Ruangan itu akhirnya sepi. Setiap orang yang mengunjungi kawanku tak lupa meninggalkan sebuah bingkisan, sekotak roti, buah-buahan, dan kadang-kadang sejumlah uang yang tak aku tahu jumlahnya. Masing-masing dari mereka membawa perasaan melalui barang yang bermacam-macam sebagai salah satu wujud doa kesembuhan baginya.
Aku sendiri hanya mampu membeli buah-buahan sekadarnya karena persediaan uang begitu menipis. Biarpun begitu, dalam waktu-waktu senggang aku selalu menjenguknya. Tak ada kekhawatiran bagiku kapan waktu-waktu itu muncul, karena kesibukkanku akhir-akhir ini hanya menyelesaian tugas akhir yang begitu menjemukkan. Suatu pengganjal mata yang tak kunjung hilang.
Sejak seminggu yang lalu ia dirawat di RS Kariadi karena kerusakan fungsi ginjal. Setidaknya itu yang dikatakan pak Dokter. Aku tak begitu tahu bagaimana riwayat penyakitnya hingga semuda ini mengidap penyakit macam itu. Barangkali gaya hidupnya yang tak teratur, terutama pola makan. Kadang-kadang teringat olehku bagaimana kesibukkannya bekerja sebagai koordinator salah satu proyek Perusahaan besar. Aku bisa bayangkan setelah ia menceritakan semua tentang pekerjaannya dua tahun lalu. Aktivitas ekstra padat, ditambah pola makan yang tidak sehat pada akhirnya jadilah sumber-sumber penyakit.
Menurut orangtua, saudara dan teman-teman kuliahnya—yang terakhir ini baru kukenal ketika bertemu mereka di ruangan tempat kawanku dirawat—ia biasa begadang dan selalu mengonsumsi minuman-muniman ringan. Maksudku ialah softdrink.
Dokter bilang begini:
Minuman itu mengandung zat-zat pengawet dalam jumlah besar. Dan sangat berbahaya bagi ginjal jika dikonsumsi dalam waktu lama dan intensif. Bagian ginjal yang berfungsi menyerap zat-zat yang diperlukan oleh tubuh terkena dampak oleh zat-zat yang dikandung softdrink. Pada akhirnya terjadi kerusakan pada bagian ginjal, dimana zat-zat yang seharusnya diserap oleh tubuh terlewat begitu saja. Akibatnya—seperti yang terjadi pada temanmu—beberapa bagian tubuhnya kembung berisi cairan-cairan yang tak terserap.
Samar-samar dapat kupahami penjelasannya. Tak kusangka dampaknya sampai seburuk itu. Aku pikir bahaya zat kimia—termasuk zat pengawet—baru nampak setelah beberapa tahun, persis seperti apa yang dialami teman ibuku. Tapi ini, kawanku... “huh,” dengusku tak percaya.
Kalau kawanku yang semuda ini saja bisa terkena dampaknya, tentu ia telah mengonsumsi softdrink cukup lama, barangkali juga makanan-makanan instan yang turut menyumbang zat-zat keparat itu di tubunya.
Tidak seperti jaman dulu, kata bapakku. Sekarang semua makanan dan minuman serba instan. Dan yang instan itu selalu buruk di dalamnya; pengawet, pemanis, penguat rasa dan macam-macamlah. Orang sekarang harus pandai menjaga diri, juga membatasi diri soal makan dan minum.
Dan ia, kawanku... rupa-rupanya ia memang pengagum minuman ringan. Dalam dua bulan terakhir, tepat satu minggu sebelum dirawat, ia sering meminumnya, sebelum dan sesudah makan mengikuti pola makan yang tiga kali sehari itu. Dapat dibayangkan berapa banyak endapan-endapan pengawet yang tertampung di ginjalnya. Aku merasa kasihan, tetapi itu sudah menjadi resiko manusia modern yang penuh dengan makanan-minuman instan disana-sini.
