Seseorang pernah menuliskan jika rindu adalah pedih yang indah. Seorang lainnya pernah berujar jika rindu ibarat dadu, sekali dilempar berputar-putar tak karuan.
Enam purnama berlalu sejak pertama aku bertemu denganmu. Hanya dengan sebuah senyum kau mampu membuatku memberi centang di jarak lima centi dari keningmu. Menandai, bahwa kau adalah berbeda. Lalu aku suka.
Tahukah kau, aku acapkali mengendap-endap di belakangmu. Mencari tahu siapa namamu, dimana kau tinggal atau sekedar ingin tahu kapan kau akan kembali melewati sudut ini. Mungkin seharusnya aku langsung bertanya saja padamu, kukira kau tak pernah keberatan untuk itu. Tapi aku terlalu malu.
Rasaku terlalu lancang untuk seseorang yang tak kukenali. Aku menulis ratusan sajak, lalu kusembunyikan dalam buku rahasia. Aku bersiap diri menunggumu lewat lalu menatap punggungmu pergi. Tanpa pernah kau sadari.
Suatu pagi, kau tak kunjung melewati sudut ini. Gelisahku merebak. Esoknya pun begitu lagi. Hingga esoknya sampai esoknya lagi. Gelisahku meledak. Aku tak tahu pasti apa yang tengah terjadi hingga seekor camar datang memberi kabar. “Dia tengah tak baik,” begitu bisiknya sembari melesat pergi.
Saat itu juga, kaki terasa lemas. Tak mampu menopang berat tubuhku sendiri. Perut mulas. Darah terasa panas. Dia tengah tak baik, tapi aku tak mampu melakukan sesuatu apapun. Dadaku sesak, dipenuhi puingan kekhawatiran yang meledak-ledak.
Lalu, kutemui Tuhan. Aku yakin jika hanya Tuhan yang mampu memberi solusi. Tuhan bilang, itu salahnya sendiri. Yang selalu tak manusiawi memperlakukan tubuhnya sendiri. Aku menunduk, jika Tuhan pun tak mau membuatnya kembali baik, lalu bagaimana lagi?
Sedetik sebelum kuputuskan untuk beranjak pergi, Tuhan berkata lagi,”Dia akan kembali baik, tapi dia tak akan lagi bisa kau temui.” Aku tersenyum. Getir. Tapi aku mengangguk, lalu tertatih pergi.
Esok paginya aku kembali ke sudut ini, seperti kemarin dan kemarinnya lagi. Aku tahu Tuhan tak pernah bohong, tapi siapa tahu kali ini Tuhan memberiku kejutan? Dan nyatanya itu tak terjadi. Meski esoknya, atau ratusan esoknya lagi.
Dan di sudut ini aku berdiri. Merasai bahwa rindu tak sekedar pedih yang indah atau mirip dadu semata. Tapi rindu adalah pembunuh ulung. Dan kini, di sini aku tengah sekarat, menunggu mati.