(Anggota Komisi I DPR-RI/Pemerhati TIK)
"Di era globalisasi yang diakselerasi oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sebagai produk ilmu pengetahuan mengisyaratkan bahwa kemajuan tersebut hanya bisa diraih dengan penguasaan, pemanfaatan dan eksplorasi sebesar-besarnya terhadap TIK."
Tepat 82 tahun yang lalu, Kongres Pemuda II yang dihadiri oleh sejumlah perwakilan pemuda dari berbagai wilayah nusantara menggemuruhkan eksistensi kebangsaan Indonesia. Gedung Indonesische Clubgebouw yang terletak di Jalan Kramat Raya 106 menjadi saksi gempita heroik yang menjadi cikal bakal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Saat itulah, untuk pertama kalinya, lagu “Indonesia Raya” diperdengarkan dan rumusan Sumpah Setia diumumkan.
Sekilas, tak ada yang unik dari peristiwa tersebut, selain kelanjutan kisah heroik anak bangsa yang sedang bergelut dalam masa revolusi. Tapi sekumpulan perwakilan yang diwakili oleh kalangan di bawah identitas yang beraneka ragam (Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond), memberi warna tersendiri, betapa sebuah pergolakan penting yang sedang berlangsung saat itu dimotori oleh pemuda dan pelajar di bawah organisasi Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI).
Pernyataan tentang tanah air, bangsa dan bahasa yang satu mengaktualisasikan tentang rumusan kebangsaan yang terdiri dari aneka ragam identitas. Rumusan tersebut bermuara pada suatu komitmen dan konsensus persatuan dan kesatuan. Bhinneka tunggal ika (berbeda-beda tapi satu) menjadi dasar filosofis yang menjelaskan bahwa keanekaragaman merupakan potensi pemersatu dan kekuatan besar dalam merespons kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya nusantara yang saat itu sedang berupaya menyusun kekuatan untuk meraih kemerdekaan.
Paradigma Modern
Era kolonial turut membentuk situasi kebangsaan yang terjajah dan tertindas. Kekuatan bangsa yang saat itu terfragmentasi berdasarkan identitas dan wilayah hanya menghasilkan perlawanan yang bersifat sporadis, tidak strategis. Akibatnya, kekuatan tersebut tidak sebanding (kalah) dengan kekuatan kolonial yang terorganisir dan lebih solid.
Politik etis yang dilakukan oleh pemerintah Belanda mempengaruhi perubahan paradigma pergerakan kebangsaan. Salah satu poin kebijakan politik etis, yakni edukasi, yang bertujuan memberikan perluasan kebijakan kolonial di bidang pendidikan dan pengajaran berbuah manis dalam merubah pola pikir pemuda untuk bergerak dan berjuang dalam lingkup kebangkitan pendidikan. Hal itulah yang melatarbelakangi dilakukannya Kongres Pemuda II, yang bertujuan membahas tentang persoalan pendidikan bagi anak bangsa.
Dimotori oleh sekumpulan pemuda yang terdidik dan terpelajar, Kongres Pemuda II menghasilkan sumpah setia terhadap eksistensi kebangsaan. Sumpah itu kemudian dikenal dengan Sumpah Pemuda yang mengisyaratkan bahwa persatuan dan kesatuan hanya bisa diraih dengan pemahaman tentang sejarah bangsa, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan untuk bangkit dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Sumpah pemuda itulah yang merubah paradigma bangsa dari bangsa yang terjajah menjadi bangsa yang bertekad meraih kemerdekaan dengan dukungan peran pemuda yang terdidik dan terpelajar.
Saat itu, para pemuda menyadari bahwa kebijakan politik etis yang mengakomodasi pentingnya pendidikan adalah respons terhadap fenomena alam modern. Kebijakan politik di era modern tidak bisa sekedar ditindaklanjuti dengan kekuatan fisik, tapi juga menyediakan fasilitas pendidikan dan pengajaran bagi bangsa-bangsa yang terjajah. Kebijakan ini juga merupakan sebentuk tanggung jawab moral (balas budi) yang menghimbau kaum kolonial untuk turut bertanggung jawab terhadap kesejahteraan kaum pribumi.
Era Globalisasi
Sumpah Pemuda menjadi momentum fenomenal yang menginisiasi kebangkitan kebangsaan yang terus menggema hingga saat ini. Terlepas dari latar belakang historis yang melingkupinya, semangat Sumpah Pemuda menunjukkan peran pemuda Indonesia sebagai motor penggerak dan agen perubahan (agen of change) dalam membentuk wajah sebuah negara. Karena itu, ada 2 (dua) poin penting yang bisa dipetik dalam situasi historis tersebut, yakni peran penting pemuda dan perubahan paradigma yang dilandasi oleh kesadaran akan pentingnya pendidikan yang terealisasi dalam penguasaan, pemanfaatan dan eksplorasi ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mendukung kemajuan bangsa.
