Seseorang yang melaksanakan tugas kehambaannya secara utuh adalah orang yang mampu berlaku adil tidak saja terhadap dirinya sendiri tapi juga kepada masyarakat. Dan dia layak menyandang predikat adil ketika memperlakukan dirinya dan masyarakat secara proporsional, baik dan kasih sayang tanpa unsur sara dan mengungkit sara.
Diinspirasikan ayat-ayat Al-Quran, ternyata Rasulullah Saw sangat berperilaku adil, baik dan penuh kasih sayang meskipun terhadap orang-orang yang dianggap sebagai kafir. Bahkan beliau menganggap semua manusia anak cucu Adam as. dan sama-sama berasal dari tanah. Merenungkan asal-usul manusia bukan saja hanya berujung pada kesimpulan adanya persamaan di antara manusia. Lebih dari itu, juga tersingkap substansi hubungan kekeluargaan antarmanusia dalam konteks penciptaan yang berawal dari Sang Pencipta. Inilah ladang persemaian keadilan dan kasih sayang serta tumbuhnya kecintaan antarsesama—yang tentunya lebih luhur dari sikap toleran dan kerukunan hidup beragama.
Rasulullah Saw juga menegaskan bahwa kriteria keadilan, kemuliaan dan penghormatan Allah Swt [kepada manusia] adalah memandang nilai kemanusiaan itu sendiri dan jiwa sosial serta berbakti pada sesamanya.
Seluruh manusia adalah makhluk dan keluarga Allah Swt. Karenanya, tidak ada perbedaan dan keistimewaan yang satu di atas yang lain. Hanya yang paling dicintai Allah Swt adalah orang yang paling baik dan berguna bagi selainnya.
Rasulullah saw berulang-kali menasihati kaum Muslim untuk berlaku arif dan adil terhadap orang non-Muslim. Beliau berkata: “Barangsiapa berlaku zalim kepada mu’ahid (Ahli Kitab yang terikat perjanjian dengan Islam), maka di hari kiamat kelak, aku akan jadi pelindungnya (Ahli Kitab) dan musuh bagi Muslim yang zalim.”
Rasulullah juga mendeklarasikan gangguan apa pun yang dialami Ahli Kitab sama saja dengan menyulut permusuhan dengannya. Lalu, di hari kiamat kelak, beliau akan membela orang yang dizalimi, sekalipun itu Yahudi.
Diceritakan, suatu hari, Rasulullah Saw duduk bersama sekumpulan sahabatnya. Sekonyong-konyong beliau berdiri saat melihat jenazah seorang Yahudi diusung ke pekuburan. Para sahabat berkata, “Bukankah itu jenazah Yahudi?” Rasulullah Saw menjawab: “Kapan saja kalian melihat jenazah (Muslim atau bukan), berdirilah untuk menghormatinya”. [Shahih Al-Bukhai, jld. 1, hlm. 228]
Satu lagi yang jadi kebanggaan Islam adalah penandatangan perjanjian damai dengan pihak-pihak penentang. Semasa pemerintahannya, Rasulullah Saw berhasil membuat sejumlah perjanjian damai dengan musuh-musuhnya. Semua itu menjadikan pemerintahan Islam, selain mendapat pajak khusus dari Ahli Kitab, wajib menjamin hak-hak mereka, baik dalam bidang politik, sosial, budaya, keamanan, maupun kebebasan berakidah. Perjanjian yang pertama kali diteken beliau adalah perjanjian damai dengan Yahudi Madinah.
Menurut Huston Smith [http://en.wikipedia.org/wiki/Huston_Smith], perjanjian ini pada dasarnya merupakan piagam pertama tidak saja tentang kebebasan berakidah, namun untuk memilih dan dipilih dalam sejarah umat manusia. Butir-butir perjanjian itu malah dinilai jauh melampui zamannya. Berikut dikemukakan kutipam teks asli perjanjian Rasulullah Saw dengan kalangan Nasrani Najran:
"Muhammad utusan Tuhan wajib menjaga dan melindungi nyawa, harta, tanah, akidah, dan tempat ibadah mereka (Nasrani) dari segalah bentuk ancaman. Aman dari gangguan dan pelecahan serta tanah-tanah mereka tidak akan pernah dijajah. Selama penduduk Najran setia dengan isi perjanjian, tak akan ada kekuatan yang menyerang mereka."
Dan yang menyaksikan surat ini adalah Abu Sufyan bin Harb, Ghajalan bin Amr, Malik bin Auf dari Bani Nashar, Aqra bin Habis al-Hanzhali, Mughirah bin Syu’bah dan dituis langsung oleh Sayidina Ali bin Abi Thalib KW. Rujuk situs ini, http://www.mentaritimur.com/mentari/mar07/muhammad.htm atau ini http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/06/23/m62sdk-syekh-yusuf-qaradhawi-islam-sangat-toleran
Suatu hari, Sayidina Ali berjalan bersama seorang Yahudi menuju Kufah. Saat akan tiba di Kufah, Yahudi itu menempuh jalan lain, namun beliau tetap menyertainya. Yahudi itu bertanya pada Ali KW, “Bukankah tujuan Anda ke Kufah?” “Ya, benar” jawab Ali. Kembali Yahudi itu bertanya, “Lantas mengapa Anda mengikuti saya?” Sayidina Ali berkata, “Engkau adalah teman seperjalanan saya, dan saya bermaksud mengantar Anda beberapa langkah.”
Dalam Pilkadal, memilih seseorang yang tidak adil atau belum dipastikan bersikap adil sebagai pemimpin berarti bertindak tidak adil kepada dirinya mapupun orang lain. Dan memberikan hak suara bukan sekedar ‘main coblos’. Ia adalah sebuah aksi yang akan berdampak secara massal dan sosial, baik maupun buruk. Memilih atau tidak memilih sama sekali tidak bisa dipandang sebagai sebuah peristiwa aksidental dan personal. Jadi pikirkan nilai “keadilan” seseorang sebelum mencoblos.
Dan yang jelas nilai keadilan seseorang tidak dipengaruhi dengan peci dan baju koko, karena itu hanya trend musiman saat menjelang pilkada dan pemilu. Wong para terdakwa kasus korupsi uang negara saja pakai muslihat eksploitasi simbol agama sambil berharap mampu mempengaruhi sisi sentimen keagamaan hakim dan menyelamatkan sisa muka yang hancur di tengah opini publik. []