Di dalam era yang sangat dinamis seperti saat ini, tidak banyak orang ataupun institusi yang dapat memahami atau memprediksi apa yang akan terjadi di masa-masa yang akan datang secara akurat. Termasuk memprediksi apakah Integrasi negara-negara anggota ASEAN menjadi Komunitas ASEAN pada Desember 2015 dapat terjadi dengan mulus.
Berdasarkan hasil riset terbaru dari Asian Development Bank (ADB) yang dirilis November 2013, target integrasi Komunitas ASEAN disinyalir akan melenceng dari batas waktu yang telah disepakati. Salah satu penyebab utamanya adalah banyaknya “Pekerjaan Rumah” di tiap-tiap negara yang belum terselesaikan sesuai dengan penjabaran yang ada di dalam ASEAN Economic Community Blueprint. Per Maret 2013, hanya 77.5 % PR yang telah terselesaikan, naik 10% dari tahun 2012 yang hanya mencapai 67.5% sesuai yang di laporkan dalam ASEAN Economic Community Scoreboard 2012.
Untuk kesiapan Indonesia sendiri, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa berpendapat bahwa kesiapan Indonesia saat ini sudah berada di atas 80%, sejajar dengan Malaysia namun di bawah Singapore sedikit. Menurutnya Indonesia akan siap 100% di akhir tahun 2015.
Namun berlainan dengan pendapat Pak Menteri, Ekonom yang juga Direktur ECONIT, Hendri Saparini, berpendapat Indonesia masih belum siap bahkan hingga akhir 2015. Hal ini dapat dilihat dari belum adanya kebijakan komprehensif dari pusat untuk menyambut Komunitas ASEAN.
Jangan terpaku pada Pencapaian “Checklist”
Saya pribadi yang diberi kesempatan untuk melihat langsung situasi lingkungan dan prospek bisnis dan tenaga kerja di Indonesia, lebih sependapat dengan Ibu Hendri Saparini. Bahkan sejak beberapa tahun lalu saat saya berjumpa dengan beliau di Malaysia.
Saat ini memang masih ada celah-celah yang dapat berbalik dan menjadi boomerang bagi Indonesia kedepannya. Celah-celah ini mulai dari sosialisasi (Konsep Komunitas ASEAN dan strategi Indonesia), kebijakan pendukung (Perangkat hukum: UU, Kepres dan lain-lain), implementasi dan evaluasi kebijakan, komitmen politik hingga kerja sama pemerintah-swasta yang selalu didengungkan tapi selalu berakhir menjadi janji semata.
Kegagalan menutup celah-celah diatas tidak mustahil membuat Indonesia hanya menjadi pasar besar ASEAN (dan juga negara-negara lain yang tertuang dalam perjanjian-perjanjian perdagangan lainnya), “supplier bahan baku” terbesar bagi pertumbuhan ekonomi ASEAN dan rumah dari berjuta-juta tenaga kerja murah.
Meski saya tidak dapat menepikan manfaat besar dan gambaran masa depan yang lebih cerah dengan adanya Komunitas ASEAN yang ditopang tiga pilar integrasinya (Ekonomi, Sosial-Budaya dan Keamanan). Saya berpendapat saat ini kita harus lebih realistis dan jangan terpaku pada angka 80% yang tidak lebih hanya dari pencapaian diatas kertas (Baca: check list). Pencapaian di atas menurut saya perlu diterjemahkan dalam bentuk implementasi dan dievaluasi relevansinya sehingga dampaknya akan lebih menguntungkan banyak pihak dan sistemik.
Implikasi Komunitas ASEAN 2015 pada Lapangan Pekerjaan di Indonesia
Sejak dideklarasikan pertama kali dalam Declaration of ASEAN Concord II (Bali Concord II), Komunitas ASEAN digambarkan akan menjadi Komunitas masa depan yang berdaya saing tinggi dan dapat membawa kemakmuran berkelanjutan bagi masyarakatnya melalui integrasi ekonomi, sosial budaya dan keamanan.
Untuk menunjang lancarnya usaha integrasi negara-negara anggota ASEAN ke dalam Komunitas ASEAN, dibentuklah Komunitas-komunitas yang lebih spesifik fungsi kerjanya. Ketiga komunitas yang dijadikan pilar Komunitas ASEAN ini adalah Komunitas Ekonomi ASEAN, Komunitas Sosial Budaya ASEAN dan Komunitas Keamanan ASEAN.
Dari ketiga pilar Komunitas ASEAN, Komunitas Ekonomi ASEANlah yang paling menonjol di Indonesia. Hal ini diakibatkan oleh banyaknya perdebatan kontroversial dampak dari pasar bebas yang mempermudah masuknya arus barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja professional. Namun dibanding yang lain, pembahasan isu dan peluang arus keluar masuk tenaga kerja professionallah yang paling jarang didiskusikan.
