Namun yang ku tahu...
Kasih beliau yang begitu besar menuntunku untuk begitu mencintainya. Mencintainya dengan cara yang aku yakini. Orang lain mungkin melihatku menghiraukannya. Namun satu yang selalu aku pegang teguh bahwa beliau hanya perlu dihormati, dicintai dengan rasa yang tulus. Bukan lagi hanya pandai merangkai angka dalam kertas putih demi membuat beliau bangga tapi lebih kepada sikap kita dalam memandang beliau. Memandang beliau sebagai pahlawan kita.
Aku menganggap beliau bukan sebagai pahlawan yang memberiku kesempatan untuk mengerti akan angka yang ada di dalam whiteboard besar itu. Aku menganggap beliau lebih dari itu. Aku menganggap beliau sebagai jalan bagiku untuk mendapatkan sesuatu yang besar. Sesuatu yang aku yakini akan berharga kelak. Aku menganggap beliau sebagai induk tanaman yang tak akan pernah menggunakan lengannya untuk membuat sang bulir bibit tumbuh dengan cepatnya melainkan beliau akan melihat sang bibit tumbuh dengan sendirinya dan dengan setianya terus menanti tiba di mana bibit itu akan menjadi sosok yang bermakna.
Tiba-tiba saja deru pesawat datang lagi. Aku mengira bahwa tempatku ini kini menjadi lintasan terbang para pilot pemegang setir penuh rasa harap. Rasa harap seperti aku menunggu saat ini tiba. Saat di mana dering itu telah berbunyi. Yah, akhirnya waktu yang ku tunggu tiba. Sebuah waktu yang membuatku luang dalam menulis tanpa tinta. Istirahat sekolah yang menyenangkan. Terimakasih petugas piket telah menderingkan istirahat untukku.