Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Yeah! Melaut, Melaut, Melaut

14 Agustus 2011   08:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:48 144 0
Kala itu, 26 Juli 2009, di sebuah Desa yang bernama Anyar di Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Kami yang terdiri dari 5 orang, Ayya, Lukvi, Andika dan Marhen, dan satu lagi Saya berkunjung ke rumah salah satu nelayan di Desa itu. Tujuannya, mau meminjam perahunya untuk kami senang-senang. Ha ha ha. Ya, karena kami senang senang-senang. Hari minggu itu. Siang itu. Kami mengendap-endap dari pondokan KKN yang kepanjangannya Kuliah Kerja Nyata (gak penting dibahas) kami, di Desa Karang Bajo, Dusun Ancak Timur. Untuk bisa sampai ke Desa Anyar kami meminjam motor inventaris desa milik Pak Kades tempat kami mondok. Satu persatu kami pergi. Saya, Andika dan Marhen jadi kloter pertama yang mengendap ke Desa Anyar. Kemudian, Ayya dan Lukvi menyusul berikutnya, tapi motor di tinggal di pondokan. Jadilah perjalanan jalan kaki. Jadilah kami berlima berada di Desa Anyar. Di rumah bapak nelayan yang saya lupa namanya, bersama istri dan dua orang anaknya (kalo gak salah). Basa-basi kami menjadi menarik karena kami seperti orang norak yang baru ketemu dengan desa nelayan, perahu, jaring ikan, cumi-cumi dan laut. Antusias di bapak bertukar cerita dengan kami yang penasaran dengan apa yang ada di sana. Ditambah rasa penasaran kami dengan Gunung Rinjani. Makanya kami bertanya-tanya, “apa bapak pernah ke sana?”. Mungkin itu pertanyaan yang kami atau tepatnya saya lontarkan kepada setiap orang yang bertemu di Lombok. Seolah gunung itu mempunyai kekuatan magis yang membuat saya mempertanyakan terus keberadaannya. Tapi lupakan, karena nyatanya tidak ada. Cuma sebuah gunung yang indah, di mana terdapat sebuah danau di atas gunung: Danau Sagara Anak. Singkat cerita kami meminta izin sama si bapak untuk menggunakan perahunya untuk kami senang-senang. Perahu kecil yang hanya bisa ditumpangi oleh 4 orang dewasa, atau 10 anak kecil yang masih bayi. Si bapak yang baik hati, yang sudah menjamu kami dengan beberapa gelas kopi khas Lombok (indikator ‘khas’: rasanya beda. Haha), pun meminjamkan kami setelah kami paksa. Oh tidak. Setelah beberapa hari sebelumnya Andika dan Marhen sudah berkunjung dan dijanjikan untuk diajak melaut. Tapi, nelayan di sana biasa melaut pagi hari. Padahal kami datang siang. Kenapa si bapakgak menunggu kami? Karena kami bangunnya siang. Ha ha ha. Berangkat lah kami dengan dua orang anak pesisir dan dua buah perahu/ sampan kecil yang terancam terbalik karena kami besar-besar (yang besar cuma Marhen). Dua anak yang menemani kami adalah seorang anak si bapak, dan seorang teman anak si bapak. Ya, intinya mereka adalah teman bermain, sebaya, dan sama-sama anak pesisir. Per-melaut-an kami dimulai dari rumah si bapak, menuju tempat parkir perahu-perahu nelayan setempat. Sesampainya di lokasi parkir, kami harus menurunkan perahunya dulu, sebelum bisa mengapung di air. Iya! perahu itu berat, walaupun kelihatannya kecil dan mudah terbalik. Bersusah payah kami menurunkan perahu, bersama si bapak, istrinya bapak, anaknya bapak, dan temannya anaknya si bapak. Total kami yang menurunkan perahu ada delapan. Kemana yang satu lagi? Satu lagi dari kami malah asik-asikan merekam video kegiatan kami, dan mempotret-potret kami. Curang ‘kan dia? Gak mau berberat-beratan Bukan dia yang curang, tetapi kami. Karena kami yang mau kelihatan di video. Ha ha ha. Baik bukan keluarga nelayan bersahaja itu? Ya mereka baik. Bahkan si ibu yang tidak biasanya membantu menurunkan perahu untuk si bapak, mau menurunkan perahu itu demi kami. Bayangkan! Bayangkan! (cukup berlebihan bukan? memang). Akhirnya turunlah perahu itu ke tepi laut, alias pantai dengan pasir dan batu2 koral (itu loh batu yang bulet-bulet, Saya