Selain itu, kawanku ini mempunyai riwayat tubuh yang lemah, dan boleh dibilang rawan penyakit. Ia selalu mengeksploitasi tubuh dan pikirannya untuk membantu orang tua dan pekerjaannya yang bagiku terasa amat berat. Orangtuanya adalah pengusaha konveksi di daerah Pekalongan, dengan jangkauan pasar yang cukup luas mencakup Semarang, Jogja, Cirebon, Jakarta dan Bekasi. Meski pekerjanya berjumlah besar, sekitar 20 orang, ada saja yang dapat dikerjakan kawanku ini, dan jumlahnya tak kurang besarnya dari pegawai-pegawai lain. Tiap minggu ia perlukan pulang ke Pekalongan, membantu. Ya, membantu orangtua adalah satu hal yang bisa mengurangi rasa rindu dan menebus hutang budinya. Setidaknya itu yang nampak olehku. Dalam bekerja, seringnya ia lakukan sehabis Isya’ hingga menjelang shubuh.
Saat itu kami masih mahasiswa tingkat dua. Ia kuliah di Undip, sedang aku di UNNES, sama-sama di daerah Semarang. Kami bersahabat sejak SMP. Ia sudah kuanggap sebagai saudara sendiri. Dan sebagai saudara, apabila yang satu susah, lainnya akan membantu. Dan percakapan itu mulai sering muncul diantara kami. Ia selalu—selalu saja—mengeluhkan orangtuanya. Karena rasa kasih yang terlalu mendalam dari seorang anak terhadap bapak-ibunya.
“Aku tak tega melihat orangtuaku bekerja seperti itu, sedang aku hanya kluyuran saja di kampus,” keluhnya padaku.
“Kluyuran? menurutku kau sedikit berlebihan,” bantahku tak setuju dengan istilahnya.
“Well, aku tahu maksudmu. Hanya saja… menurutku tanggungjawab sebagai seorang anak tidak cukup belajar saja di kampus, membantu orangtua juga perlu.”
“Itu tanggungjawab moral,” jawabku tak peduli dengan gagasannya. Bukankah kuliah sungguh-sungguh sudah termasuk membantu orangtua. Kan itu yang mereka harapkan.
“Bisa juga kau buat istilah macam-macam. ‘tanggungjawab moral’? hehe…,”, jawabnya terkekeh.
Aku pura-pura tak mendengar, dan melanjutkan permasalahan.
“Jadi, apa rencanamu?” kataku.
Ia mendeham, menimbang-nimbang keputusannya seolah baru dipikirkannya sekarang, “mungkin aku akan ikut proyek yang ditawarkan dosen, atau senior barangkali. Hanya resikonya cukup berat; kuliah bisa tercecer tak terurus,” ia diam sejenak, menghela nafas dan melanjutkan “...kau tentu tahu aku tak bisa diam diri seperti ini, kasihan mereka, orangtuaku”
“Ambisimu itu, dan...,” aku mendengus ragu “...jangan sampai kau terlena pekerjaan, itu sering terjadi. Ingat senior-seniormu itu. Mereka sukses, dapat uang banyak, tapi akhirnya kena DO. Tahu kau DO!, Drop Out.”
Ia tertawa puas. Puas dengan pendapatku yang berlainan dengan pemikirannya. Dan percakapan itu selalu berakhir seperti itu. Selalu.
Rupanya diantara kami terbentang prinsip yang berlainan, prinsip yang tak akan berdamai. Ia punya pemikiran sendiri, juga aku. Percakapan masalah prinsip agaknya harus berujung pada saling pengertian di antara kami, setelah sekian perdebatan benar-benar buntu sampai ke dasar. Mungkin ia pikir aku tak mengerti? Salah! Lebih dari itu, aku sangat mengerti kau, kawan, kau adalah seorang anak yang terlalu khawatir dengan orangtuamu. Meski biaya kuliah adalah tanggungjawab orang tua, dan kita bisa saja tak perlu ikut campur atau semacamnya, tapi kau punya standar lain. Aku hargai itu. Hanya tanggungjawabnya sebagai mahasiswa jangan terlupa; belajar, dan mengembangkan kemampuan-kemampuan lain. Kenyataannya sungguh berlainan.
