Keamanan manusia (human security) di sini terkait dengan berkurang atau hilangnya ketidakamanan yang berpotensi menganggu kehidupan manusia, seperti konflik kekerasan, pelanggaran terhadap hak asasi manusia, ketiadaan akses terhadap pendidikan dan kesehatan, dan tidak adanya jaminan bagi setiap warga dalam memenuhi keinginannya.
Komisi Keamanan Manusia Dunia (Human Security Commision) dalam terminologi yang lain membagi keamanan atas rasa takut (freedom from fear) dan keamanan dari pemenuhan setiap keinginan (freedom from want). Untuk yang pertama, memiliki arti lebih luas bagi keamanan nasional, yakni kemungkinan adanya ancaman terhadap kedaulatan negara. Sedangkan yang kedua, terkait dengan keluasan akses masyarakat terhadap hasil-hasil pembangunan ekonomi.
Bila kita mengacu pada konstitusi, jaminan keamanan sosial bagi setiap warga merupakan amanat yang harus dipenuhi oleh negara. Berdasarkan UUD 1945 Amandemen II Pasal 28 H, ayat 3 menyatakan, bahwa: “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia bermartabat.” Di samping itu, perubahan keempat UUD 1945, tanggal 10 Agustus 2002, Pasal 34 ayat 2 menyatakan, bahwa: “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. Secara khusus, wacana keamanan sosial diatur dalam UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Dengan begitu, UU secara tegas telah mengatur tanggung jawab pemerintah baik pusat maupun daerah dalam menjamin setiap warganya mendapatkan rasa aman dari kehidupan yang layak, kesehatan yang produktif, dan pendidikan yang bermutu. Lantas, bagaimana kondisi faktual yang terjadi di lapangan.
Tulisan ini akan mengulas mengenai sejumlah fakta kekeliruan yang diperlihatkan oleh pemerintah, terutama pemerintah Ibukota Jakarta, terhadap para warganya. Analisa itu kemudian akan dihubungkan dengan perkembangan kebijakan pemerintah Jakarta menyangkut jaminan sosial. Terakhir tulisan ini akan ditutup dengan rekomendasi penting yang dilakukan pemerintah dalam rangka perbaikan jaminan sosial bagi masyarakat ibukota.
Potret Ibukota Jakarta
Jakarta adalah kota terpadat di Indonesia. Kota dengan luas wilayah sekitar 661,52 km2 ini dihuni oleh 9.588.198 jiwa. Sekitar satu dasawarsa lalu, jumlah penduduk Ibukota ini mencapai 8.384.853 jiwa. Dengan demikian laju pertumbuhan penduduk selama sepuluh tahun terakhir mencapai kurang lebih 12 persen.
Peningkatan jumlah penduduk tersebut belum mampu diikuti oleh kualitas hidupnya. Bila mengacu pada standar umum Human Development Index (HDI) Indonesia secara keseluruhan– yang mengukur tingkat pencapaian keseluruhan kualitas pembangunan manusia yang diukur dari tiga indikator yaitu umur harapan hidup pada saat lahir, angka melek huruf penduduk dewasa dan tingkat partisipasi murid sekolah, dan GDP riil per kapita—bahwa kualitas hidup manusia Indonesia masih rendah bila dibandingkan negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Per tahun 2010, HDI Indonesia berada di urutan ke ke 108 dari 160 negara, jauh di bawah Singapura yang berada di posisi 27, Brunei 37, Malaysia 57, dan Thailand 92.
Masih rendahnya indeks kualitas hidup manusia Indonesia sebetulnya tidak terlalu berlebihan bila melihat fakta kemiskinan yang masih banyak meliputi sebagian masyarakat Ibukota Jakarta. Menurut data BPS setempat per Maret 2010 lalu angka penduduk yang miskin mencapai 312,18 ribu orang, dari sebelumnya pada tahun 2007 mencapai 405.000 orang. Angka pengangguran, masih cukup tinggi yaitu per tahun 2010 mencapai 11,32 persen. Angka Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) juga masih tinggi, yaitu per tahun 2010 mencapai 62.433 jiwa. Para PMKS ini terdiri dari pengemis, pengamen, dan gelandangan.