Padahal menurut laporan McKinsey The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s Potential, Boston Consulting Group Tackling Indonesia’s Talent Challenges yang dipublikasi di tahun 2013 dan juga laporan tingkat daya saing global Indonesia, Indonesia jelas sangat tertinggal dibanding beberapa Negara tetangga. Indonesia juga kekurangan dan sangat membutuhan tenaga ahli dan juga tenaga professional tingkat manager.
Dengan fakta diatas, Indonesia secara perlahan namun pasti jelas akan digempur oleh banyak tenaga ahli atau professional asing yang notabene lebih unggul di beberapa bidang keahlian, dalam Bahasa dan kemampuan managemen.
Konstruksi, Kesehatan, Pariwisata dan Keuangan
Sesuai dengan Mutual Recognition Arragement dan Mutual Recognition Arragement Framework, untuk tahap pertama, arus bebas keluar masuk tenaga kerja profesional akan memberikan dampak pada empat sektor pertama sebelum merambah ke delapan sektor lain yang mencangkup semua jenis sektor pekerjaan. Keempat sektor tersebut adalah Sektor konstruksi dan teknik, sektor jasa keuangan, sektor yang berkaitan dengan kesehatan dan pariwisata.
Dalam tahap pertama, Indonesia hanya dapat bersaing di sektor Konstruksi dan pariwisata meski di kedua sektor ini pun masih ada banyak PR yang harus di selesaikan. Sebagai contoh kurangnya sertifikasi bagi tenaga professional di sektor pariwisata Indonesia. Indonesia lebih menonjol dengan kemampuan otodidak dan tidak di dukung oleh sertifikasi. Dalam sektor Pariwisata, tenaga kerja pariwisata Indonesia tentu harus berhadapan dengan tenaga kerja dari Singapore, Malaysia dan Brunei yang mempunyai sertifikasi dan mendapatkan pelatihan secara berkala.
Untuk di sektor kesehatan, Indonesia sudah hampir kalah sebelum berperang. Saat Malaysia dan Singapore berlomba-lomba menaikan taraf fasilitas dan Sumber Daya Manusia rumah sakit mereka agar dapat menawarkan Medical Tourism yang berkualitas, Indonesia masih berkutat dalam masalah ketersediaan dokter yang masih jauh dari jumlah yang diperlukan.
Jika ada waktu cobalah kunjungi fakultas-fakultas kedokteran ataupun kedokteran Gigi di kampus-kampus besar Indonesia. Kita akan dengan mudah menjumpai mahasiswa-mahasiswa asal Malaysia yang memang diberikan beasiswa untuk menjadi dokter.
Mengapa begitu banyak mahasiswa yang diberikan beasiswa untuk belajar dokter di Indonesia? Silahkan anda menilai.
Menurut pengamatan saya selama menjadi Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia, dengan belajar di Indonesia, maka lulusan dokter tersebut (1) sangat paham dengan berbagai budaya dan penyakit Indonesia sehingga jika kembali ke negaranya mereka akan dengan mudah mengembangkan medical tourism mereka, (2) dengan belajar di Indonesia maka mereka akan mendapatkan sertifikat dari Indonesia yang mana jika nantinya mereka di tempatkan di Indonesia, akan sangat mempermudah administrasi, dan (3) biaya belajar di Indonesia relative lebih terjangkau.
Untuk sektor keuangan / finansial, kebutuhan tenaga professional di bidang ini dipastikan akan tumbuh diatas 5% akibat meningkatnya kebutuhan akan good corporate governance. Namun demikian jumlah tenaga ahli kita dalam sektor ini tidak sebanding dengan kebutuhan sektor ini di masa yang akan datang. Ambil saja data dari Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) di tahun 2013, umlah akuntan yang ada di Indonesia hanya mencapai 13.933. Coba bandingkan dengan Thailand, Malaysia dan Singapore yang masing-masing berjumlah 51.298, 29.413 dan 25.843 orang.
Selama tahun 2013, tercatat 68.957 Tenaga Kerja Asing yang berada di Indonesia dan tersebar di berbagai sektor jasa, industri dan pertanian. Mereka mengisi posisi-posisi seperti level teknisi, supervisor, manager, direksi dan konsultan. Dengan terbukanya arus keluar masuk tenaga kerja professional asing ke Indonesia, tidak mustahil jumlah Tenaga Kerja Asing asal ASEAN di Indonesia bertambah melebihi saat ini yang didominasi dari RRT, Jepang, Korea Selatan dan India.
Perlunya Kebijakan yang Pro-Indonesia
Saya pribadi tidak menolak pasar bebas ASEAN dalam Komunitas ASEAN, namun saya menegaskan masih banyak PR yang harus diselesaikan.
