Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Ia Bersayap dan Terbang

20 Juli 2013   15:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:17 157 0
8 anak kecil berlarian di petak tegal bukan sawah. Sisa hujan semalam jadikan tanah berair lembab berceceran, becek tanah bertebar diantara silang kaki kaki mereka. Sebuah bola mereka perebutkan saling giring dan jegal, pada masing masing sisi, dua tangkai kering yang mereka bilang gawang, bola hendak di arahkan. Tiga orang bertugas menyerang, satu lagi bertugas menjaga benteng pertahanan. Sorai ramai mereka menimbun dingin sore yang menyenangkan.

Disamping kanan dekat rimbun alang, baju mereka berserakan. Bertelanjang dada terkekeh bergulingan ketika riang bola diperebutkan. Tak ada dendam, marahpun hilang. Mereka asyik mengolok satu sama lain saat terjengkang, terbahak dan berteriak lantang ketika bola ditedang dan tajam menembus gawang. Gooooollllllll.....!!!!!! . 4 anak disisi kanan bersorai menang. Si gundul kecil hitam, Sang Pahlawan di timpa teman-temannya karena girang.

4 anak sisi kiri saling menuding menyesali keadaan lalu ganti menyepakati strategi baru untuk membendung serangan lawan.

Dari tempat gundukan tinggi dekat rel kereta api, 2 bersahabat duduk bersisian. Seorang bercerita pada lainnya tentang masa kecil yang ia habiskan di bawah sana. Saat ini masih setengah lima. Dua jam lalu sebelum tiba disini, mereka habiskan waktu menelusuri bukit,sungai, desa dan pematang.

Jalan teronggok tanah sempit memanjang serupa ular yang rebah kelelahan di sisa musim penghujan. Ditepian sawah kerumun siput berjejal diantara merah muda telur mereka. Seorang diantaranya bercerita, pada masa kanak dulu ia sering “memanen”nya. Siput di pungut hingga banyak berjumlah, lalu di tabur pada bara batok kering yang di buat nyala. Selang beberapa saat dengan lidi dan seadanya siput itu dicungkit dari cangkangnya lalu dikunyah. Seorang sahabat lainnya memperhatikan dengan wajah bertanya. Enak kah.? Sambil tersenyum ia menjawabnya, sangat sedap. Wajah sahabat lainnya setengah tak percaya sambil berat menelan ludah.

Di genang sawah, ikan gabus menyembul antara batang-batang padi muda. Pada saat sawah tergenang air seperti ini mereka berlimpah. Anak anak sering memancing hanya dengan berbekal kail saja. Tak jarang dengan tangan mereka menangkapinya. Lagi, hanya bermodal korek api serta garam cabai sebuah sajian istimewa tercipta selepas bermain bola.

Pada musim panen ketela, para pekebun terkadang tak bersih mencabut semua umbinya. Berpuluh gembol ubi berserak di dalam tanah tersisa, kuncup daun muda yang menyembul disela bongkah tanah adalah pertanda kehidupan dibawahnya. Satu diantara dua bersahabat itu melanjutkan kisah. Anak anak kecil menggali tanah cukup dengan bilah kayu saja. Sedikit usaha dan sekepal ubi merah mereka dapatkan. Sesekali dalam kehausan, ubi mentah itupun mereka gosok dengan telapak tangan. Sedikit tanah tak mengapa, dan dengan sekali gigit ubi mentah gembira mereka kunyah.

Saat mereka melintasi tepian sungai, seekor biawak nampak tenang berdiam diatas bongkahan. Satu tangan dua bersahabat itu menggamit tangan sahabat lainnya. Bukan kengerian, lebih tepatnya rasa risih melihat hewan melata itu nampak tenang dekat laju air yang kecoklatan. Burung burung sore berkerumun pulang. Anak anaknya bercuitan menerima muntah induk yang dapatkan makan di muka persawahan. Penggerek nyaring terbatuk batuk di dahan jambu, bingung menetukan ini musim kemarau atau penghujan.

Dua bersahabat itu masih berjalan. Tebing disekitar sungai, berjejar kuntum Jepetan Kuku. Warnanya yang kuning menantang sepadan dengan segar daunan berbekas hujan. Bunga Rumpai mulai berlimpah bakal bijinya. Satu diantara mereka memetik, lalu menaruh dlm mulutnya. Tak seberapa lama biji coklat itupun pecah dlm kulumnya. Mereka berdua tertawa. Petasan Lidah ia menamakannya.

Di tengah hampar sawah, satu diantara 2 sahabat itu lagi bercerita. Betapa dulu ia dan temannya suka menaruh perangkap getah untuk menjebak burung-burung pemakan hama. 3 hingga 5 burung ia dapatkan, beberapa diantaranya hidup atau sisanya mati karena ketakutan. Yang hidup ia pelihara, tak lama kadang mereka pun tak bernafas dan menyusul nyawa teman teman sebelumnya. Pelajarannya, tak perlu memaksakan apa yg sebenarnya telah dibuat seimbang oleh alam. Mereka saling tersenyum, sependapat dengan anggapan demikian.

Satu diantaranya dua bersahabat itu menunjuk kokoh gagah sebuah pokok pohon kapuk tua,10 langkah dari mereka berada. Tinggi besar seakan di sore ini ia meraja. Buah buahnya bergantungan banyak karena telah saatnya. Dahan dan rantingnya menjulur keatas dan kiri kanan dengan jauhnya. Serupa raksasa ia berdiri dengan gagahnya. Lantas satu diantara dua sahabat itu bertanya, kenapa ?

Ia bercerita, lantai hampar tanah pokok kapuk itu adalah  makam tua. Semasa kecil bersama teman ia suka mencari jangkrik disana. Malam ketika purnama atau tak ada, adalah sama saja. Jangkrik kuburan adalah pendekar tak kenal lelah. Meski kecil ia pemberani dan pantang menyerah. Satu sahabat risau mendekat, dan ia terus bercerita.

Bahwa pada suatu ketika ia pernah di hantu di pekuburan itu. Pada sebuah malam yang gelap Jangkrik tak didapat justru malah diganggu. Lantas ketika siang, bersama kawan ia menaruh dendam dan kencing diatas makam lama yang berserak batu itu.

Angin dingin berdendang, lantas dengan berlari seorang diantaranya tertawa meninggalkan satu lainnya. Mereka berkejaran, didapat, lalu berlari sambil bergandengan, dan pokok kapuk tua masih saja diam dengan berwibawa. Pekuburan khidmat mendengarkan bicara-bicara mereka.

Lagi, dan disini, kembali di gundukan tanah tepi rel kereta api mereka duduk bersebelah. 8 anak bermain bola belum usai disana, mereka masih berlomba. Sempat ia ajak satu sahabatnya mencoba kereta pelepah. Pelepah pinang yang telah jatuh dari tangkainya,di duduki sisi lebarnya, lalu bersorak ramai meluncur deras menebah rumputan, dan sahabat itu tertawa kegirangan sesampai dibawah. Ia lagi mendaki dan mencoba beberapa kali. 8 anak kecil di sana bertepuk tangan memberi semangat dengan gembira.

Mendung bergeser memberi ruang kepada langit merah, agar orang-orang membaca pertanda bahwa  sore telah menua. Anak-anak berlarian pulang menuju rumah dan ibunya. Serangga malam mulai berbenah dengan mahkota yang berbeda. Riuh di hamparan penuh lagu koor biasanya. Saling berkeras suara mengundang malam untuk bergegas tiba.

Dua bersahabat saling memandang. Rasa berat di coba tutupi dengan senyum kerelaan. Jauh, lantun Adzan berkumandang mengagumkan.

Satu diantaranya berkata : ini saat ku pulang. Satu lagi menjawab dengan anggukan.

Pada saat merah di langit tinggal sebaris, satu sahabat bertumbuh sayap dipunggungnya. Rambutnya yang panjang dan berkibar membuatnya indah saat meng-angkasa. Seorang yang ditinggalkan melepasnya tanpa bicara. Pada kejap terakhir, saat sahabat bersayap itu meninggalkannya, sepetik api pada rokok ia buat bara. Asap dalam di hisapnya, lalu dihembuskan pada langit barat yang tak lagi merah.

Kepak sayap lenyap dikejauhan menuju bintang, dan malam berkuasa pada ia yang sendirian.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun