Besok, aku tunggu di jalan masuk rumahmu. Kita sepedaan lagi, jangan lupa siapkan Giselmu :D
Aku tak butuh waktu lama untuk menjawab pesannya. Sedikit aneh memang, setelah beberapa lama dia menghilang, saat ini dia tiba-tiba datang. Tak menanyakan kabar tapi justru mengajak bersepeda, rutinitas lama yang kami tinggalkan.
*
Keringat membutir di keningnya, meleler ke pelipis, mengilat terkena terpaan matahari pagi. Tapi sedemikian cepat kilatan itu tamat, meresap pada handuk kecil berwarna putih yang mengalung di lehernya. Ekor mataku tak henti-henti melirik ke arahnya, mencuri lihat setiap gerak yang ia lakukan.
“Ayo buruan, keburu panas!” katanya dengan kaki yang tak henti mengayuh pedal. Ya, matahari mulai menggarang, dan kami baru sampai setengah perjalanan.
“Maaf, harusnya kita memang berangkat lebih pagi,” katanya lagi. Dia terlambat datang, aku menunggunya lebih dari satu jam. Tadinya kupikir dia tak akan datang. Tapi, apalah arti keterlambatan satu jam jika saat ini aku kembali melihatnya memancal sepedanya, beriringan denganku.
Aku tersenyum, “Ya, seharusnya, tapi tak apa.”
“Kamu gak capek?” tanyanya, raut wajahnya nampak letih. Aku menatapnya, tersenyum simpul. Kaki-kaki yang lama tak diajak mengayuh mungkin yang membuatnya cepat capai. “Kita istirahat dulu saja,” kataku. “Iya, kita cari tempat untuk istirahat,” dia menyetujui, mimiknya tergambar lega.
Lima, enam, tujuh dan pada kayuhan ke sebelas setelah angguknya, kami menarik rem tangan. Berhenti pada sebuah pertigaan di jalan persawahan. Pohon Waru besar merimbuni sebuah lincak. Aku dan ia segera melompat, duduk, lalu mengambil botol minum dan menenggaknya.
Langit membiru cerah, awan-awan putih bergumul menggantung tinggi di sisi Utara. Di langit Barat, sebuah gunung menjulang tanpa tirai. Di langit Timur, matahari berjingkrak meninggi.
“Hari ini cerah, coba kalau tadi kita berangkat lebih pagi seperti biasanya,” katanya, mendongak, memandang langit.
Seperti biasanya? Ah, rasanya itu sudah lama sekali sejak terakhir kami bersepeda pagi-pagi. Aku ingat waktu itu, petang, usai Magrib tenggelam, dia datang ke rumah. Memintaku untuk menyiapkan Gisel. Memastikan rem-remnya dalam kondisi baik, ban-bannya terisi angin dengan sempurna. “Esok, kutunjukkan tempat yang belum pernah kamu lihat!” katanya. Aku mengernyitkan kening, ”dimana?” Dia berdiri, bersedekap, “Rahasia!”
Malamnya, aku merasa subuh lama sekali datang. Berkali-kali aku menarik gorden jendela, atau menyorongkan lampu senter pada jam dinding kamar, namun tetap saja, tak ada tanda-tanda bahwa subuh telah tiba.
Berbekal air dalam botol dan sedikit jajanan ringan, kami berangkat. Pagi masih benar-benar buta, hanya beberapa lampu jalan saja yang menerangi. Tapi setelah kami melewati perkampungan, tak ada lagi lampu jalan. Tanah lapang yang bertumbuh ilalang di ujung perkampungan tak membuat ia menghentikan kayuhannya, aku mengikut saja.
“Kita mau kemana?” tanyaku tak tahan lagi membendung mauku untuk tahu.
“Tenang saja, kamu pasti suka. Tapi, nanti jalannya agak nanjak,” katanya. Fajar meriap-riap, semburat jingga mengintip di ujung Timur sana.
Benar saja, tak lama kemudian jalan menanjak. Aku harus mengayuh pedal-pedalku lebih bertenaga. “Ayo, sedikit lagiii!!” katanya menyemangati.
Setelah nafasku hampir terputus kelelahan, akhirnya dia mengomando untuk berhenti. Kami berbelok ke kiri. Ada tanah lapang bertumbuh ilalang di sini. Mirip seperti yang di ujung perkampungan. Bedanya, tempat ini berada di ketingian. Sebuah bukit.
“Cepat kesini!” pintanya yang sudah berlari lebih dulu. Aku menyeret kakiku yang sudah kepayahan. “Cepat atau capekmu akan sia-sia!” katanya lagi, aku berlari kecil.
“Lihat!” telunjuknya menunjuk ke Timur. Aku terkesiap, bibirku tercekat, lelahku luntur sedemikian cepat. Glek, glek, glek aku menelan ludah yang sudah sama sekali mengering.
Jika ada pagi yang indah, maka pagi itu adalah pagi terindah yang pernah kusaksikan. Jingga menyemburat sempurna di ufuk timur, tak seberapa lama, sebuah lingkaran berwarna merah terang mengintip perlahan-lahan. Sepertiga lingkaran, warnanya menjingga, setengah lingkaran, warnanya bercampur kuning kemerahan, dan setelah lingkaran itu menyembul sempurna, warnanya berubah kuning keemasan.
Aku laiknya menyaksikan sebuah pertunjukan alam yang begitu megah. Rasa-rasanya, ingin sekali menyimpan setiap detik yang tersaksikan, lalu ketika detik terakhir habis, aku akan memutarnya berulang-ulang.
Langit menerang, sedang aku masih tak punya cukup kata untuk menggambarkannya. “Bagaimana?” tanyanya. Aku menatapnya, takjub.
*
“Kamu masih sering ke sana?” tanyanya tiba-tiba, aku salah tingkah. Bagaimana dia tahu aku tengah memikirkan apa?
“Kemana?” tanyaku berpura-pura. Tatapannya ia buang jauh dimana gunung itu menjulang.
“Bukit ilalang. Sunrise,” nadanya tenang, aku gelagapan dalam diam.
“Kenapa kamu tiba-tiba menghilang setelah itu?” aku tak menjawab pertanyaannya, tapi malah melemparkan pertanyaan bodoh. Dia menunduk dalam, seakan kata-kata dalam kerongkongannya begitu sulit terkatakan.
Sehelai daun Waru yang telah menguning jatuh perlahan tertiup angin, pelan, lalu mendarat dengan sempurna di sampingnya. Entah apa yang tengah menggelombang di pikirannya, dia memungut daun itu, memerhatikan tiap guratnya, lalu memutar pandangannya padaku. Aku benar-benar tak mampu membaca yang tertulis di sana, di sorot matanya.
Sorot yang nyaris sama dengan beberapa waktu silam, setelah sedetik aku menyodorkan earphone dengan sebuah lagu yang mengalun dengan pelan.
nobody else