Dalam sebuah seminar yang diadakan oleh BKKBN, saya sempat berdiskusi dengan salah satu pejabat tinggi direktorat jendral pelatihan dan produktifitas yang merupakan bagian dari salah satu kementerian. Kami sepakat, bahwa sebenarnya hampir mustahil untuk Indonesia dapat berkompetisi di pasar bebas tenaga kerja ini jika PR-PR yang ada tidak diselesaikan. Dan adalah hal yang hampir mustahil juga untuk tenaga kerja professional Indonesia untuk keluar bekerja jika mereka tidak dibekali kompetensi dan kelengkapan administrative yang diperlukan. Untuk tenaga kerja kelas non-professional, ASEAN saat ini tidak membuka kesempatan bagi mereka untuk mendapat fasilitas layaknya tenaga professional.
Untuk tidak melihat Indonesia berubah menjadi pasar, “supplier” bahan baku dan penyedia tenaga kerja murah semata, kita harus secara aktif mengawasi dan memberikan usul kebijakan-kebijakan yang Pro-Indonesia, meski kita juga tidak ingin kita dan Indonesia menjadi batu ganjalan dalam integrasi Komunitas ASEAN 2015.
Kebijakan-Kebijakan yang Pro-Indonesia sangat mungin dikembangkan!
Mengigat menurut dokumen cetak biru Komunitas ASEAN, konsep Arus Bebas bukanlah hal yang absolut atau benar-benar dapat diartikan secara harfiah. Arus Bebas dalam konteks pasar bebas ASEAN adalah arus yang masih dapat diatur sesuai dengan hukum dan regulasi Negara setempat.
Jadi intinya Indonesia masih memiliki kurang lebih dua tahun untuk menyelesaikan PR-PRnya dan menciptakan dan/atau mengetatkan kebijakan-kebijakan tenaga kerja untuk menjadi lebih Pro-Indonesia.
Untuk kebijakan yang sangat mungin untuk diketatkan implementasinya adalah:
- Keputusan Presiden Nomor 75 tahun 1995 yang menekankan bahwa orang asing yang bekerja di Indonesia haruslah orang yang benar-benar ahli dalam bidangnya dan tenaga kerja Indonesia belum mempunyai keahlian tersebut. Kemudian Tenaga kerja asing mempunyai masa kontrak dan tenaga kerja asing harus dapat melakukan transfer pengetahuan, sehingga tanaga kerja Indonesia dapat juga berkembang. Kenyataan saat ini?
- Kebijakan untuk mempermudah atau mendukung kegiatan pengembangan kompetensi (Capacity Building) dalam perusahaan untuk terus mengasah kemampuan pekerja maupun untuk mempromosikan konsep lifelong learning. Dapat mengambil contoh Human Resource Development Fund Malaysia dan Juga Skills Development Levy milik Singapura. Hal seperti ini lah yang membuat pelatihan sangat mudah dilakukan di Malaysia, Singapore dan Thailand.
- Sesuaikan kurikulum sesuai dengan kebutuhan saat ini dan yang masa akan datang. Kurikulum harus dibangun dengan fokus dalam pengembangan kemampuan berbahasa inggris, menggunakan computer, berprilaku sesuai dengan konteks dan ketrampilan berpikir kritis.
- Sosialisasi konsep dan juga strategi pemerintah dalam menghadapi ASEAN 2015.
- Pelatihan dan sertifikasi yang secara konsisten dilakukan untuk memastikan tenaga kerja kita dapat menjadi tenaga kerja professional yang memiliki kompetensi sesuai dengan standar kompetensi kerja nasional Indonesia, ASEAN dan Global.
Pertanyan untuk kita semua adalah, apa yang akan terjadi jika kita tidak mengawasi dan memberi masukan kebjikan? Apa yang terjadi juga saat ada orang lain yang mencoba mengambil keuntungan dari melobby-lobby pembuat kebijakan kita?
Artikel ini saya harap berguna untuk menjadi bahan diskusi di kompasiana dan juga saat konfrensi 14th Indonesian Scholars International Convention yang akan diadakan di Oxford 25-26 Oktober 2014.
Saya pribadi tertarik untuk melakukan riset lebih dalam perihal implikasi Komunitas ASEAN 2015, dengan fokus pada tenaga kerja dan kebijakan arus keluar dan masuk.
Bravo untuk tim Kompasiana untuk memilih bekerja sama dengan pihak pelajar di Inggris dengan mengangkat tema ini.
Salam
Felix Kusmanto
Direktur Kinerman Institute
Sebuah wadah pemikir (Think Tank) yang membantu pihak pemerintah, institusi sektor publik dan swasta dalam mengatasi tantangan Kualitas dan Kinerja Manusia melalui pendekatan Penelitian (Research), Pengembangan Pilihan Kebijakan (Policy Options) dan juga Penerapan Kebijakan (On-Demand-Assistance)