Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Kearifan Lokal Tanah Bima yang “Tercemar”

24 April 2014   21:24 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:14 199 1


Fenomena prilaku sosial kemasyarakatan di kampung halaman kita “tanah Bima dan sekitarnya” mengalami sebuah perubahan yang signifikan. Modernisme, liberalisme dan westernisme tumbuh dan berkembang, lambat-laun akan melahirkan sebuah pola baru prilaku masyarakat hedonis-anarkis yang berujung pada menghalalkan segala cara dalam menggapai sesuatu tujuannya. Apa yang kita saksikan akhir-akhir ini, seperti halnya euphoria dalam berekspresi, baik itu berprilaku dan menyampaikan pendapat tanpa memberikan solusi yang jelas, politik uang dan barang dalam hal mendapatkan pekerjaan (PNS, calon legislatif dan pekerjaan lainnya), serta budaya rentenir yang berkembang di masyarakat merupakan sebuah “pemandangan segar” di alam sadar kita.

Sekelumit fenomena sosial kemasyarakatan tersebut adalah sebuah prototype permasalahan daerah kita, yang mana hari ini menjadi sebuah “jalan baru” yang diambil oleh masyarakat dalam menaikkan grade posisi tawar di tengah-tengah kampung dan desa. Sayup-sayup suara anak-anak mengaji nyaris tidak terdengar, tergantikan kesenian daerah (rawa mbojo, semacamnya) yang dibingkai dengan alat musik modern. Masjid, musholla dan surau-surau berdiri megah nan cantik akan tetapi mengalami paceklik dalam hal jamaah. Yang memakmurkan masjid, mushola dan surau hanya orang-orang yang berusia lanjut sebagai bentuk pengabdiaanya dalam menjaga tradisi suci bahwa ditanah kita “mbojo” masih ada aroma spritualitas keislaman. Generasi kita mengalami “kekeringan spiritual” yang akhirnya materilah (harta, tahta dan wanita) yang diberhalakan, dipertuanagungkan dan menjadi sumber dari segala sumber kemakmuran serta keberhasilan.

Tidaklah heran, ada fenomena yang sangat aneh dalam hal memposisikan orang/generasi di tengah masyarakat tanah Bima hari ini. Derajat dan prestasi diukur dengan jabatan, gelar apa yang disandang, kantor mana tempatnya bekerja, alat transportasi apa yang dia pakai, dan berapa jumlah harta serta wanita yang dia “simpan”. Kearifan-kearifan lokal seperti saling menghargai dan menghormati (ka dese ro kan tasa angi) tidak nampak lagi, tokoh agama dan masyarakat sibuk dengan urusan politik, partai dan golongan masing-masing, benteng pertahanan moral dan spiritual berupa lembaga pendidikan, sekolah, madrasah, pesantren, perguruan tinggi tidak dapat lagi berperan sebagai filter dan netralisasi budaya dan peradaban “racun” yang bersumber dari Modernisme, liberalisme dan westernisme. Infiltrasi budaya yang “berbau racun” tidak dapat dibendung oleh yang namanya lembaga pemerintah, padahal mereka punya “kuasa dan kekuasaan” untuk itu. pemerintah kita hanya dapat menggaungkan semboyon” Bima Akbar, Jum`at Khusuk, Bima Bersinar, Bima Maja Labo Dahu”, akan tetapi sedikit sekali terimplementasi dalam aras realitas kehidupan Dana Mbojo.

Kita harus bangkit dari ketercemaran budaya seperti ini, agamawan, generasi muda, mahasiswa, akademisi, birokrat, tekhnokrat, penggiat demokrasi, petani, nelayan dan elemen masyarakat lainnya berupaya memberikan yang terbaik buat tanah dan air Bima pada hari ini. Pemerintah daerah dan ulama, tokoh agama dan masyarakat sebagai panglima terdepan dalam meniupkan “terompet perlawanan” terhadap infiltrasi, agitasi “budaya racun”, sembari menyusun kekuatan bersama dalam memberikan stilmulus antibody, perlindungan terhadap rakyat tanah Bima yang dipimpinnya hari ini. Membiarkan rakyat di tanah Bima hidup terjangkiti “virus” modernisasi, liberalisasi dan westernisasi sama halnya memberikan jalan terhadap kerusakan sistemik budaya dan peradaban tanah Bima.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun