Aku masih memeluknya. Ia menangis. Aku pun menangis. Bukan berarti aku tak mau menjadi teladan baginya—menjadi kakak yang kuat. Tapi saat ini keadaan itu terlalu menghujam hatiku, hatinya, hidupku, dan juga hidupnya. Aku semakin mengeratkan dekapanku, kepalanya didadaku, kami sama-sama merunduk menekuk lutut, di sudut ruang tamu. Sudah sekian benda hancur dibantingnya, ia lupa betapa bunda mencintai setiap kepingan benda-benda itu. Vas bunga mungil yang ia dapat saat ia mempersuntingnya dulu. Bunda sumringah setiap kali menceritakan sejarah percintaannya padaku, karenanya aku kenal cinta.
KEMBALI KE ARTIKEL