Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Kenaikan Harga BBM, Berat tapi Harus

19 Juni 2013   14:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:45 346 1
KEPUTUSAN Pemerintah menaikkan harga BBM bagai buah simalakama. Dinaikkan, rakyat makin sulit. Tidak dinaikkan, negara dan masa depan bangsa ini yang akan menemui kesulitan.

Memang, selagi negara masih mampu menyediakan subsidi, rakyat sebagai pemilik negeri ini memang berhak menggunakannya. Apalagi masih ada upaya yang bisa dimaksimalkan untuk menghindarkan dari keharusan menaikkan harga BBM. Misalnya, mengefisienkan penggunaan anggaran dari kebutuhan yang kurang prioritas, mencegah korupsi, kebocoran anggaran, penyelewengan pajak, mengoptimalkan pengelolaan BUMN, renegosiasi kontrak pertambangan yang menguntungkan investor asing hingga menggali dam mengembangkan potensi kekayaan yang terkandung di bumi khatulistiwa.

Tapi faktanya itu semua bukan pekerjaan mudah. Semua yang disebut di atas adalah masalah klasik yang menjadi PR dan belum bisa tertuntaskan kendati negeri ini sudah berkali-kali berganti pemimpin. Celakanya, kondisi keuangan negara tidak mungkin menunggu semua persoalan tersebut bisa dipecahkan. Ibarat kantong lagi tipis, tidak mungkin kita gunakan uang seenaknya, tanpa berhitung kalau habis mau makan apa. Tidak bijaksana jika di saat cadangan minyak kita makin menipis, kita biarkan BBM dijual dengan harga subsidi yang merangsang kita menggunakannya secara boros hingga habis tak tersisa untuk anak cucu.

Indonesia memang bukan negara kaya akan minyak. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) per 1 Januari 2012, cadangan terbukti (proven reserve) mencapai 3,741 miliar barel atau 0,3% dari cadangan dunia, sedangkan cadangan potensial (potential reserve) sebesar 3,666 miliar barel.

Selama 2011, Indonesia memproduksi minyak sebesar 329 juta barel. Dari produksi tersebut, sebanyak 132 juta barel diekspor ke luar negeri. Tetapi, Indonesia juga mengimpor berupa minyak mentah sebanyak 99 juta barrel dan kebutuhan BBM 182 juta barel. Sementara itu, konsumsi BBM mencapai 479 juta barel. Ini menyebabkan negara defisit minyak hingga 150 juta barel per tahun.

Artinya, dengan tingkat konsumsi BBM nasional rata-rata mencapai 40 juta kilo liter per tahun, cadangan minyak Indonesia akan habis dalam kurun waktu 10-12 tahun lagi. Kurangnya kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi, menyebabkan Indonesia akan menjadi negara net importir pada tahun 2024.

Ketua Umum Ikatan Ahli Geologi, Rovicky Dwi Putrohari mengatakan, dengan kebutuhan akan minyak bumi yang terus meningkat dan cadangan minyak yang menurun, membuat defisit produksi minyak bumi semakin Telebih dalam regulasi pemerintah yang saat ini pun, tidak mendukung kegiatan pencarian cadangan minyak baru, malahan yang ada hanya regulasi mengenai produksi minyak yang terus digenjot.

"Permasalahannya yang saya lihat itu karena lebih banyak memikirkan produksi tapi kurang mengeksplorasi, penurunan produksi karena tidak ada lapangan baru, dan kita lihat sendiri regulasi yang ada saat ini hanya produksi," katanya.

Para pakar perminyakan yang memercayai teori King M Hubbert memperkirakan produksi minyak Indonesia 2025 tinggal 450.000 bph, sedangkan konsumsi minyak akan mencapai 1,5 juta bph-2 juta bph sehingga Indonesia harus belanja minyak 1 juta bph-1,5 juta bph dengan harga kesetimbangan baru sangat mahal (prediksi Brian Hicks bisa mencapai 300 dollar AS/barrel).

Gap berkepanjangan antara kesiapan energi alternatif dan kelangkaan minyak dibarengi tingginya harga minyak dunia akan menjadi pemicu krisis energi kronis pada masa depan.

Bagaimana dengan pengembangan energi baru ? Energi baru dan terbarukan sulit berkembang, karena penguasa masih memanfaatkan minyak sebagai komoditas politik dan perangkat politik populis. Sehingga sulit menurunkan secara nyata pangsa minyak dalam bauran energi nasional.

Sampai saat ini Indonesia belum tercatat dalam pemanfaatan secara signifikan renewable energi (energi terbarukan) seperti pemanfaatan energi surya, angin dan fuel ethanol. Padahal ketergantungan terhadap pada sumber energi minyak bumi, gas dan batubara ketersediaannya semakin terbatas.

"Bila dihitung dari rata-rata produksi saat ini maka diperkirakan minyak bumi hanya mampu bertahan sekitar 24 tahun, gas hanya cukup bertahan sampai 59 tahun. Sementara batu bara berkisar 93 tahun," ungkap Ir Sukusen Soemarinda, Ketua Umum Keluarga Alumni Teknik Universitas Gadjah Mada (KATGAMA).

Sukusen menyebut penggunaan energi terbarukan yang belum optimum termasuk penggunaan geothermal disebabkan konsumsi energi saat ini masih didominasi oleh energi minyak, gas dan batubara yang merupakan energi fosil yang sangat terbatas. Padahal kemampuan menemukan cadangan minyak yang cukup besar diperlukan waktu paling sedikitnya 15-20 tahun dari mulai eksplorasi sampai produksi komersial hingga selama 50 tahun.

Jadi, terserah pada kita, apakah kita mau habiskan sekarang cadangan minyak yang ada, baru setelah kita tidak punya apa-apa lagi anak cucu kita yang harus mati-matian mengembangkan energi alternatif. Atau meniru negara maju yang tak punya minyak; sambil membeli dan berhemat minyak, mereka berusaha keras hingga akhirnya menjadi pioner dalam pengembangan energi baru dan kendaraan berbahan bakar listrik, batere, bahkan air (hidro). Semua terpulang kepada kita.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun