Untuk pertama kalinya saya ingin mengatakan bahwa menjadi mahasiswa psikologi memang serba dilematis. Saat penemuan atom yang mulanya untuk kebutuhan hidup kemudian menjadi aksi pembumi-hangusan manusia, maka nyatalah gunanya elemen ketiga filsafat dalam sains. Aksiologi; etika dan estetika. Merambah ke keilmuan humaniora, hal serupa melanda keilmuan psikologi, yang notabene mempelajari pikiran dan perilaku manusia, mengetahui alasan dibalik perilaku tertentu, termasuk mengenali bentuk-bentuk patologi dari perilaku manusia.
Begitu bersentuhan dengan dunia ini, para mahasiswa muda inipun merasakan limpahan ilmu dan kosakata baru, yang belum pernah didengar sebelumnya. Mengerti berbagai fenomena unik tentang manusia yang mengaliri tenggorokan, memuaskan dahaga. Sedikit yang dipelajari, membuatnya seolah tau segalanya. Mereka jumpai seorang teman yang berbeda, berjalan dan duduk seorang diri, tak tersenyum, tak tersapa pun menyapa. Seorang teman yang memiliki dunianya sendiri dan sedikit orang yang tau, alih-alih peduli. Mereka tertawa, terkikik bersama dengan sekelompok teman yang lain. Melewati, menjauhi, tak mau mendekati seolah dekat dengannya adalah virus. Seolah teman itu adalah wabah, yang bisa menurunkan kadar popularitas siapapun didepan khalayak.
Seorang teman yang lain yang tak begitu suka bergaul, nampak individualistis. Sama, sedikit yang sama-sama tau tentang kehidupan seorang teman itu. Kehadirannya tak begitu penting baik bagi orang lain maupun dirinya sendiri. Suatu hari, dalam sebuah diskusi membahas tentang tema abnormalitas, penyaji makalah membicarakan teman yang satu ini. Dengan terus-terang dan lantang ia menyebutkan teman ini salah satu contoh orang yang mengidap salah satu dari gangguan kepribadian. Suasana kelas hening, beberapa mahasiswa saling kasak-kusuk, sibuk membenarkan maupun mencari pembenaran.
Kemudian seorang teman mencoba berfikir bebas dan lepas, mengutarakan pemikirannya tentang hal-hal yang cukup menggoyahkan apa yang telah tertata dalam dunia kajian kami. Mencoba merasionalkan, mempertanyakan, dan menyangsikan kemantapan teori-teori yang begitu diagungkan, mencoba mengungkap opini yang sebenarnya fakta dan fakta yang selama ini dianggap opini. Sedikit teman yang lain, mencoba mempertanyakan posisi spiritualitas dan religiusitas dalam skala kebutuhan manusia, sebuah teori yang tereduksi dalam seiring berjalannya waktu.
Bagi sebagian besar dari kami, merubah tatanan dan mencoba berfikir kritis adalah hal yang mengerikan. Dalam dunia baru kami yang sebagaimana tersebut diatas, perbedaan sekecil apapun adalah hal yang teramat nyata. Tanpa mengetahui latar belakang, usia historis, dan apapun yang terjadi selama masa rentang perkembangan kehidupannya, kami menjadi rentan untung saling menghakimi, memberi label negatif, melempar stigma, ataupun berprasangka satu sama lain. Bullying, perasaan benci, alienasi, atas dasar hal-hal diatas maupun yang lainnya, banyak terjadi. Kami,siapapun itu menjadi sibuk untuk saling menyakiti dan membenci satu sama lain, entah atas dasar apapun.
Semua peristiwa diatas, hanyalah peristiwa kecil, senyatanya dan sewajarnya kejadian sehari-hari. Tapi sebagaimana halnya sebuah muara sungai pada mulanya berasal dari berbagai cabang, yang tidak bisa dipastikan cabang sebelah mana yang kemudian mengirimkan air keruhnya hingga sampai ke muara. Sesampainya disana, tak bisa dikenali lagi aliran air keruh tadi. Namun, suatu hari seorang anak manusia mengambil dan meminum air dari muara sungai tersebut dan berujung sakit dikemudian hari. Siapakah yang selanjutnya bisa mengenali kesalahan yang dibawa bahkan setelah jatuh korban? . Benarlah, mencegah selalu lebih baik dari mengobati. Tapi untuk melakukan pencegahan, bukankah selalu membutuhkan korban? Sehingga tau, pencegahan itu diperlukan untuk apa.
Peristiwa-peristiwa kecil tersebut mencoba menunjukkan kepada setiap yang membuka mata, bahwa benih-benih apa yang disebut diskriminasi atau sebangsanya bisa muncul dari mana saja, dengan latar belakang peristiwa apapun, dan dalam segala bentuk. Pun, untuk memunculkan sikap menerima perbedaan, toleransi, saling menghormati dan menghargai, bahkan melindungi siapapun yang seharusnya mendapatkan perlindungan. Dan meskipun sudah teramat membosankan, karena sering keluar dari mulut banyak orang, melakukan pencegahan yang bermula dari pemahaman mendasar akan segala sesuatu merupakan sebuah keharusan.
Terkait dengan hal tersebut, yang perlu digarisbawahi adalah keragaman kepribadian dan temperamen. Kepribadian yang oleh Santrock diartikan sebagai pemikiran, emosi, dan perilaku tertentu yang menjadi ciri dari seseorang dalam mengahadapi dunianya, serta temperamen sebagai sebuah gaya perilaku seseorang dan ciri khasnya dalam memberikan respon merupakan aspek penting dalam memahami individual differences. Saya pribadi menyangsikan akan ada banyak orang bersedia dengan sepenuh hati untuk meluangkan cukup banyak waktunya untuk memahami keragaman ini. Namun, yang tidak bisa saya sangsikan, bahwa perbedaan apapun yang dilandasi akan pemahaman ini, akan lain hasilnya. Setidaknya seperti yang bisa dilakukan oleh satu orang untuk memahami kepribadian, karakter, dan temperamen 2-3 orang disekitarnya, yang akan menghasilkan rentetan panjang ikatan rantai yang berkesinambungan, saling mengikat, beranak-pinak, tak terputuskan.
Selalu butuh proses, selalu butuh waktu dan selalu butuh orang lain. Harus ada keringat yang bercucuran, harus ada pengorbanan, serta rasa sakit. Tapi apa yang lebih penting bagi seseorang dibandingkan nilai kemanusiaannya? Sekalipun ia tak mampu mengartikan melalui kalimat yang terstruktur dan sistematis sedemikian rupa, nilai kemanusiaan merupakan prinsip. Yang bisa digenggam dan dilaksanakan oleh siapapun dalam kemasan apapun, selama tidak dijadikan dalih. Begitulah yang kemudian saya yakini bahwa segala kerentanan terkait dengan stigma dan prejudice tak pernah lepas dari pembahasan tentang topik kepribadian. Erik H. Erikson, seorang pakar perkembangan manusia pernah mengingatkan dalam Vaillant (2003), “The healthy personality is a topic approaching which the expert becomes a fearful angel”. Tak peduli seberapa kayanya pengetahuan seseorang, betapa cakapnya seorang praktisi, psikolog, maupun terapis, sedikit saja ia mengabaikan nilai kemanusiaan, cacatlah keilmuannya.