Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Bolehkah Aku Tak Jujur?

27 Mei 2015   00:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:33 23 0

Aku seorang Aktor. Aku seorang Penulis. Aku bermain film, banyak film. Lima film, itu cukup banyak bagiku. Aku pernah berfikir, aku terlahir untuk mengkarakterkan diriku sendiri. Seorang Guru Bimbingan Konseling di SMP pernah mengatakan untuk mencari jati diri masing-masing. Tapi yang aku tahu, Jati adalah jenis kayu. Ya, kayu, tumbuhan yang telah mati. Dan setiap orang berfikir sama bahwa mengkarakterkan dirinya sendiri adalah pembentukan jati dirinya. Bagiku, itu berarti beda. Aku tak ingin menjadi sebongkah kayu yang dibentuk orang lain menjadi sebuah seni terapan dan dijual, tapi ini terdengar seperti profesiku sebagai seorang aktor. Maksudku, aku memberikan pengertian seperti itu, tapi aku tak mau dipandang seperti itu. Aku hanya membuka mata setiap orang yang melihatku dalam suatu film, katakanlah mereka akan sanggup melihat dengan jelas seperti apa seorang Ayah, orang tua yang seringkali terlupakan bagaimana ototnya yang keras itu melelah menjadi keringat. Aku seorang karakter, atau sebut saja lakon pewayangan dengan karakter sederhananya, agar setiap mereka yang melihat sanggup menertaiwai sifat lucuku, mengapresiasi sifat bijakku, dan kemudian mereka berdiri dan pergi pulang dengan moral yang kusiratkan. Terlihat sudah, aku seperti apa. Aku hidup di dunia nyataku hanya sekejap. Aku menjadi orang lain dan ditonton orang lain. Aku dengan karakternya nyataku, karakter dari indukku, ayah dan bundaku sepertinya hanya tinggal 10 persen. Aku, sekali lagi seorang aktor. Ibuku seorang ibu rumah tangga biasa, dengan pengalamannya yang sedikit sebagai seorang penari tradisional ketika beliau remaja. Dan ayahku, seorang penjual nasi goreng, dengan sedikit pengalamannya sebagai seorang dalang. Mungkin, aku belajar berbohong seperti inipun dari mereka berdua. Mereka pulang ke rumah dengan senyuman. Mereka pergi ke luar untuk menjadi makhluk rumit hanya demi sebuah kesederhanaan, yaitu keluarga. Aku pembohong yang baik. Lalu, apakah para penonton tidak sepertiku? Katakan saja, kebutuhan mereka terpenuhi, maksudku menutupi kesengsaraan. Aku tak menuntut apapun, tapi sekali lagi katakan saja aku sedang berbohong, aku menjadi seorang yang sombong. Tidakkah penonton buta jika tanpa aku? Bukankah mereka tidak akan mau melihat kesengsaraan orang lain dengan sadar jika tanpa aku? Lalu anggap aku mereka (penonton), dan aku ditanya balik seperti itu. Aku?Tak sanggup melekukkan tanganku dengan lembut seperti ibuku. Aku? Tak sanggup berkata-kata dengan lantang seperti ayahku. Dan jelaslah jawabku, aku akan seperti mereka (penonton). Aku tak akan sanggup melihat penderitaan orang lain dengan sadar.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun