Mohon tunggu...
KOMENTAR
Diary Pilihan

Kisah Nyata: Dokter Inspiratif nan Sederhana

10 Januari 2022   21:16 Diperbarui: 11 Januari 2022   20:53 536 6
NB: Tulisan ini berdasarkan pengalaman pribadi yang aku tulis pertama kali di tahun 2015 saat masih menjadi mahasiswi Fakultas Kedokteran. Aku posting kembali dengan sedikit modifikasi bahasa tanpa merubah konten. Semoga bermanfaat :)

***

"Assalamualaikum, Dok. Saya Febi mahasiswi fakultas kedokteran. Saya dari tim buletin fakultas ingin mewawancarai Dokter untuk kolom tokoh inspiratif di buletin. Apakah Dokter berkenan?" Segera kukirim pesan singkat itu ke seorang dokter yang juga merupakan dosen favorit di kampusku. Aku sangat berharap bisa mewawancarainya secara langsung dan mengetahui tentang kisah hidupannya yang inspiratif. Aku yakin ini akan menjadi rubrik yang sangat menarik untuk edisi mendatang di buletin fakultas.

Berjam-jam kutunggu, namun balasan SMS tak kunjung datang. Huft, baiklah... Sabar, Febi, sabar... batinku. Akhirnya, balasan SMS itu datang juga di larut malam.

"Waalaikumsalam, Febi. Syukran katsiir untuk tawaran wawancaranya. Saya kebetulan tidak datang ke kampus hari ini karena flu dan batuk subfebril. Wassalam." Berikut isi pesannya. Syukurlah, ada balasan. Walaupun tidak ada kata mengiyakan tawaran, namun setidaknya tidak ada kata menolak.

Beberapa hari berikutnya, aku dan kawanku dari tim buletin menemui langsung dosen tersebut. Tanpa basa-basi, aku langsung menceritakan maksud kedatangan kami dan menanyakan kesediaan beliau untuk diwawancara.

"Begini, Feb, saya bukannya tidak mau, tapi kalau untuk rubrik tokoh inspiratif rasanya saya bukan orang yang pas. Kalau mau nanti saya carikan dosen lainnya, ya. Atau kalau mau wawancara bolehlah, tapi bukan untuk rubrik tokoh inspiratif, ya," tolaknya dengan halus.

Yah... batinku. Pupus sudah harapanku. Padahal kan niatnya baik, membagikan pengalaman hidupnya untuk menjadi inspirasi dan motivasi bagi yang membacanya.

"Saya bukannya kenapa-kenapa. Saya cuma takut... mengganggu nawaitu," sambung Dosenku lagi.

Hatiku berontak sendiri, Dok, sedikit aja kok, Dok. Nggak semua bakal di-ekspos. Kalau ada bagian yang nggak diizinin buat di-publish aku juga nggak bakal berani publish. Aduh... InsyaAllah nggak bakal ganggu nawaitu kok, Dok. Aku jadi gemas sendiri.

Setelah berdiskusi sekitar lima belas menit, beliau akhirnya setuju untuk diwawancara dengan perjanjian bukan untuk rubrik tokoh inspiratif. Okay fine, padahal rubrik tokoh inspiratif itu menjadi tanggung jawabku. Tapi tak apalah, aku akan mengulik seputar pendapat beliau mengenai kuliah dan organisasi saja. Kuliah lagi, organisasi  lagi. Bosan... tapi mau gimana lagi?

Tibalah Kamis siang itu, waktu dimana aku dan kawanku membuat perjanjian dengan beliau. Kami memilih perpustakaan sebagai lokasi wawancara karena cukup sepi dan nyaman untuk berbincang-bincang.

"Kalian baru selesai ujian, ya? Gimana ujiannya tadi?" Ujar dosenku membuka pembicaraan.

"Lumayan, Dok. Doain ya, Dok, biar hasilnya bagus," jawab kawanku singkat.

"Ngomong-ngomong kalian sudah sholat belum?" Tanyanya lagi.

"Belum, Dok. Karena tadi baru selesai ujian dan langsung mengejar waktu untuk bertemu Dokter," ujarku. Aku memang berencana sholat setelah sesi wawancara ini rampung. Aku takut tidak sempat lagi bertemu dengan narasumberku yang satu ini dan juga tak mau beliau menunggu lama. Toh, mungkin wawancara ini akan berlangsung sebentar saja.

"Loh, kalau gitu sholat dulu aja, Feb. Nggak apa-apa kok. Saya kan cuma 'makhluk'," tutur dosenku pelan. Perkataan yang singkat. Namun kalimat yang terakhir itu membuatku malu.

"Baik, Dok, saya izin sholat dulu, ya. Sit, mulai saja wawancaranya, nanti aku menyusul," ucapku meminta izin untuk meninggalkan mereka. Kubiarkan wawancara langsung dimulai oleh kawanku yang kebetulan sedang berhalangan untuk sholat.

Dalam perjalanan menuju mushola kampus hatiku bergumam, Subhanallah... masih ada ya orang kayak gitu. Bahkan sebelum wawancara saja beliau sudah menginspirasi. Malu sendiri aku jadinya. Hatiku berdecak-decak kagum. Walau sedikit menyesal, kenapa tadi aku tidak meminta izin sholat dulu sebelum menemuinya. Kalau sudah begini, aku pasti bakal ketinggalan banyak dari momen wawancaranya.

Ketika aku kembali menemui mereka di perpustakaan, dosenku itu sedang berbicara panjang lebar tentang kuliah dan organisasi.

"...Menurut saya organisasi itu penting sekali untuk meningkatkan softskill. Kalau untuk belajar di kuliah, tidak perlu IPK tinggi-tinggi. Bagi saya apa salahnya menjadi nomor 1, nomor 2, atau nomor 25? Ya, nggak? Nggak ada salahnya kuliah mundur 3 bulan misalnya. Karena kita nggak bakal tahu nasib kita ke depannya. Yang terpenting kamu ada usaha untuk mencapai suatu target...."

Paparan beliau begitu menyengat di hati. Senang bisa berbincang-bincang dengan dosen inspiratifku satu ini. Walau hanya dapat sepertiga dari momen wawancara tersebut, tapi setidaknya aku bisa menangkap beberapa pesan-pesan beliau yang memotivasi.

Dan bagiku, dibalik momen wawancara ini, ada satu hal yang sangat penting, yakni kesan yang beliau tinggalkan padaku. Beliau adalah sosok yang sederhana, tutur katanya halus, dan menyenangkan bagi siapa saja. Dan satu hal lagi, beliau adalah muslim yang benar-benar mencerminkan pribadi muslim yang semestinya.

Hari ini aku mendapat satu pelajaran lagi, bahwa untuk menjadi orang yang disegani, bermanfaat, dan menyenangkan bagi orang di sekitar kita; kita tak perlu menjadi orang besar, menjadi artis, menjadi pejabat, atau menjadi presiden misalnya. Kita hanya perlu menjadi orang baik yang sederhana, selalu lurus dalam niat, sikap, dan perbuatan. Siapapun itu diri kita.

Nah, sekarang aku yang jadi pusing sendiri. Hasil wawancara ini mau dimasukkin ke rubrik apa, ya?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun