Beberapa bulan terakhir saya asyik menjelajah internet untuk melengkapi beberapa koleksi film dari Jean Luc Godard. Alasan lainnya adalah mencari sebuah film yang pertama kali saya tonton di bioskop bersama orangtua. Film itu begitu membekas, sebuah komedi, dan adegan yang terekam di ingatan saya adalah, seorang laki-laki di sebuah kelas yang bermain-main dengan kaca pembesar untuk memfokuskan cahaya pada koran yang dibaca oleh seorang guru di muka kelas. Koran itu terbakar dan si guru kelabakan. Awalnya saya pikir itu adalah film Hollywood tahun 70-an atau 80-an, namun dengan kenyataan bahwa tidak ada adegan itu dalam film-film Hollywood yang berkemungkinan menjadi best-seller hingga layak diputar di sebuah bioskop di kota Padang awal tahun 80-an. Hingga temuan mengejutkan bahwa, bagi peminat bioskop di kota tersebut, selain film kung-fu Hongkong, India dan tentunya produksi Hollywood (baik dari studio besar maupun kelas B-movie), film Italia adalah sesuatu yang fenomenal. Penyusuran berlanjut pada film-film produksi Italia tahun 70-an, mulai dari
Commedia sexy all'italiana hingga kembali ke apa yang tersisa setelah menelusuri Jean Luc Godard, Pasolini. Nama Pier Paolo Pasolini ditemukan dalam karya
omnibus ROGOPAG (Rossolini, Godard, Pasolini) serta di
Amore e Rabbia. Film-film tersebut terasa berat-berat ringan. Menjadi terasa berat karena kendala bahasa dan tema kehidupan sosial di tahun 60-an di dunia Eropa yang tentu terasa sangat berjarak dengan masa kini, namun menjadi terasa ringan dan mengalir tersebab sengatan kultural yang libidinal soal vulgaritas tubuh dan semangat jaman yang sedang berontak dalam setiap rekaman adegan. Pasolini adalah
adalah sutradara film Italia, penyair, penulis dan intelektual. Pasolini dapat dibedakan dirinya sebagai penyair, jurnalis, filsuf, ahli bahasa, novelis, dramawan, pembuat film, kolumnis surat kabar dan majalah, aktor, pelukis dan tokoh politik. Ia menunjukkan fleksibilitas budaya yang unik dan luar biasa, menjadi tokoh yang sangat kontroversial catatan prosesnya.(1) Sementara karya-karyanya tetap kontroversial hingga hari ini. Sejak kematiannya Pasolini dihargai oleh banyak orang sebagai seorang pemikir yang visioner dan merupakan tokoh utama dalam kesusasteraan dan dunia seni Italia. Kritikus sastra Amerika yang berpengaruh
Harold Bloom menganggap Pasolini menjadi penyair Eropa utama dengan peran yang besar dalam puisi abad ke-20, termasuk dalam karya-karya koleksi
kanon Barat (2), term yang merujuk pada sederatan buku-buku, musik dan seni yang secara signifikan menjadi bagian penting dan berpengaruh dalam membentuk peradaban Barat. Figur ini memiliki film-film yang menarik, nasibnya berakhir tragis di tangan para pembunuh. Film-film terakhirnya menandai berakhirnya era film serius dan filosofis Italia di tahun 70-an. "Trilogi Kehidupan" Pasolini dalam judul-judul,
Decameron,
The Canterbury Tales dan
A Thousand and One Nights (
Arabian Nights) menjadi bagian dari pemberontakan terhadap nilai-nilai sosial yang hiprokit di Italia dengan cara yang berbeda dengan yang dibawa dalam genre "mondo"(3) di era yang sama.
Salò o le 120 giornate di Sodoma, adalah film terakhir Pasolini, ditulis berdasarkan karya Marquis de Sade
Les 120 journées de Sodome ou l'école du libertinage . Skenarionya hasil kolaborasi dengan Sergio Citti ditambah dengan kutipan-kutipan panjang dari karya Roland Barthes'
Sade, Fourier, Loyola serta karya Pierre Klossowski's
Sade mon prochain. Beberapa rol film ini, menurut Sergio Citti telah dicuri orang, dan tanggal 2 November 1975, Pasolini pergi ke Stockhlom untuk menemui para pemerasnya. Di tangan siapa kemudian dia meregang nyawa. (4) Setelahnya perfilman Italia jatuh ke dalam era eksploitasi seksualitas perempuan dalam balutan komedi yang slapstik serta era film '
cult' dan horror (5) seperti yang banyak kita temui di lapak penjual DVD dengan judul-judul seperti Cannibal Ferox, Cannibal Holocoust dan lain sejenisnya. Begitulah awal soal Pasolini.
KEMBALI KE ARTIKEL