Tanggal 29 malam saya mendapatkan kabar dari kakak, bahwa Bunda dan adik-adik sedang berada di Pamulang. Setelah mendapatkan berita tersebut, maka saya merencanakan untuk pergi keesokan harinya bersama Meru (Nama sepeda saya) yang baru saja di adobsi kurang lebih 1 bulan oleh saya. Awal inspirasi pemberian nama sepeda tersebut karena ada seorang teman ketika melihat sepeda saya kemudian berkata “merah rupanya”, dari situlah nama “Meru” saya abadikan atau lebih tepatnya itu sebuah singkatan.
Awalnya, saya berencana untuk menuju Pamulang bersama Meru sabtu pagi hari. Akan tetapi rencana tersebut saya urungkan, karena tugas kampus yang belum terselesaikan. Hingga akhirnya, tugas tersebut baru saya selesaikan siang hari. Setelah tugas rampung, saya pun beristirahat terlebih dahulu, karena mata menolak untuk bekerjasama untuk tetap terjaga siang itu.
Setelah mengistirahatkan badan dan mata, saya merasa lebih segar dari pada sebelumnya. Saya pun berkemas dan bersiap untuk perjalanan pertama bersepeda yang cukup jauh bersama Meru. Berbekal satu botol air dan beberapa camilan saya pun berangkat bersama Meru. Akan tetapi sebelum berangkat dari kawasan Fatmawati menuju Pamulang, Meru saya cek terlebih dahulu dari tekanan ban depan dan belakang, oli rantai, gerigi, hingga sistem pengeremannya. Hal ini saya rasa perlu, karena ditakutkan kondisi Meru tidak sedang dalam kondisi prima.
Setelah dirasa cukup dan siap, saya dan Meru pun berangkat menuju Pamulang dari Fatmawati. Perjalanan dari kawasan Fatmawati, Bona Vista menuju daerah Lebak Bulus tidak terlalu melelahkan, karena jalanan sore itu cukup lengang dari kedua arah.
Akan tetapi setelah memasuki kawasan Cirendeu, macet mengintai saya. Perebutan jalan antara motor dan mobil tidak bisa dihindari, hasilnya saya yang bersepeda sendiri harus banyak mengalah agar perjalanan aman sampai tujuan. Walau sebenarnya dalam hati sungguh mengkal (baca: kesal), dengan berbagai kelakuan pengendara yang kurang santun di jalanan.
Ada beberapa kesulitan ketika saya memasuki perbatasan antara Jakarta dan Tangerang, tepatnya di Jalan Ir. H. Juanda (Ciputat Raya). Pertama, ketika kondisi macet, sepeda tidak bisa mengimbangi kecepatan motor ketika melaju, hingga terkadang saya sebagai yang pengguna sepeda lebih sering mengalah kepada kendaraan lain. Kedua, dalam kondisi jalanan yang macet, ternyata sulit mengendalikan sepeda pada jalur pendakian (baca: tanjakan), hal ini saya alami ketika memasuki perbatasan tersebut yang memiliki jalur pendakian yang sebenarnya mudah saja untuk para pengguna sepeda apabila kondisi cukup lengang, apalagi saya menggunakan varian MTB yang sangat nyaman ketika menghadapi jalur pendakian.
Karena macet tidak berkesudahan, ketika sampai di pertigaan Situ Gintung saya menepi dan beristirahat sebentar sambil melihat pemandangan yang ada. Kondisi situ relatif bersih dan juga ramai oleh para pengunjung, akan tetapi sayangnya banyak coretan-coretan hasil dari tangan yang tidak memiliki tempat berkreatifitas. Banyak pula tukang jualan cemilan seperti cilok, seblak, sosis, air kelapa muda, kopi hingga jus. Wajar saja Situ Gintung ramai di sore itu, atau mungkin setiap sore dan pagi hari.
Beruntung saya bisa istirahat di tempat yang tepat, karena ketika beristirahat saya melihat di seberang Situ terlihat kampus II UIN Syarif Hidayatullah, dan ada cukup jalan yang bisa digunakan sepeda hingga tembus menuju Kampus II tersebut. Awalnya saya ragu, akan tetapi saya bertanya kepada beberapa pedagang yang ada, apakah benar jalan yang ada menuju kampus tersebut atau bukan. Dugaan saya benar, karena para pedagang sekitar mengamini dugaan saya akan jalan yang mengarah menuju kampus.
Setelah mendapatkan info dari para pedagang, saya pun langsung mengayuh Meru dengan semangat, karena saya tidak perlu lagi berebut jalan dengan pengendara lain. Selain itu, pemandangan Situ Gintung membuat saya lebih tenang. Jalanan yang tersedia pun cukup bagus, karena paving block rata dan rapi hingga membuat saya dan Meru enjoy dalam perjalanan sepanjang menyusuri Situ Gintung.
Sampai saya di kampus II UIN, lalu saya mencari jalan keluar untuk sampai kembali ke jalan raya. Saya pun keluar di jalan samping komplek yang tidak jauh dari kampus I UIN, yang kemudian melanjutkan perjalanan menuju Pamulang. Rasa senang menyeruak dalam hati, karena setidaknya saya bisa menghemat waktu dan menikmati perjalanan bersepeda bersama Meru sore itu.
Dari jalan tersebut, saya mendapat dua orang pesepeda. Kami ngobrol beberapa hal dan bertanya tujuan masing-masing. Mereka memberikan tawaran untuk mengayuh bersama. Hal tersebut saya terima dengan senang hati, walau hanya dari kampus I UIN hingga flyover Ciputat, setidaknya dari pendeknya jarak kami bersama itu meringankan beban individual dalam bersepeda. Karena sepengetahuan saya, apabila kita bersepeda sendiri kita akan melawan angin sendiri hingga akan memperlambat laju sepeda, berbeda dengan bersepeda berkelompok yang akan meringankan beban dalam melawan angin. Perumpamaan yang paling mudah adalah, ketika kita melihat burung yang terbang berkelompok, salah satu keuntungan burung dalam terbang berkelompok adalah lebih mudah menembus angin, begitu juga para pesepeda.
Lepas flyover Ciputat, kami pun berpisah. Saya melanjutkan perjalanan bersama Meru, menuju jalan Otista. Kondisi jalan Otista Tangerang Selatan bisa dikatakan cukup rapih, walau ada beberapa lubang yang sebenarnya berbahaya untuk para pengendara.
Meru saya kayuh dengan sekuat tenaga, karena waktu terlihat sudah mulai petang. Namun kayuhan itu saya perlambat ketika sampai di jalan Pajajaran, bahkan saya berhentikan Meru sejenak. Tempat yang membuat saya berhenti adalah Situ Sasak, setelah tadi melihat Situ Gintung yang cukup nyaman untuk istirahat, kini saya melihat realitas berbeda pada Situ Sasak. Karena terlihat tidak terawatnya kawasan tersebut, lingkungan sekitar Situ tersebutnya berserakan banyak sampah. Dari perjalanan itulah, saya menjadi teringat beberapa tulisan akan kekhawatiran para Kompasianer yang berdomisili di Tangerang Selatan, akan kondisi Situ yang dimiliki oleh wilayah tersebut.
Jujur ada keprihatinan dan rasa ingin merubah kawasan tersebut menjadi lebih bernilai dan asyik untuk di kunjungi, tapi apa daya, saya hanya bisa melihat dan merasakan keprihatinan tersebut dalam diri sendiri.
Tidak bisa lama di tempat tersebut, saya pun kembali melanjutkan perjalanan bersama Meru. Karena perjalanan saya rasa masih cukup jauh dari Situ Sasak menuju rumah kakak saya. Dalam perjalanan dari jalan Pajajaran ke jalan Siliwangi, saya mendapati dua kejadian yang buat saya harus berhati-hati dalam mengendarai Meru. Pertama, ketika saya baru lepas landas bersama Meru dari Situ Sasak, saya melihat terjatuhnya dua motor, salah seorang korbannya adalah pengendara motor wanita. Entah apa yang menyebabkan kedua pengendara motor tersebut terjatuh, entah tidak berhati-hati karena lubang yang ada atau mungkin tidak fokus dalam berkendara. Akan tetapi dari kejadian itu saya menjadi lebih berhati-hati dalam mengayuh Meru. Kedua, ketika saya memasuki jalan Siliwangi saya melihat dua orang pemuda saling baku hantam, saya tergelitik geli melihat hal tersebut, karena yang saya dengar dari saksi mata kejadian tersebut salah satu dari mereka mendahului dan seorangnya lagi tidak terima dan merasa tidak nyaman dengan hal tersebut, kembali lagi saya harus lebih berhati-hati dalam berkendara apapun dan harus saling santun ketika berkendara.
Saya pun melewati Universitas Pamulang juga kantor Walikota Tangerang Selatan, jalanan daerah tersebut cukup nyaman untuk pengendara sepeda seperti saya. Akan tetapi ketika masuk daerah pasar yang notabene banyak pasar swalayan ternama, saya merasakan jalan yang begitu banyak lubang besar, bahkan sebelum saya masuk Situ Tujuh Muara ada jalan yang belum selesai. Itulah yang membuat saya kurang nyaman ketika mengayuh Meru, selain khawatir dengan kondisi Meru saya pun khawatir kalau terjatuh di jalanan tersebut yang cukup ramai.
Rasa khawatir hilang ketika melihat tampilan Situ Tujuh Muara yang terbentang luas, sejurus kemudian saya mencari tempat untuk masuk dan melihat lebih dekat Situ Pamulang. Setelah mendapatkan tempat masuk menuju kawasan Situ Tujuh Muara, saya pun istirahat mencari tempat duduk terlebih dahulu. Kemudian mengambil beberapa gambar, dan kemudian saya secepatnya mengayuh Meru pulang ke rumah kakak karena waktu sudah petang.
Keringat bercucuran dari seluruh badan saya, tapi rasa bahagia ada dalam diri ketika sampai rumah kakak. Saya mengucapkan salam dan langsung berlari ke kamar kecil untuk mencuci muka, tangan dan kaki yang terasa dipenuhi oleh debu. Baru kemudian, bisa saya temui Bunda dan adik-adik, pun langsung saya mengecup tangan Bunda dan kakak saya.
Mengecup tangan Bunda itu, rasanya ingin dilakukan setiap saya berangkat kuliah. Akan tetapi, apa mau dikata. Kami terbatasi oleh ruang dan waktu, akan tetapi tidak terbatas dalam hati dan do’a. Beruntunglah bagi teman-teman yang bisa mengecup tangan Bundanya setiap hari, dan harus saya katakan saya iri akan hal itu.
Ada rindu yang sangat ketika mengecup tangan Bunda. Rasa lelah juga kaku di kaku saat mengayuh Meru semua sirna seketika, karena melihat senyuman dari Bunda dan adik-adik. Ada rasa kebahagiaan yang tidak terkira ketika berkumpul dengan keluarga.
“Dengan mengayuh sepeda, aku mampu berkumpul bersama mereka yang ku cinta, dengan mengayuh sepeda, aku banyak belajar dari apa yang aku arungi sepanjang perjalanan”.