Masih tingginya jumlah masyarakat Ibukota yang miskin dan rentan terhadapnya, menjadikan pekerjaan yang tidak mudah bagi pemerintah daerah setempat. Ironinya lagi, model pendekatan terhadap penyelesaian masalah itu cenderung bersifat jangka pendek, seperti intervensi masyarakat dalam aksi sosial untuk berbagai kelompok masyarakat saja, atau intervensi pemerintah dalam bentuk bantuan beras murah untuk rakyat miskin (raskin), ataupun kegiatan-kegiatan jaring pengaman sosial dan sejenis. Jalan keluar untuk mengatasi kesulitan hidup di kalangan masyarakat diatasi dengan program dan proyek yang sifatnya dalam rangka penyelamatan saja (rescue program) seperti pelaksanaan kegiatan dana bantuan pendidikan untuk anak sekolah berupa BOS dan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat. Yang itu merupakan bagian dari wujud program pemerintah Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Keberadaan sistem perlindungan dan jaminan sosial yang sifatnya jangka panjang sustainable perlu dimiliki sehingga menjadikan ketahanan masyarakat terjaga dalam menghadapi shock. Lebih dari itu, perlindungan dan jaminan sosial itu diperlukan apabila terjadi hal-hal yang tidak dikehendaki yang dapat mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya pendapatan seseorang, yang disebabkan karena memasuki usia lanjut atau pensiun, sakit, cacat, kehilangan pekerjaan, terkena bencana alam, dan sebagainya.
Sehingga jelaslah, membangun ketahanan sosial bagi masyarakat perlu sifatnya terus-menerus (sustainable) dan memihak kepada rakyat miskin (pro-poor). Karena terbukti dalam pembangunan ibukota Jakarta. Meski daerah ini merupakan penyumbang terbesar bagi devisa negara, namun banyak masyarakatnya yang memiliki kualitas hidup yang sangat rendah.
Human Security di Jakarta
Perlindungan dan jaminan sosial bagi warga Ibukota Jakarta belum sepenuhnya menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Hingga kini berbagai skema perlindungan dan jaminan sosial itu masih menghadapi sejumlah persoalan mendasar.
Pertama, belum adanya kepastian perlindungan dan jaminan sosial untuk setiap penduduk (WNI) agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sebagaimana yang diamanatkan dalam perubahan UUD 1945. Perlindungan dan jaminan sosial yang ada saat ini belum mampu mencakup seluruh warga negara Indonesia, yakni baru mencakup para pekerja sektor formal (swasta, PNS, dan TNI/Polri).
Kedua, adalah belum adanya satu peraturan perundang-undangan yang melandasi pelaksanaan sistem perlindungan dan jaminan sosial. Masing-masing jenis perlindungan dan jaminan sosial yang ada saat ini dilandasi oleh UU dan atau PP yang berbeda-beda. Hal ini selanjutnya akan menyebabkan penanganan skema perlindungan dan jaminan sosial yang ada masih terpisah-pisah dan bahkan tumpang tindih. Sebagai contoh, asuransi kesehatan di-cover oleh PT. Jamsostek, PT Askes, dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM).
Ketiga, skema perlindungan dan jaminan sosial yang ada masih terbatas, sehingga benefit (kuantitas dan kualitas) yang diperoleh juga masih terbatas.
Menyangkut dengan persoalan pertama, pemerintah ibukota saat ini tidak memiliki konsep yang jelas dalam memberikan perlindungan dan jaminan sosial bagi warganya. Terbukti pemberian asuransi sosial belum mampu menjangkau masyarakat miskin ibukota yang banyak bergelut di sektor informal. Padahal penduduk Jakarta yang berada di sektor ini jumlahnya sangat banyak bila dibandingkan yang bekerja di sektor formal. Kenyataan yang sangat kasat mata adalah banyaknya peristiwa yang sangat memperihatinkan hadir di tengah-tengah kita. Sebagai contoh, belum lama ini seorang kakek miskin yang tergolek lemas di selasar RSCM selama satu bulan lebih tanpa perawatan karena tidak mampu membayar pengobatan (Kompas Online, 2 Maret 2011). Pemandangan seperti ini sangat lumrah kita temukan di RSCM yang menimpa kalangan miskin.
Memang Pemkot memiliki program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) bagi rakyat miskin. Namun tidak sembarang orang bisa mendapat perawatan dengan jenis pelayanan ini. Sekalipun dapat birokrasinya sangat berbelit dan merepotkan. Alih-alih mengurus surat-surat, nyawa orang yang sakit bisa saja terancam. Bukan hanya itu, pada awal Mei lalu, juga puluhan warga Jakarta Barat menuntut dihapuskannya iuran konstribusi bagi orang miskin dan pengembalian kartu gakin. Artinya, mereka masih tetap dimintai uang, diluar biaya pengobatan gratis (okezone.com, 11 Mei).
