Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

3 Orang Idiot dan Prof Ng Aik Kwang

31 Oktober 2010   07:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:57 1253 3
[caption id="attachment_309285" align="alignleft" width="300" caption="sumber : http://alumni.smadangawi.net/"][/caption] Pasti kita semua mengakui kalau film 3 idiots yang dirilis awal tahun ini adalah film yang bagus, film yang di dalamnya bertebaran pesan2 moral. Film yang menceritakan tentang persahabatan, menceritakan bagaimana melawan ketakutan, bagaimana seharusnya kita mengikuti kata hati, dan mengajarkan kita untuk ikut membantu orang lain mewujudkan impiannya. Film ini juga mengajarkan bagaimana cara belajar yang benar dan bagaimana menikmati proses menimbah ilmu pengetahuan. Selain itu Film ini juga menceritakan bagaimana menyikapi pandangan orang lain mengenai kesuksesan, dimana sebagian besar orang masih beranggapan bahwa sukses itu adalah materi bukan kebahagiaan. Karena sedemikian rupanya lingkungan menerjemahkan kata sukses itu maka berimbas pula pada dunia pendidikan kita. Sudah sering kita mendengar istilah kuliah/sekolah untuk mendapatkan ijazah, ijazah untuk melamar pekerjaan yang bagus, pekerjaan yang bagus akan membuat kita menjadi orang kaya, kaya menjadikan kita terpandang (hehehe). Akibatnya kita  belajar untuk mengejar nilai bukan mendapatkan ilmu. Sy ingat cerita istri saya tentang anak-anak TK yang jadwalnya penuh dengan les, pulang sekolah masuk les membaca, setelah itu les berhitung, setelah itu les bahasa inggris, setelah itu les musik, astagfirullah anak sekecil itu berkelahi dengan waktu (mengutip lirik lagunya Iwan Fals) bayangkan anak TK yang seharusnya waktunya diisi dengan bermain malahan dipaksakan begitu untuk memenuhi ambisi orang tuannya agar anaknya bisa menjadi lebih dibandingkan dengan anak lainnya. Akhirnya anak-anak belajar untuk untuk menghapal bukan lagi memahami pelajaran. Nah beberapa waktu lalu saya menerima email (email ini mungkin sudah beredar di beberapa milis) tentang resensi sebuah buku yang ditulis oleh Prof. Ng Aik Kwang dari University of Queensland. Prof Kwang dalam bukunya yang kontroversial berjudul "Why Asians Are Less Creative Than Westerners" (2001) mengemukakan beberapa hal yang membuka mata dan pikiran banyak orang antara lain :

  1. Bagi org Asia, ukuran sukses dalam hidup adalah banyaknya materi yang dimiliki (rumah, mobil, uang dan harta lain). Passion (rasa cinta thdp sesuatu) tdk dihargai. Sebagai akibatnya, bidang kreatifitas kalah populer oleh profesi dokter, lawyer, dan sejenisnya yang dianggap lebih cepat bisa menjadikan seseorang utk memiliki kekayaan banyak.
  2. Bagi org Asia, banyaknya  kekayaan yg dimiliki lbh dihargai drpd cara utk memperoleh kekayaan tersebut. Tidak heran bila ceritera, novel, sinetron atau film yang disukai adalah yang bertema orang miskin menemukan harta karun, atau dijadikan istri oleh pangeran dan sewjenis itu. Tidak heran pula bila perilaku  koruptif pun ditolerir/diterima sbg sesuatu yg wajar.
  3. Bagi org Asia, pendidikan identik dengan hafalan berbasis "kunci jawaban" bukan pengertian. Ujian Nasional, tes masuk PT dll semua berbasis hafalan. Sampai tingkat sarjana, mahasiswa diharuskan hafal rumus2 Imu pasti dan ilmu hitung lainnya bukan diarahkan utk memahami kapan dan bagaimana menggunakan rumus rumus tersebut.
  4. Karena berbasis hafalan, di sekolah di Asia murid dijejali sebanyak mungkin pelajaran. Mereka dididik menjadi "Jack of all trades, but master of none" (tahu sedikit sedikit ttg banyak hal tapi tidak menguasai apapun).
  5. Karena berbasis hafalan, banyak pelajar Asia bisa jadi juara dlm  Olympiade Fisika, dan Matematika. Tapi hampir tidak pernah ada org Asia yang menang Nobel atau hadiah internasional lainnya  yg berbasis inovasi dan kreativitas.
  6. Orang Asia takut salah (kiasi) dan takut kalah (kiasu). Makanya sifat eksploratif utk memenuhi rasa  penasaran dan keberanian untuk mengambil resiko kurang dihargai.
  7. Bagi org Asia, bertanya artinya bodoh, makanya rasa penasaran tidak mendapat tempat dalam proses pendidikan di sekolah.
  8. Karena takut salah dan takut dianggap bodoh, di sekolah atau dalam seminar atau workshop, peserta jarang mau bertanya tetapi stlh sesi berakhir peserta mengerumuni guru / narasumber utk minta penjelasan tambahan.
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun