Setiap pagi saya selalu menyempatkan diri untuk membuka beberapa media online, baik jejaring sosial hingga surat kabar online dalam dan luar negeri. Tujuannya sederhana, mengupdate diri saya terhadap apa yang terjadi di sekitar saya, melihat kabar kawan-kawan saya, mendegar opini orang lain dan mengetahui apa yang terjadi di dunia belahan lain sana.
Namun hari ini saya tertegun saat membaca salah satu status Facebook kawan saya. Sudah beberapa hari secara berturut turut beliau mengeluhkan keadaan Republik Indonesia. Tidak biasa! Sungguh! biasanya beliau adalah sosok yang optimis, ramah, senang berbagi foto dari negeri Myanmar kepada saya dan kepada kawan-kawan lainnya.
Ini lah salah satu keluhannya:
" Itu ungkapan kekecewaan dr rakyat termasuk saya.. gak ada habis"nya indonesia di rundung kesedihan, tidak sampai" indonesia menuju kemakmuran.. semua itu salah siapa..? Tuhan..? tidak, Tuhan telah memberikan yg terbaik utk Indonesia.. semoga semua ini bukan awal kehancuran dr sebuah negara yg bernama Indonesia.."
Pribadi saya menjadi tergetar dan miris! Namun tidak dapat di pungkiri pendapatnya, saya yakin tidak hanya beliau yang merasakan demikian, ramai manusia Indonesia di luar sana berpendapat serupa.
Mengapa demikian? Kemana harapan itu?
HARAPAN ITU ADA, dan selalu ADA. Namun pada saat ini input yang masuk ke otak kita tidak seimbang. Input yang menjunjukan Indonesia sulit berkembang, terpuruk dan kawan-kawannya nyatanya lebih besar, jauh lebih besar daripada input HARAPAN, prestasi, dan kemajuan Indonesia kita. Buktinya kita terlalu sering di bombardir oleh input sisi negative Republik kita. Sekali lagi lihat lah TV berita kita, lihatlah media masa kita. Apakah seimbang?
Dari sudut pandang ilmu jiwa, manusia kita telah mengalami dan dikondisikan dengan rasa ketidakberdayaan atau yang oleh Martin Seligman disebut learned helplessness . Dalam kondisi ini kita menjadi percaya bahwa apapun yang kita lakukan sia-sia, tidak ada gunanya, kita tidak mempunya kemampuan untuk mengkontrol keadaan ini.
Lalu bagaimana untuk menyeimbangi?
Masih menurut Seligman situasi diatas nyatanya dapat dihadapi oleh manusia, termasuk oleh kita. Cobalah menantang diri kita sendiri, anggota keluarga anda, teman anda, PEMERINTAH KITA untuk mencari apa yang bisa dijadikan penyeimbang berita. Bantu diri anda pribadi untuk dapat melihat adanya harapan itu, dan sebarkan bahwa ada harapan itu.
Saya tahun lalu sempat membaca bahwa ada gagasan untuk membuat berita tandingan. Yang isinya sebagai penyeimbang, tidak melulu negative.
Namun memang diakui bahwa ada kesulitan untuk berharap media utama yang ada untuk selalu mengupas berita demikian, karena menurut kawan yang juga bekerja di media swasta, media kini tergantung pada rating. Banyak media yang berubah haluan, tidak lagi berpegang pada idelisme awal, mungkin rating menjadi lebih penting kini. Hmm..benarkah demikian?
Hadirnya media Independent sebagai penyeimbang
Kehadiran media independent ternyata dapat memotong kebuntuan diatas. Website “Good News from Indonesia” atau GNFI adalah contoh satu media independent yang ingin menjadi alternative. GNFI berhasil menawarkan berita-berita khas tentang Indonesia dilihat dari sudut pandang positive dan optimisme.
Cangkupan beritanya tidak hanya fokus pada budaya dan keindahan alam Indonesia, namun juga mencangkup dinamika politik, ekonomi, pendidikan, science dan hingga kemiliteran Indonesia.
Tanpa bermaksud untuk promosi, jadi tunggu apa lagi! Mari tantang diri anda dengan input positive dan optimisme agar menjadi manusia Indonesia yang seimbang.
Ingat seimbang! Jangan juga saja membaca berita positive, karena nanti lupa diri dan melayang terlalu tinggi. Khawatir jatuh dan sakit.