Belum lagi persoalan yang langganan meradang warga ibukota, yakni banjir dan seringnya terjadi kebakaran. Pemerintah kota hingga kini belum mampu memberikan perlindungan dan jaminan sosial yang sifatnya jangka panjang dan kelanjutan. Semuanya lebih bersifat tanggap darurat. Dan itu pun seringnya penanganannya lambat dan nilainya tidak cukup untuk menutupi kerugian yang dialami oleh warganya.
Secara kemanusiaan, merekalah yang seharusnya mendapatkan perlindungan dan jaminan sosial, mengingat keterbatasan kemampuan yang dimiliki. Sementara dalam kenyataannya, asuransi sosial itu belum mampu meng-cover secara luas masyarakat Ibukota Jakarta.
Hal lain yang mengenaskan, para pekerja informal di Jakarta rawan mendapat perlakuan semena-mena dari oknum-oknum pemerintahan. Para pedagang kaki lima, pedagang makanan pinggir jalan ataupun sejenis warteg, misalnya, setiap hari berjualan harus membayar “uang keamanan” kepada oknum yang mengaku sebagai orang suruhan kelurahan atau RW, atau bahkan dari aparat berseragam.
Pemerintah cenderung melakukan politik pembiaran (state neglect) terhadap masyarakatnya yang rentan menghadapi gejolak sosial. Masyarakat tak ubahnya seperti pemain sirkus yang melompat tanpa jejaring pengaman. Saat mereka jatuh, hancurlah semuanya. Begitulah masyarakat miskin yang bekerja di sektor informal di Jakarta. Mereka dibiarkan berjuang sendiri mengatasi setiap kesulitan hidupnya dengan perlindungan yang absen dari pemerintah. Pemerintah hampir tidak dapat berbuat banyak untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik.
Sebetulnya, bila dibandingkan negara-negara lain di dunia, negara kita sangat tertinggal dalam sistem perlindungan dan jaminan sosialnya. Negara-negara kapitalis sekalipun, seperti Eropa dan Amerika Utara memiliki program jaminan sosial bagi masyarakat miskin. Negara-negara di Asia Tenggara juga sangat maju dalam perlindungan bagi warganya, seperti Malaysia yang memiliki lembaga jaminan sosial Employee Provident Fund (EPF) telah menanggung sebanyak 12,5 juta pekerja, Singapura dengan institusi Central Provident Fund (CPF) terdiri dari 116 ribu pengusaha dan 1,8 juta pekerja, Thailand dengan lembaga jaminan Social Security Office (SSO)-nya terdiri dari 391.869 pengusaha dan 9,45 juta pekerja, dan Filipina dengan program Social Security Scheme (SSS) menanggung peserta sebanyak 8,9 juta tenaga kerja. Sementara Indonesia, untuk kalangan pekerja di sektor saja, hanya menjamin keanggotaan sebanyak 8,5 juta buruh peserta aktif, padahal jumlah pekerja (buruh) yang bekerja di sektor formal berjumlah 29 juta. Berarti hanya 30 persen yang hanya terjangkau oleh jaminan asuransi sosial (Republika, 10/5/2011).
Menyangkut persoalan kedua, belum adanya peraturan perundang-undangan menjadi problem yang sangat krusial, karena menyangkut payung hukum. Meski UUD dengan tegas mengatur tanggung jawab pemerintah terhadap perlindungan dan jaminan sosial dalam UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), namun dalam kenyataannya belum diikuti oleh ketersediaan peraturan perundangan di bawahnya yang bersifat tegas. Seperti yang tercatat dalam Perda Jakarta Nomor 55 tahun 2007 tentang Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Keluarga Miskin, Kurang Mampu, dan Bencana. Terdapat sejumlah klausul yang belum tegas mengenai pertanggungan yang dapat diberikan oleh Pemda terhadap keluarga miskin yang berobat. Demikian juga mengenai penetapan status miskin bagi kelompok tertentu. Bukan perkara yang mudah dalam kenyataannya.
Bukan hanya itu, keberadaan UU No 40 tahun 2004 itu juga yang mengamanatkan dibentuknya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) hingga kini belum selesai pembahasannya di DPR RI, bahkan terancam deadlock. Pembahasan itu berusaha menjawab terutama persoalan belum terintegrasinya pelayanan jaminan sosial—sebagaimana yang disebutkan di atas. Dalam pembahasan di DPR ada kecenderungan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial akan dilebur (merger) menjadi satu dan bersifat tunggal. Sementara pemerintah mengusulkan agar BPJS dikelola dua badan atau multipayer, yaitu satu badan tersendiri yang mengatur masalah jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, dan jaminan kematian, sementara badan yang kedua mengelola pensiun dan hari tua.
Menurut penulis keduanya memiliki kelebihan dan kekurangannya. Bila dimerger tentu saja, kita tidak dapat mengabaikan karakter dari masing BPJS yang satu dengan lainnya berbeda baik dari desain programnya, sumber pembiayaannya, maupun pengelolaannya. Namun bila persoalan ini dapat di atasi tentu akan menjadi lebih efisien. Sementara bila ditangani oleh dua badan yang berbeda tentu saja akan berdampak pada besaran anggaran yang harus dikeluarkan untuk mengelola, sekalipun belum tentu ada jaminan menjadi lebih efektif.
Hal yang paling penting di antara perdebatan tentu saja adalah selesainya RUU BPJS tersebut sehingga dapat dijadikan payung hukum dalam memberikan perlindungan dan jaminan sosial bagi masyarakat. Ini tentu saja tugas bagi anggota DPR RI. Dengan begitu, persoalan yang krusial terutama dalam menyediakan asuransi dan bantuan sosial bagi warga miskin ibukota Jakarta yang sifatnya langsung dan menyeluruh dapat teratasi segera.
Menyangkut persoalan ketiga, skema perlindungan dan jaminan sosial yang ada masih terbatas, yang tidak sebanding dengan risiko kerja yang ditanggung para buruh. Karenanya menurut hasil penelitian SMERU, angka peserta Jamsostek di Indonesia mengalami penurunan sangat drastis bila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2008 saja, misalnya, turun mencapai 47 persen dari empat tahun kebelakang. Hal ini disebabkan di antaranya karena tidak komprehensif dalam memenuhi tunjangan sosial bagi para buruh.
Menunggu Godot
Hingga kini, masyarakat Ibukota Jakarta masih dihantui oleh bencana baik dalam bentuknya sosial atau alam yang seringnya sulit diprediksikan. Sementara pada saat yang sama pemerintah sebagai penanggung jawab utama human security bagi warganya, terutama bagi warga miskin kota, belum juga memperlihatkan komitmen dan keseriusannya. Masyarakat miskin kota seperti tak ubahnya tengah menunggu godot yang tak tahu kapan datangnya.
Sambil kita menunggu keseriusan dan komitmen itu hadir dari Pemkot kita, dalam pelaksanaannya sistem perlindungan dan jaminan sosial yang merata dan berkeadilan harus memperhatikan berbagai aspeknya. Pertama, dari segi politik. Kenyataan inilah yang paling terdepan dalam menentukan cetak biru (blue print) arah kebijakan pemberian perlindungan dan jaminan sosial bagi warga ibukota Jakarta. Masih banyaknya PR yang harus dikerjakan seperti penguatan jalur koordinasi dan integrasi di antara berbagai pemangku kepentingan serta sejumlah peraturan perundang-undangan yang masih belum selesai, diharapkan segera selesai. Dalam kaitan ini, political will dari Pemkot Jakarta harus lebih tegas dan kuat sehingga jangan mudah dicampuri oleh kepentingan politik pragmatis sesaat yang cenderung melanggengkan politik pembiaran itu.
Kedua, dari segi pendanaan. Jakarta merupakan provinsi dengan anggaran belanja daerah yang sangat besar. Tidak seberapa bila sebagian atau berapa persennya dari anggaran yang besar itu dialokasikan untuk jaminan atau bantuan sosial bagi masyarakat miskin kota. Hal yang demikian ini hanya membutuhkan politik keberpihakan pemerintah saja kepada masyarakat.
Ketiga, daya jangkau jaminan dan bantuan sosial. Bila selama ini jaminan sosial itu kurang komprehensif terhadap kebutuhan yang ditanggung, maka penting ke depan memperhatikan universal coverage (cakupan menyeluruh) terhadap berbagai kebutuhan masyarakat miskin. Cakupan itu bukan hanya melibatkan masyarakat miskin yang banyak bekerja di sektor informal melainkan juga cakupan manfaat yang didapat dari kepesertaan asuransi dan bantuan sosial itu dapat dirasakan lebih luas.
Kepada Pemerintah Daerah Propinsi DKI Jakarta, kami warga Jakarta, meminta hak kami, wujudkanlah Human Security bagi warga Jakarta!
Jakarta, Juni 2011