Sejak semester lima ia aktif mengambil proyek di beberapa perusahaan bersama kawan senior. Proyek itu tergolong berat terutama bagi mahasiswa setingkat dia, karena harus mahir dalam pengukuran, survey wilayah, pemetaan, citra satelit dan lain-lain. Yang lebih penting, resiko kehilangan waktu untuk kuliah sering tak dapat dihindari. Kalau sudah demikian ia harus pandai cari teman yang setia menolong disaat tugas-tugas kuliah menumpuk. Cukup anek bagiku, mengapa hal seperti itu bisa membudaya di sana. Tidak adakah persyaratan yang cukup ketat bagi mahasiswa yang ingin mencari proyek? Lewat perijinan dekan, misalnya.
Masalah resiko kehilangan waktu kuliah dan tingkat kesulitan proyek tak jadi soal baginya. Keluarganya—terutama orangtuanya—seolah menjadi prioritas nomor wahid mengalahkan pesaing-pesaingnya. Setidaknya untuk saat ini. Dan kuliah itu...entahlah. Ia punya pemikiran sendiri.
Suatu standar yang cukup aneh dibanding diriku. Aku sendiri seorang mahasiswa seperti pada umumnya; uang saku dari orangtua tiap bulan, mengikuti kuliah secara teratur dan kadang-kadang jadi panitia kegiatan kampus. Selebihnya kulewatkan bersama kawan-kawan, ngobrol, diskusi dan sekadar menghabiskan waktu senggang. Yang penting jangan sampai membuat kuliahku tercecer tak terurus.
Ia tidak. Kawanku ini seorang yang aktif, dinamis dan cerdas. Meski mengikuti banyak kegiatan, menjadi salah satu pengurus UKM, ketua PA, dan entah apalagi, tapi nilai-nilai kuliahnya selalu cum laude. Aku tak pernah mencapai nilai setinggi itu.
Ini semua terjadi hingga akhir tingkat dua. Selanjutnya adalah perbelokan arah yang sangat drastis. Ia menjadi sangat family oriented, dan berlebih-lebihan. Atau pendapatku saja yang terlalu sentimen dan dipenuhi duga-sangka tak beralasan. Barangkali ada masalah di keluarganya, atau kejadian lain hingga pribadinya nampak berbeda. Tapi apa? Kejadian apa? Biasanya ia perlu bercerita padaku, Sekarang tidak atau belum waktunya bagi kawanku ini. Tetapi seorang kawan perlu tahu apa yang menjadi kesulitan bagi kawan lainnya, terlebih kami sangatlah bersahabat. Biasanya ia memang menceritakannya padaku, hanya kali ini tidak. Baiklah, aku hargai itu juga.
**
Ruang Melati.
Saat itu menjelang maghrib. Aku hendak pamit pulang pada kawanku. Kuperlukan melihat raut mukanya yang kurus, kering kehilangan banyak daya, dan barangkali semangatnya mulai pudar. Benarkah ini kawanku? Dalam sekejap aku sempat tak percaya. Kusingkirkan pikiran yang memancing-mancing kesedihan itu.
“Aku harus pulang, kawan” kataku lirih.
“kenapa terburu-buru,” ia mengeluh dengan suara yang berat dan dalam, kemudian ia mencoba bangun dan menunjuk lemari yang berdiri diam di sebelahnya.
Dengan cepat kucegah ia bangun karena bagian perutnya mengembung oleh cairan itu. Ia pasti kesakitan jika daerah itu tertekuk, dan posisi tiduran adalah yang paling baik untuk saat ini, “tak perlu bangun, biar aku saja. Apa yang ingin kau ambil? katakan,” seraya menghampiri lemari itu.
“Ada buku, dibawah tumpukkan baju. Lihat?”, katanya tersenyum.
Kutarik buku itu dan kutunjukkan padanya, “Ini?”. Tertulis daily journal dengan corak yang agak tak beraturan pada kovernya. Tentu saja ini buku diari, pikirku. Lalu kuserahkan padanya. Ia menolak dengan senyum kecil.
