aku sibuk menyiapkan diri. Sudah berpakaian rapi plus dasi yang mencekik. Ah, aku lupa, sepatuku tertinggal di rumah mertua beberapa hari lalu saat mampir kehujanan. Rumahnya cukup jauh. Akhirnya aku sibuk cari pinjaman sepatu ke tetangga. Dapatlah satu sepatu yang cocok.
Dengan tampilan bagai pengusaha muda, aku berangkat membelah petang. Untung vespaku tak rewel selama perjalanan. Akhirnya sampailah aku di tempat pertemuan tepat waktu.
Tak disangka, temanku ternyata berpakaian biasa saja. Kemeja dengan celana dasar plus sepatu hitam. Dia tak pakai dasi juta kemejanya tak dimasukkan rapi. Aku jadi kikuk. Saat kutanyakan, katanya dia tak sempat pulang ke rumah, dari kantor langsung ke sini. Temanku ini kepala bagian humas Bulog Divre Lampung.
Duh, malunya. Ternyata di tempat pertemuan itu cuma aku yang pakai dasi. Semuanya berpakaian rapi tanpa dasi. Jadi masih ada kesan santai. Aku kesal juga. Kata temanku tak apa, toh aku jadi mirip pengusaha. Aku tersenyum getir.
Karena acara belum di mulai, aku keluar sebentar. Tempat pertemuan ini semacam taman santap. Ada banyak pondok lesehan terpisah dengan kolam di sekeliling pondokan. Setiap pondokan dihubungkan jalan setapak dari kerikil. Sementara ruang lainnya ditanami kebun bunga. Indah dan sejuk sekali, cocok untuk santap keluarga, kolega, kerabat, atau pertemuan santai. Namanya Rumah Kayu.
Saat sedang menghabiskan sebatang rokok, banyak warga keturunan Tiong Hoa lalu lalang. Setiap mereka lewat di hadapanku, selalu saja menundukkan kepala sambil tersenyum dan menegur. Luar biasa, karena biasanya aku dicueki. Tidak hanya mereka, warga keturunan asli Indonesia juga menegurku dengan ramah. Aku jadi bertanya-tanya, ada apa dengan diriku saat ini?
Habis sebatang rokok, aku kembali masuk ke ruang pertemuan. Di dalam, aku jadi pusat perhatian. Tak tahu kenapa. Aku tanya pada temanku siapa saja mereka. Ternyata, ada kepala Bulog Divre Lampung yang baru diangkat 1 juni 2010 lalu, ada ketua DPP Perpadi, ada utusan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan provinsi Lampung, ada juga utusan dari Bulog pusat. Sisanya temanku tak memberi tahu.
Ah, aku benar-benar tak tahu sebagai apa aku di sini. Hanya diajak untuk ikut pertemuan tanpa jabatan apa-apa. Tak jelas statusku. Akhirnya aku hanya menjadi pendengar sampai acara berakhir.
Selesai acara, kami bersalaman. Dengan segala keanehan, aku diajak bicara begitu ramah. Mereka semua ramah padaku. Heran.
Tiba-tiba temanku membisikkan sesuatu. Katanya, aku mirip pengusaha penggilingan padi dengan omzet ratusan ton perhari. Benarkah? Aku segera pergi ke toilet, berkaca. Ternyata benar. Dengan penampilan seperti ini, tak akan ada yang menyangka kalau aku hanya seorang jelata penunggang vespa.
Aku santai saja menunggang vespaku saat mereka memandang dengan heran dari dalam mobil, ketika sama-sama keluar dari lahan parkir. Vespaku melaju kencang di jalan dua jalur way halim, masih pakai dasi. Mampir beli duren untuk menemaniku nonton piala dunia malam ini. Sekaligus oleh-oleh untuk istriku. Kasihan dia harus terbangun membukakan pintu, sudah pukul 23.18 malam itu.
Yang aku ingat dalam pertemuan itu. Indonesia sudah ketinggalan jauh dengan Malaysia, Korea, Taiwan dan lainnya yang dulu tertinggal jauh oleh Indonesia dalam hal pertanian padi. Itu saja. Selebihnya aku tak begitu mengerti.
Sudah malam. Besok pagi-pagi harus beli beras yang mahal itu. Melewati perumahan yang dulunya sawah luas. Duh, piala dunia!