KUHP di negara lain tidak diatur khusus terkait penghinaan terhadap Kepala negara (raja atau presiden), namun di Indonesia tetap diberlakukan karena pada Pasal 1 aturan Peralihan UUD NKRI menyatakan bahwa : "segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini". Kemudian KUHP Indonesia berasal dari Het Wetboek Van Strafrecht voor Nederlandsch Indie yang mengadopsi khusus penghinaan kepada Raja, yang kemudian di Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 menjadi penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden. Pada awal masa kemerdekaan, martabat presiden memang sangat diagungkan karena mereka adalah proklamator. Kemudian pada masa zaman Orde Lama, Presiden Soekarno mengangkat diri sendiri menjadi "Pemimpin Besar Revolusi", martabat presiden sangat dijaga dan penghinaan terhadap presiden diterapkan secara sangat ketat. Di negara Jepang, pada Pasal 232 KUHP Jepang, dalam delik penghinaan dalam KUHP dijadikan penghinaan kepada kaisar, pewaris tahta, permaisuri, menjadikan delik penghinaan sebagai delik biasa dan menjadi delik aduan. Namun, yang berhak mengadu bukanlah sang Kaisar, akan tetapi Perdana Menteri atas nama Kaisar.
KEMBALI KE ARTIKEL