“Bawalah pulang...”
“Eh, tidak, aku tak bisa. Ini buku pribadi. Kau bercanda?,” jawabku ragu.
“Aku serius kawan,”
“Beneran? Tapi apa maksudnya ini?” kataku mencoba mencari penjelasan.
“Tak ada maksud apa-apa. Hanya aku ingin menceritakan sesuatu padamu, lewat catatanku ini,” pandangannya dilempar pada jendela.
“Hehe,.. mengapa baru sekarang kau lakukan ini,” jawabku sambil kutinju lengannya.
Melihat tanganku yang gatal ingin membukanya, ia memperingatkan, “tidak! jangan!, jangan didepanku.... Nah, begitu. Bawalah pulang, bacalah dirumah, tapi jangan kau tertawakan.”
“Aha, pasti rahasiamu yang memalukan? Benarkan?” aku mencoba mencairkan suasana.
“Bukan, kawan. Hanya beberapa rahasia kecil. Kau pasti terkejut,”
“Itu.. catatan itu,” ia menambahi, “semua yang kualami, semua hanya pemikiran seorang pemuda yang tak bisa tenang, gelisah dan barangkali tak penting,” kembali ia tersenyum kecil. Senyum yang penuh teka-teki.
“Dan jangan baca dihadapanku,” ia mengulangi permintaannya.
“Begitu, baiklah. Aku jadi tak sabar,” jawabku tersenyum pula. Senyum keheranan dan penuh duga-duga.
Dalam guyuran hujan dan hembusan angin yang cukup kencang, aku pulang dengan mengantongi tanda tanya besar. Sesungguhnya tak terpikirkan olehku ia akan meminjami buku catatan pribadinya. Apalagi dalam suasana seperti ini. Kembali pikiran yang tidak-tidak membayang-bayang di kepala. Ah, tidak mungkin, bantahku pada pikiran itu sendiri.
Itu terjadi tiga hari yang lalu sebelum ia koma. Dan catatan itu tak kunjung kubaca. Aku menjadi terlalu berlebihan membayangkan yang tidak-tidak.
**
Hari Jumat, disiang hari.
Waktu itu gerimis. Dan lorong sekitar ICU tampak begitu sepi dengan pembisuannya. Hampir-hampir detik jam dinding terdengar jernih meski terpisah jauh dariku. Aku rasai tekanan muncul mendesak dalam hati, dan kekhawatiran pula yang melayang-layang membentuk bayangan kematian. Bukankah ini juga pertanda? Tidak!, pikirku. Tak ada pertanda, tak ada kematian. Dokter akan menyembuhkannya. Pasti!, pasti!.
Moga-moga dapat disembuhkan. Ya, moga-moga. Aku percaya tim medis itu bisa menyembuhkan kawanku, lewat obat dan lewat operasi atau apapun itu. Dan Tuhan, Dia Maha Adil dan Maha Mengetahui. Satu umat-Nya meminta dengan sangat, pastilah terkabul. Tapi takdir memiliki jalan sendiri, ia sudah ditetapkan jauh sebelum kita lahir. Ah!, mengapa aku ini? buku catatannya hanya mendorongku pada prasangka yang bukan-bukan, pada kematian. Apakah itu pertanda bahwa ia tahu saat kematiannya? Tidak! itu mustahil, orang tak akan tahu datangnya kematian, juga kawanku ini.
Satu kecemasan lenyap, disambut dengan kecamasan lain yang serupa bentuk dan isinya, datang bersahut-sahutan.
Bagaimana jalannya sehingga ia menyebut-nyebut akan datangnya kematian dalam buku catatannya? Pada lembar-lembar terakhir catatannya pula. Apakah setiap kematian selalu didahului dengan pertanda, pertanda dari orang yang akan hilang nyawanya? Ia masih muda dan belum mencapai apa yang sebenarnya jadi harapan orangtuanya: lulus.