nyebutnya koral). Per-melaut-an di bagi menjadi dua kelompok. Saya, andika dan temannya anak pak nelayan, satu perahu bersama kami. Sementara Ayya, Lukvi, Marhen dan anaknya si bapak di perahu lain. Karena kalau kami berkumpul di satu perahu, niscaya perahu itu terbalik, dan sia-sia kami  menurunkan dua perahu. Ah, ceritanya jadigak menarik karena Saya lupa siapa nama-nama orang-orang baik itu. Mesin perahu yang merupakan mesin pemotong rumput yang dimodifikasi dan baling-baling handmade-nya berderu, beriringan dengan suara angin laut yang kencang, juga suara deburan ombak. Tapi, yang terakhir Saya sebutin itu gakada, soalnya kami sudah menengah. Tibanya di tengah, dari perahu kami, Andika mulai merekam momen-momen menarik itu. Tak Saya kira, ternyata Ayya, Marhen dan Lukvi sudah menceburkan diri ke laut. Tak sabar mereka mandi di tengah laut yang dalam. For your information, Ayya gak bisa berenang. Tapi dia nekat! Alasannya, kala gak nyebur, gimana bisa nikmatin?  Ha ha ha. Keren, Ay! Kamu memang pemberani, dan cocok disematkan gelar Baleng, berdua bareng Lukvi. Sesekali kami bertukar sampan. Saya berenang ke perahunya Marhen, Ayya dan Lukvi ke perahu Andika, Lukvi ke perahu Marhen lagi, lalu Saya pindah lagi ke perahu Andika. Ah lupakan, Saya lupa gimana pindah-pindahnya. Tapi, ada satu momen mengenaskan yang Saya alami waktu itu. Pas Saya dan Marhen berada di satu perahu, Saya memilih untuk berenang. Marhen dan anaknya si bapak berada di atas perahu. Niatnya bercanda, saya ajak balapan anak si bapak. Saya berenang, dia mendayung. Tak tahunya, dia anggap serius. Perahunya di dayung kencang, Saya berenang dengan susah payah coba menyusul perahu itu. Sampai nafas saya hampir habis, perahu masih didayung sama si anaknya bapak. Ha ha ha. Rencana pembunuhan yang sistematis, sepertinya. Ya, akhirnya Saya kelelahan, dan memilih berhenti. Si Marhen mengira Saya tenggelam, turunlah dia ke laut guna menyelamatkan Saya. Malah jadi panik berdua pas di tengah laut. Ha ha ha. Tapi seru! Hampir mati! Tapi, kemudian Saya pindah perahu lagi bersama Andika. Kami memutuskan untuk menjelajah laut lebih jauh, mencari tempat yang bagus untuk snorkeling, tepatnya liat-liat dengan modal kacamata renang. Sepanjang pantai, cuma tebing-tebing dan beberapa sapi ternak yang berada di pinggiran pantai. Di belakang tebing, terdapat lukisan yang maha indah (gak berlebihan ini). Biru langit, dengan lukisan Gunung Rinjani di kejauhan, juga beberapa buntal awan putih. Benar-benar indah! Sumpah, gak bohong. Di beberapa tempat, kami berhenti. Saya dan Andika pun nyebur ke laut. Mau melihat karang dan ikan di kedalaman laut. Tapi, kemana gerombolan Ayya, Marhen, Lukvi dan anaknya si bapak? Mereka ternyata sudah lebih dulu menepi. Hari sudah sore. Kami memutuskan menyudahi per-melaut-an kami. Tiba kami di tepian, perahu kembali diparkir di tempatnya. Ayya dan Lukvi sudah nongkrong di warung tepi pantai. Curang, mereka makan duluan. Tapi tak apa, saya juga kebagian nangka. Menikmati sore di tepi pantai, dengan angin yang berhembus pelan, dan nangka di mulut. Selesai makan-makan, kami kembali ke rumah si bapak. Bilas-bilas badan yang lengket (eh tapi lupa, makan dulu apa bilas dulu ya? ha ha). Terima kasih buat si bapak nelayan dan keluarganya yang rela direpotkan dengan kami orang-orang norak. Jalan pulang sore hari, dengan pemandangan Gunung Rinjani yang berdiri kokoh. Matahari memerah, mengiringi jalan pulang menuju pondokan. Jarak dari Desa Anyar ke Desa Karnag Bajo, kira-kira 6 kilometer. Dan setengah dari perjalanan pulang itu, kami tempuh dengan jalan kaki. Kebayang sampai sekarang capek-nya gimana. Sampai akhirnya ada truk penolong. Truk terakhir itu yang menemani perjalanan kami hingga tiba di pondokan. Selamat sore Karang Bajo. []

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun