Ada tiga jalan yang seringkali diambil oleh para penulis novel remaja/dewasa-muda dalam ceritanya di masa sekarang ini. Pertama, seperti yang lazim di Amerika Serikat, mereka bisa mencoba membangkitkan kembali arwah triumvirat Orwell-Bradbury-Huxley. Dengan terengah-engah, tentu saja, karena pendalaman terhadap struktur ekonomi dan sosio-politikal pemerintah/masyarakat distopian bisa dipinggirkan dulu demi kisah cinta sang karakter utamanya. Yang kedua, langsung masuk saja kepada roman picisan, lengkap dengan cinta pada pandangan pertama dan tetek-bengek lainnya. Cinta lantas digambarkan menjadi sesuatu yang transenden, yang melampaui agama, status sosial, halangan dari orang tua, jarak, bahkan spesies, jika manusia serigala bisa dibilang seperti itu. Yang terakhir ini hidup dalam bentuknya yang lain, dalam film, sinetron, dan FTV dengan cerita yang bisa membuat Jane Austen maupun Shakespeare gila andai saja mereka hidup di Indonesia jaman sekarang.
Jalan yang terakhir adalah dengan memberinya bingkai agama. Selepas novel (juga film) Dealova dan Eiffel I’m in Love (dengan stereotip pemuda cuek-namun-kaya-dan-pintar-bermain-basket yang akhirnya menjungkalkan pemuda cuek-namun-nyeni-dan-fasih-mengutip-Chairil-Anwar sebagai pemegang tampuk Remaja Idola di Sekolah), novel remaja/dewasa-muda di Indonesia mengalami kekosongan karakter sampai munculnya tipe-tipe remaja yang taat beribadah, yang fasih dalam agama. Mereka adalah perwujudan anima/animus yang membawa si protagonis – atau bersama-sama dengannya – menuju level relijiusitas yang lebih tinggi lagi. Cinta tentu tetap ada di dalamnya, namun ia harus berkulminasi pada pernikahan, sebagai perlambang cinta mereka yang lebih besar kepada Tuhannya dahulu, baru kepada manusia. Maka bisa dibilang akhir-akhir ini yang ada hanyalah ekses romantisme, namun miskin kisah persahabatan dan avonturisme yang khas dengan serial Balada Si Roy atau Lupus. Bukan berarti novel romantis itu selalu buruk. Dewi Kharisma Michellia, contohnya, bisa memberikan sisi lain kepada romantisme dengan memberikan komentar-komentar mengenai alienasi dan budaya pariarki masyarakat Bali dalam novel epistolarisnya yang berjudul Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya.
Namun, Kamu: Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya, novel perdana Sabda Armandio, menolak mengambil jalan-jalan tersebut.
Novel ini dibuka in medias res (dari tengah-tengah) dengan narasi tentang kamar kos barunya, juga pekerjaan dan kota Jakarta yang sama-sama membosankan, dan munculnya seorang satpam yang entah hantu, entah efek halusinasi. Si protagonis, mari kita sebut saja “Sang Narator”, sudah berumur 27 tahun pada waktu itu. Ia hanya mempunyai tujuh jari tangan. Ayah dan ibunya sama-sama meninggal karena kebakaran. Ia mempunyai seorang teman sekolah yang absurd, gemar menghisap ganja, dan selo seperti anak-anak Generasi Beat bernama “Kamu” (apakah ini juga sebuah alusi kepada Camus?). Satu-satunya yang biasa darinya mungkin hanyalah kerja kantorannya di Jakarta, juga kegemarannya menyantap mi instan.
Ia kemudian beralih mengenang masa lalunya, pada masa-masa SMA menjelang Ujian Nasional. Waktu itu, “Kamu” menelepon untuk mengajaknya bolos. Karena absurditas Si “Kamu” ini, maka ajakan bolosnya tentu bukan untuk melakukan kenakalan yang jamak dilakukan anak-anak SMA (meskipun merokok dan menenggak bir tetap mereka lakukan juga di perjalanan). Mereka berdua membolos untuk mencari sebuah sendok yang tertukar dan mengantarkan sebuah paket kepada seseorang yang belakangan kita tahu bernama Kek Su. Kemudian ada kisah mengenai teman perempuan satu kelas “Sang Narator” yang sakit leher yang minta diantar ke dokter. Lalu ada juga kisah mengenai kekasihnya (yang lantas menjadi mantan pacar) yang hamil bukan karena “Sang Narator”. Ada pula cerita bersama Permen, perempuan yang ditaksir oleh “Kamu”, dan Johan, seorang guru les yang juga suka kepada Permen.
Dalam setiap petualangan masa lalunya itu, “Sang Narator” selalu mendapati dirinya dalam situasi yang ganjil, jika tidak bisa dibilang surreal. Sewaktu ia mengantar paket, misalnya, ia bersama “Kamu” masuk ke sebuah gorong-gorong untuk menghindari macet. Macet bukan karena banjir atau kecelakaan, tentu saja, melainkan karena sekumpulan monyet yang tiba-tiba mengamuk. Gorong-gorong ini lantas membawanya ke dunia lain yang mirip dengan “Alice in Wonderland”, lengkap dengan padang bunga yang aneh dan orang utan yang bisa berbicara dan memakai kaos bernada ironis yang bertuliskan “Save Human”. Kemudian ada polisi yang menyamar sebagai tukang bakso. Di kesempatan lain, ia bertemu dengan pesulap yang mengeluarkan hewan-hewan dari dalam topinya, yang lantas memberikan kartu nama beralamatkan rumah Sang Narator itu sendiri. Dan, dalam beberapa halaman yang nyaris sebuah metafiksi, ia bercerita tentang sebuah novel yang berjudul Bagian Terbaiknya adalah Tak Ada Bagian Terbaik, sebuah cerita tentang seorang profesor yang dihukum menghitung bulu domba. Isinya, hitungan bulu domba. Secara literer.
kamu
Dengan selera humor yang ironis dan sama-sama ganjilnya, “Sang Narator” coba memaknai sekitarnya. Baliho yang muncul begitu saja menjelang pemilu dianggapnya bak Candi Prambanan. Parfum mobil yang berbau seperti soto babat. Pesulap yang menawarkan keajaiban dikatakannya seperti seorang motivator. Dan bahwa memakan mi goreng adalah cara mati yang lebih aduhai daripada menembak kepala dengan shotgun.
Surealisme yang menyertai “Sang Narator” semasa remajanya ini tak lantas membuat “Sang Narator” terhenyak. Ia heran, namun tetap tenang dengan ketenangan yang begitu psikopatik, bahkan dalam kemalangan sekalipun. Saat ayah dan ibunya tewas terbakar, komentarnya hanyalah “Keduanya, dilihat sekilas, sama matangnya” (hal. 22). Si mantan pacar yang hamil hasil dari perselingkuhan pun tak meregister apa-apa di pikiran sang Narator. Diajak putus, ia setujui. Diajak ke dokter kandungan, ia setujui. Tak diceritakan siapa bapaknya? Tidak masalah. Menulis surat hendak bunuh diri? “Semoga kematiannya benar-benar hangat” (hal. 228), ucapnya. Bahkan “Kamu”, yang bisa dianggap sebagai tokoh paling dekat dengannya di novel ini baginya “[…] bukan sahabat, bukan pula musuh. Sama saja. Aku senang menghabiskan waktu dengannya, akan tetapi bukan masalah besar jika ia tidak ada. Kurasa ia pun berpikir demikian.” (hal. 24).
Sampai akhir buku, level emosinya tetaplah datar, nyaris nol seperti petapa. Memang benar, ia telah kehilangan banyak hal. Tiga jarinya yang absen mungkin perlambang hilangnya orang tua, cinta, dan sahabat yang akan menyertai kehidupannya. Maka, menurutnya, ia tak lagi menginginkan apa-apa. “Mulutku bersekongkol dengan otak untuk melindungi diriku sendiri dari perasaan-perasaan yang mungkin muncul jika aku mengetahui lebih banyak” (hal. 185), begitu ungkapnya. Pada akhirnya, karakter “Sang Narator” tetaplah pipih: seorang “Yes-Man” yang berkubang dalam pasifisitas. Seseorang yang menerima hidup dengan pasrah dan tanpa perlu banyak tahu. Seseorang yang menganggap kehilangan seperti sesuatu yang sebanal berak. Jika saja Jean-Paul Sartre membaca buku ini, ia tentu mengenali mauvaise foi dalam pemikiran-pemikiran “Sang Narator”.
Di samping itu, hanya ada sedikit perbedaan suara antara dialog dari sang Narator dengan tokoh lain. Kecuali kokoh penjaga ding-dong, si mantan pacar, dan Johan, mereka semua bisa mengutarakan sesuatu yang profound. Bahkan polisi yang menyamar menjadi tukang bakso, entah mengapa, dapat mengucapkan kalimat seperti berikut: “Bukan hilang, mungkin lebih tepat disebut berpindah tempat. Di dunia ini tidak ada yang hilang. […] Orang-orang lahir dan mati, benda-benda diciptakan, lalu rusak, dan dibuang. Tak perlu disesali. Biar saja. Segalanya baik dan tak ada yang terluka” (hal. 152-153). Sebuah keseragaman yang mirip dengan cara “Sang Narator” memandang dunia: fatalistis, dan hampir-hampir nihilis, namun sayangnya tidak disertai dengan believable depth. Ini pun menyebabkan karakter yang sebenarnya mempunyai motif yang menarik, seperti teman perempuan sekelasnya yang mencintai ayahnya sendiri, menjadi timbul dan tenggelam.
Ketiadaan atau impotensi figur otoritas (orang tua, sekolah) dalam novel ini mungkin juga turut menyebabkan keseragaman yang lain: tingkah polah masa muda yang tidak ditandai dengan pemberontakan yang menggebu-gebu, tetapi dalam kegelisahan seorang flâneur yang merasa tidak perlu bergerak ke mana-mana, sebab dunia di sekitarnya sudah bergerak kesana-kemari (hal. 291). Ini pun juga tergambar lewat dunia kecil dalam novel ini yang anakronistis. “Sang Narator” lebih gemar bermain ding-dong daripada game online. Pemakaian telepon rumah dan telepon umum koin alih-alih ponsel. Kegaliban tokoh-tokohnya menyebutkan lagu-lagu lawas The Rolling Stones hingga Nick Drake dan Charlie Patton. Retromania yang menular dari satu tokoh ke tokoh lain ini membuat saya berpikir: apakah ini suara dari tokohnya, atau suara Sabda sendiri? Lalu bagaimana mereka, dengan pengetahuan yang ensiklopedik, dapat mengenali lukisan gaya mooi indie sampai membawa Gondwana dalam percakapan remeh-temeh? Mengapa juga snobbery ini mesti menular? Apakah Sabda, saat hendak menempatkan Holden Caulfield ke dalam Macondo versi Bogor, malah menghasilkan tokoh dari cerita-cerita Murakami Haruki?
Meskipun begitu, di dalam novel ini, juga terdapat beberapa dialog berisi kritik yang menggelitik dan relevan bagi anak muda sekarang. Misalnya kehamilan remaja dan sekolah yang justru tak memanusiakan muridnya (hal. 214), kelas menengah dan antagonismenya kepada kaum buruh (hal. 290), Ujian Nasional yang dengan keliru dijadikan tolok ukur kesuksesan (hal. 300-301). Tak hanya itu, ia juga tak malu-malu untuk bermain-main dengan konsep Tuhan, dosa, dan kehendak bebas (hal. 256-259).
“Kamu” tidak menawarkan apa-apa, namun justru, seperti yang dikatakannya sendiri, bagian terbaiknya adalah tak ada bagian terbaik. Karena hidup seringkali tak memberi kita bagian yang terbaik. Ia seringkali mengecewakan. Ia seringkali membawa kehilangan. Namun hidup harus berjalan, dan ia membutuhkan harapan untuk berjalan betapapun ilusifnya harapan-harapan itu. Novel ini tidak menjejali kita dengan bualan a la Cinderella, tidak juga menakut-nakuti kita dengan penghukuman-penghukuman yang tragis. “Kamu” mencoba realistis karena kita semua dikutuk untuk hidup, dan karenanya, mau tidak mau harus menghisap sari-sari ilusi ini sampai semuanya berhenti. Tidak ada yang benar-benar sempurna dalam hidup. Dan tidak ada pilihan-pilihan yang akan selalu menghindarkan kita dari bau busuk kehidupan.
(Artikel ini pernah dipublikasikan di http://www.birokreasi.com/2015/02/27...a-yang-absurd/)
Goodreads: https://www.goodreads.com/book/show/24885350-kamu