“Padahal apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam), dan dia sangat marah. Dia bersembunyi dari orang banyak, disebabkan kabar buruk yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan (menanggung) kehinaan atau akan membenamkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ingatlah alangkah buruknya (putusan) yang mereka tetapkan itu.”
Kejadian itu mungkin terjadi di negeri Arab sana, namun tidak menutup kemungkinan di belahan dunia lain hal yang sama terjadi.
Hingga akhirnya Islam datang, agama kebenaran, Dienul Islam, dengan Rasul merubah semua pandangan itu. Dan memiliki Anak Perempuan bukanlah lagi suatu momok, justru keistimewaan. Karena perempuan adalah calon ibu dari anak-anak Lelaki atau Perempuan (lagi) kelak yang menjadi pewaris keturunannya. Subhanallah.
Papaku datang dengan polos dan berucap: "Saya mau anak perempuan.. Agar bisa menemani Ibunya, memberi contoh Adik-adiknya.. Mengerti Bapaknya". Lalu lahirlah saya, senang mungkin itu yang terpancar saat melihat saya, memberikan berbagai ritual saat menanam ari-ari saya.
Saya beranjak besar, gempal, cerewet dan sangat lincah. Menangis adalah hal yang jarang terdengar dari bibir tipis saya. Entah dengan siapapun, bukan hal sulit untuk saya berakhir di gendongannya. Berkicau seperti beo, baa bii buu caa cii cuu sesukanya tanpa rasa sungkan pada siapapun yang ada di sekitar saya.
Memasuki usia sekolah, saya memang bukan anak yang sangat cerdas sampai jenius. Hanya anak biasa yang Alhamdulillah tidak di bawah rata-rata. Memiliki dua orang adik yang rentan usianya tidak terlalu jauh membuat saya lebih mandiri.
Usia remaja dan saya mulai mengenal dunia luar. Bermain, bermain, bermain. Hingga dewasa berbagai macam kegiatan saya lakukan. Berusaha mengenal dunia dari sudut pandang yang saya temukan saat SMP dahulu. Tertutup itu sifat saya, tidak ada yang tau apa mau saya, orangtua saya sekalipun. Semua hanya terpendam dan tercurah dalam sebuah gores. Hormon remaja membuat saya terlalu sulit untuk menceritakan apa yang saya rasa, apa yang saya inginkan. Hingga akhirnya terasa berjarak dengan orangtua.
Mana keinginan Papa agar saya bisa menemaninya?
Mana keinginan Papa agar saya bisa menjadi sahabat Mama?
Mana keinginan Papa agar saya bisa meberi contoh pada Adik-adik saya?
Sibuk dengan kegiatan sendiri malah membuat saya menjadi orang yang jarang pulang. Hobi keluyuran malah membuat Mama adalah musuh terbesar saat saya kembali ke rumah. Berangkat pagi pulang sore bahkan beberapa kali melewati senja membuat saya tidak peduli dengan Adik-adik. Tapi orangtua saya, sepenuhnya percaya dengan apa yang saya kerjakan, sepenuhnya memahami dengan apa yang saya inginkan.
Usia dewasa, gejolak remaja yang saya rasakan dahulu sedikit berkurang. Merasa membutuhkan Mama untuk bercerita atau sekedar memeluknya saat segumpal masalah datang. Merindukan Papa ketika tergolek saat sakit, rasa takut kehilangan selalu terbayang. Menginginkan Adik-adik saya saat rumah terasa sepi.
Dan terpisah jauh dari keluarga semakin menyadarkan saya, ternyata rumah tetaplah rumah. Dan Keluarga adalah rumah yang suatu saat menjadi muara terakhir. Mungkin ini rasanya omongan yang biasa Mama bilang ke saya: "Dekat bau taik, jauh wangi bunga". Akan terasa saat semua berjarak, dan mungkin itu sebabnya jarak tercipta. Agar kami, saya dapat menghargai pertemuan, dapat menghargai rindu.
Tugasku belum juga lunas walaupun hak telah bersih ku habiskan. Berbakti kepada orangtua belum sepenuhnya bisa saya lakukan. Membahagiakannya belum sepenuhnya saya laksanakan. Bahkan di jarak sejauh ini rasa kesal seringkali terlontar. Lalu, bagianmana yang dianggap membahagiakan orangtua?
Kewajibanku takkan pernah purna, walaupun semua hak telah habis ku peras. Membalas ikhlasnya dengan baktiku. Mencukupi rasa rindunya yang terbuncah saat saya didekatnyapun tak jarang tak ku lakukan. Saat saya tau rindu mereka ingin tertuang saat saya pulang, justru bermain dan bertemu dengan tema yang saya pilih. Hingga waktunya habis, hari berganti dan saatnya saya berjauhan kembali.
Kini, saat masih saya sadari tak pernah lunas bakti yang harus saya lakukan. Dengan wajah sumringah saya pamit untuk melanjutkan hidup dengan seseorang. Entah sebenarnya mimik apa yang ingin orangtua saya tampilkan, meskipun ternyata senyum yang menyungging dengan titik air di ujung mata.
Mereka menyadari saat hal itu terjadi, saya bukan lagi anaknya, saya anak kelurga lelaki yang akan meminang saya. Hak mereka terhadap saya-pun berkurang. Lalu, kewajiban mana yang bisa saya lunasi?
Tapi mereka, tetap menggoreskan senyum di bibirnya. Walaupun sebelum saya menjadi miliknya-pun, mereka telah merasa kehilangan. Lalu, apa bakti saya sebagai seorang anak?