Saat itu, ingin rasanya hati ini menuju ke sana! Tapi sayang seribu kali sayang..., rumahku terletak di pinggiran kota. Sementara, pelabuhan peti kemas itu berada di pusat kota! Amatlah jauh dari kediamanku. Jarak tempuh dari rumahku menuju pelabuhan peti kemas tersebut sekitar 45 menit dengan menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat. Itupun, kalau kita beruntung tidak terkepung banjir yang selalu merendam jalan-jalan utama saat hujan tiba. Tak tanggung – tanggung, banjir bisa menggenangi badan jalan setinggi lutut orang dewasa jikalau hujan deras menerpa. Hatiku pun urung kesana karena banjir pasti menghadang. Rasa kantuk mulai menderaku sementara malam kian tinggi. Rasa penasaranku pun berakhir saat jarum jam mulai tergelincir ke pukul satu malam. Tak terasa tubuhku terkulai dalam lautan kapuk.
Kukuruyuk..., kukuruyuk...! Jam weker alamiku berbunyi. Hi...hi...hi..., Jack Sparow selalu berkokok saat fajar menyingsing. Suaranya melengking membuat geger setiap pagi. Jack Sparow adalah ayam jago kesayanganku. Akupun langsung loncat dari tempat tidur dan segera turun ke jamban untuk menyicipi sejuknya air sungai mahakam. Padahal sudah pukul 07.30 pagi tapi kenapa suasana sekitar jambanku masih gelap. Mungkinkah, mentari terlambat bangun sehingga langit bermuram durja! Pikirku kala itu. “Ah..., ternyata kabut asap menutupi ruang-ruang kosong di Kotaku!” desisku pelan sambil menepuk kening dengan tangan mungilku. Dengan jurus kilat kuselesaikan mandiku. Baju rapi dan masker pun tertempel manis di wajahku sebagai pelindung perjalanan mengarungi lautan kabut asap.
Brem...brem...bremmm..., kuda besiku pun berpacu kencang menembus kabut putih yang masih membungkus sebagian kotaku. Sementara, dari balik kaca spion..., kulihat adikku yang bernama Dayat tersenyum lebar di belakangku. Embun pagi menghujam tajam di atas jaket kulitku. Semakin dekat aroma kotak-kotak baja di pelabuhan peti kemas semakin menusuk hidungku. Padahal baru pukul 08.30 pagi akan tetapi suasana di pelabuhan itu seperti air yang sedang mendidih. Ya..., penuh sesak dengan lautan manusia yang datang dari berbagai penjuru Kalimantan Timur. Mereka datang dari Kutai Barat, Kutai Timur, Kutai Kartanegara, Sangatta, Balikpapan, bahkan ada yang datang dari belahan utara Kalimantan Timur diantaranya Tarakan, Nunukan, Malinau, dan Bulungan. Ada apa ini! Benakku bertanya-tanya penasaran. Akhirnya kuputuskan bertanya kepada salah seorang Pak polisi yang tengah menutup sebagian besar jalan-jalan utama kota Samarinda.
“Pak polisi!” seruku. Kenapa jalannya ditutup..., saya mau beli sayur di pasar subuh dekat kuil Cina itu! Tanyaku.
“Silahkah Anda berputar di sudut jalan itu..., jalan ini ditutup karena ada artis Holywood datang!” jawab Pak polisi dengan tegas.
“Ahaaa..., boleh juga ya...!” cibirku.
Aku langsung berputar haluan menuju ke arah pelabuhan. Sayangnya, kuda besiku terpaksa parkir jauh dari areal pelabuhan peti kemas. Aspal mulus menuju pelabuhan peti kemas telah lenyap dalam sekejap disapu lautan manusia yang mengular sepanjang satu kilometer. Alhasil, Aku dan Dayat harus berjalan kaki sejauh 1 kilometer demi membeli kerupuk amplang sekaligus melihat siapa sih artis yang menghebohkan itu. Untunglah, Dayatku yang mungil senang melihat keramaian kota sehingga dia tak merewel sedikitpun. Pucuk dicinta ulampun tiba..., kami menjumpai mbok Mizan tengah menjajakan kerupuk amplang dekat lokasi pelabuhan peti kemas. Alangkah senangnya..., Dayat waktu itu! Diapun membeli tiga bungkus kerupuk amplang dari mbok Mizan. Tetapi, Aku dan Dayat tak sedikitpun memalingkan pandangan dari kapal klasik nan megah yang terlihat samar-samar dari kejauhan.
Setelah membeli kerupuk amplang, kami meneruskan perjalanan membelah keramaian menuju kapal pesiar hitam itu. Tiba-tiba seseorang berperawakan tinggi dengan pakaian serba hitam memotong jalan kami. Tapi, anehnya dia menutupi sebagian wajahnya dengan cadar sembari berkata padaku, “Could you follow me, right now!” serunya saat itu dengan sorot mata yang menghujam ke arah sebungkus kerupuk amplang yang tengah kupegang saat itu. Akupun seakan terhipnotis..., langsung mengiyakan saja untuk menuruti orang aneh itu. Kami pun berjalan cepat membelah bauran pengunjung serta melewati kotak-kotak baja yang membumbung tinggi ke langit. Akhirnya, tibalah kami di suatu lorong rahasia. Anehnya, adikku yang biasanya bawel dan cerewet kali ini seakan begitu menikmati perjalanannya bersama orang aneh itu. Tanpa kami sadari kami sudah berada di geladak kapal pesiar megah itu. Oh..., tidak..., ini luar biasa sekali! Pekikku dalam hati seakan tak percaya bahwa kami telah dibawa hingga ke geladak kapal yang menjadi tontonan ribuan orang di bawah sana.