Perubahan zaman telah merubah paradigma pergerakan kebangsaan dari perjuangan fisik menjadi perjuangan kesadaran. Kesadaran untuk maju di alam modern ditentukan oleh seberapa besar kehendak dan respons pemuda terhadap dinamika zaman. Di era globalisasi yang diakselerasi oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sebagai produk ilmu pengetahuan mengisyaratkan bahwa kemajuan tersebut hanya bisa diraih dengan penguasaan, pemanfaatan dan eksplorasi sebesar-besarnya terhadap TIK.
Negara-negara di belahan dunia lain sebagai sumber utama globalisasi sangat memahami akan pentingnya penguasaan terhadap TIK. Tidak heran jika penguasaan terhadapnya telah menjadi sumber utama kemajuan kehidupan mereka. Tidak heran jika penguasaan terhadap TIK telah menjadikan mereka sebagai penguasa ekonomi di dunia.
Pada bulan Maret 2010 lalu, Majalah Forbes merilis deretan nama orang terkaya di dunia yang dihuni oleh sederetan nama, seperti Carlos Slim, Bill Gates, Warren Buffet, Larry Ellison, Sebastian Pinera dan beberapa nama lain yang berasal dari Amerika dan Eropa. Latar belakang usahanya pun lebih banyak bergerak di bidang TIK. Berbeda dengan deretan nama orang terkaya di Indonesia yang bergerak di bidang industri rokok dan pemanfaatan sumber daya alam.
Meski agak sulit untuk dikaitkan, paling tidak dereten figur penguasa ekonomi di dunia dengan latar belakang masing-masing menunjukkan bahwa pentingnya TIK belum menjadi kebutuhan utama bagi bangsa ini. Karakter TIK belum menjadi identitas utama dalam meraup kesuksesan dibandingkan pemanfaatan dan ekplorasi terhadap sumber daya alam. Hal ini juga menunjukkan bahwa bangsa ini belum mampu meningkatkan popularitasnya menjadi bangsa pencipta (creator), pengolah (processor), tapi lebih sebagai bangsa “penjaja” (consumer). Dampaknya, justru menjadikannya semakin terpuruk, menjadi budak ekonomi bagi bangsa lain.
Boleh jadi, kondisi ini disebabkan oleh dukungan limpahan sumber daya alam yang begitu besar. Sumber daya yang sebagian besar tidak bisa diperbaharui justru semakin lama terkikis habis. Sementara daya pencipta yang masih lemah “meninabobokkan” bangsa ini dalam suasana yang serba hanya bisa menikmati apa yang ada, tanpa berusaha menciptakan sumber daya dan peluang baru demi kepentingan masa depan.
Kondisi ini sungguh sangat disayangkan, mengingat potensi pemuda Indonesia begitu besar jika hanya sekedar diperuntukkan untuk memajukan kekuatan bangsa. Kebesaran bangsa semakin tenggelam, terkubur di tengah-tengah gegap gempita globalisasi. Terdapat kekeliruan memahami peralihan paradigma dalam proses regenerasi bangsa yang telah membuat pemuda menjadi kehilangan peran dan kekuatan progresifnya, khususnya menjadikannya sebagai subjek dan pelaku, ketimbang objek dari sejarah. Padahal, dukungan sejarah yang begitu heroik lewat momentum Sumpah Pemuda menjadi instrumen penggerak untuk memastikan bahwa sudah saatnya pemuda merubah paradigma masa lalunya dalam menghadapi kondisi zaman yang begitu dinamis.
Hanya saja, tidaklah cukup berharap pada kejayaan prinsip masa lalu, tanpa mengaktualisasikannya dengan baik di masa saat ini. Potensi pemuda yang begitu besar menjadi objek yang dikebiri oleh kepentingan pragmatis untuk dimobilisasi, sekedar untuk mencari keuntungan sesaat. Di lain pihak, pemuda tidak memiliki visi tentang masa depan, karakter kepemimpinan yang dapat menununtun arah dan langkahnya untuk menyesuaikan diri dengan kondisi global.
Dengan demikian, ada beberapa hal yang perlu menjadi pemikiran pemuda. Pertama, inspirasi heroik masa lalu harus menjadi pijakan dasar filosofis yang menginspirasi peran pentingnya dalam membangun bangsa; kedua, merubah paradigma tentang kondisi dan situasi zaman yang terus dinamis, dengan memandang globalisasi sebagai peluang, bukan ancaman; ketiga, dukungan pemerintah dan para stake holder untuk memberikan ruang gerak yang luas bagi pemuda untuk selalu menciptakan kreasi baru. Daya kritis dan energi positif tidak boleh dijadikan penghambat, melainkan akselerator dan dinamisator masa depan.
Pada akhirnya, ungkapan Soekarno “berikan aku sepuluh pemuda, maka akan aku guncangkan dunia”, adalah sebentuk apresiasi masa lalu, masa kini dan masa depan yang akan selalu menggema. Sejauh peran pemuda diapresiasi dengan baik, daya cipta mereka diberikan ruang gerak yang luas, menjadikan diri mereka sebagai subjek, maka sejauh itu pula pemuda akan selalu menjadi bagian penting dari sejarah kebangkitan bangsa ini.