Sepenuhnya aku mengerti maksud kawanku mengapa ia berkeras hati bekerja dan sengaja mendiamkan tugas akhirnya. Ia tidak ingin menjadi beban, malah ia ingin dibebani, dengan demikian ada alasan atau bahkan paksaan agar hutang budi orangtuanya dapat terbalas. Pemikiran semacam itu kadang-kadang berada pada batas tanggungjawab moral (dan ia malah menertawakan ini) dan kenekadan.
Dosenku pernah bilang; apa yang terpenting bagi orangtuamu adalah melihat putranya lulus. Kepuasan semacam itu tidaklah dapat digambarkan dan ditaksir, padahal sulitnya mencari pekerjaan kadang-kadang sanggup melahap habis kebahagiaan atas kelulusan anaknya. Tapi orangtua punya jalan pikiran sendiri, mereka yakin dengan melewati tahap kelulusan pasti pintu rejeki semakin terbuka lebar, atau kadang berlebih-lebihan dalam pengharapannya; pintu rejeki yang tak terpikirkan terbuka buat kita dan menyeret kita kesana memberi kesuksesan. Bagi mahasiswa yang nyambi kerja, ini cukup melenakan karena akan menyita banyak waktu pekerjaannya, bahkan harus mengambil cuti kerja. Atau malah berhenti.
Beliau masih menambahi; ambisi yang berapi-api juga perlu diimbangi dengan kesabaran yang tak kalah berapinya. Juga peluang kerja yang didepan mata, yang kita yakin akan membawa kebahagiaan buat kita. Tidakkah begitu berat mundur sejenak lalu selesaikan kewajiban demi keinginan orangtua kita? Mereka akan membebaskan kita setelah gelar kelulusan itu kita capai. Dan kebebasan itulah wujud kepercayaan sepenuhnya dari orangtua.
Dan kau kawan, kau cerdas dan sebetulnya mampu. Bahkan aku mengirikan kemampuanmu itu. Tapi, tapi kau benar-benar anak yang terlalu sayang pada orangtua. Tak ada yang bisa menyalahkan, dan tak perlu ada yang disalahkan.
**
Hari Minggu.
Sebagian besar catatannya berupa renungan pribadi dan rencana matang tentang hal-hal yang kelak akan ia lakukan. Aku masih saja mencari-cari hal yang unik, yang ia sembunyikan dariku. Mungkin ada. Catatan pribadi semacam ini tentu menyimpan rahasia bagi penulisnya sendiri.
Benar juga, kutemukan. Dan apapula ini? ia juga menulis! Dapat upah! Dimana? Sejak kapan?
“20 November 2012—Redaksi menerima tulisanku yang sudah kuendap beberapa minggu di ‘kantong persediaan’. Masih ada belasan tulisan di laptop, semuanya tentang kesukaanku pada alam. Ya, kesukaan yang berlebih-lebihan menurutku. Mungkin redaksi ini cocok dengan karakter tulisan ini, tentang alam, tentang budayanya, tentang masyarakatnya, dan tentang dunia yang belum tersentuh sama sekali. 200.000 adalah jumlah yang besar, kepuasannya itu yang mengembungkan kebesarannya. Akan kuserahkan sebagian untuk adik-adikku.”
“...bagus, tulisanku diterima untuk edisi minggu depan. Rupanya majalah ini bisa jadi ladang uangku...”
“31 Desember 2012—Siang yang panas. Meskipun begitu diri ini tak luput dari kegemberiaan yang teramat sangat. Koran SM menerima naskahku. Besok kuambil honor, mungkin ngajak Beni sambil ngobrol dan jajan-jajan adalah ide bagus. Akan kutraktir dia, atas kekayaan idenya....”
Subhanallah!, ia tak pernah cerita tentang itu sama sekali. Lewat akun facebook atau twitter juga tidak. Kukira baginya menulis hanya sekadar menyela kesibukkan. Tapi redaksi apa? Ia menulis tentang kehidupan manusia beserta alamnya? Dan uang 200.000 itu?
Dan ini tentang pekerjaannya:
“4 Agustus 2012—Aku muak dengan jalannya birokrasi perusahaan. Mengapa data pembacaan satelit itu perlu dimanipulasi? bahkan itu dilakukan sebagai hal yang wajar? Kalau demikian data yang kuserahkan tidak sesuai dengan apa yang kuperoleh selama pengukuran dan pemetaan wilayah Cirebon. Aku tak tahan lagi, dan nurani mahasiswa dalam dadaku tak bisa dibohongi dan diajak berdamai. Rupanya ia yang setingkat direktur juga kena terjang pola-pola kotor itu. Memang uang banyak kudapat, tapi kalau terus begini aku bisa mati depressi! Dan itu tidak satu-dua, hampir sebagian besar perusahaan pada memanipulasi data!”
Masalah lain lagi. Rupanya proyeknya tak berjalan lancar, setidaknya itu yang ia pikirkan. Tak dapat berdamai dengan naruni mahasiswanya, intelektualnya. Kawanku ini tetaplah pemuda yang idealis.
Catatan-catatan selanjutnya menceritakan bahwa ia ternyata tak mencari proyek lagi selama dua tahun terakhir. Ia tetap mempertahankan prinsipnya meski itu melewatkan gaji besar di depan mata. Kecakapannya menulis, yang baru ia kuasai sejak berakhirnya proyek terakhir, menggiringnya pada muara yang tepat. Maksudku pada apa yang ia harapkan.
Baru jelas buatku bahwa ia tidak berkutat pada proyek pengukuran, pemetaan dan survey lagi, melainkan menulis untuk selanjutnya dikirim ke beberapa redaksi. Hanya tidak banyak disebutkan di catatannya, redaksi mana yang ia tuju juga tidak disebutkan.
“... Gunung itu indah, tapi jauh lebih menakjubkan ketika aku berada dipuncak. Disini aku merasa damai, bersih, suci, seolah semua yang kuinginkan dapat kugapai dengan bebasnya, dengan mudahnya. Aku menginginkan alam ini. Kau pohon! Kau gunung! Kau awan! Lautpun tak ketinggalan! Baik, akan kuendapkan kalian semua dalam tulisan....Temanku, Nina, pandai saja dalam berdikusi. Aku banyak terbantu karena galian ide-ide imajinatifnya. Dengan ini tulisanku semakin kaya. Redaksi Nasional G. adalah tujuanku selama ini, Nina mendukung, dan lainnya juga. Terimakasih.”
Pada tanggal yang lain lagi:
“Tulisanku terjual 150.000, betapa bahagianya. Aku tak memandang besar, dan kalau boleh dibilang; ini kelima kalinya tulisanku layak jual. Tetap saja buatku; kepuasan itu yang mengembungkan kepala.”
Ini yang tertulis pada halaman terakhir, beberapa bulan setelah tulisan di atas. Semoga bukan sesuatu yang mengejutkan lagi, pikirku.
“Aku sangat lelah, semua energi seakan lenyap sudah. Bukan masuk angin atau nggreges. Ini semacam... ah, mengapa pula aku membahasnya. Perasaan ini tak baik di pelihara, tak ada yang tahu kapan seseorang mati. Lagipula itu bukan urusanku, bukan urusan manusia. Saat ini aku merasa senang dan bersyukur karena alam rupanya tak lupa padaku. Ia seolah telah memilihku, untuk kuperkenalkan pada mereka di bawah sana. Selanjutnya keliling Indonesia. Dan tugas akhir itu? Aku pasti akan menyelesaikannya. Pasti! Hanya tidak sekarang....Ah, Fajar. Kau baru menampakkan diri, aku sampai bosan menunggumu. Kau seperti namaku.”
Aku duduk termenung, tubuhku menggigil dan pikiran itu menyembar-nyambar mencari muaranya. Dengan cepat kusambar kunci motor, dan kunyalakan megapro, menuju rumah sakit. Sial, umpatku dalam hati.
Dan hujan itu tetap menyertaiku dalam perjalanan.
***