Kalkulasinya begini...
Sejak dukungan kepada Jokowi untuk menjadi capres menguat, dan kemudian Jokowi berhasil naik tahta di kursi kepresidenan, banyak kalangan internal di tubuh PDIP, mungkin juga Jokowi sendiri yang berpikir, sekaranglah saatnya mereka menguasai partai berlambang moncong putih. Kapan lagi
ada kesempatan merebut partai dari genggaman Megawati dan keluarganya. Ini penting untuk mengamankan peluang maju lagi pada pemilu 2019 tanpa harus direcoki sang Ibu.
Tentu saja Mega, yang sesungguhnya tak ikhlas benar memberikan capres kepada Jokowi pada pilpres lalu karena berharap bisa maju sendiri atau setidaknya mempromosikan Puan, sudah membaca kemungkinan itu.
Harap diingat, April 2015 mendatang PDIP akan menggelar kongres di Bali. Waktu yang sangat pendek bagi Mega maupun Jokowi untuk menyusun kekuatan guna berebut pengaruh dan menguasai arena Kongres. Maka mumpung masih memiliki power atas Jokowi, Mega berusaha sebanyak mungkin menempatkan orang-orangnya di posisi strategis. Salah satunya adalah menempatkan Budi Gunawan yang pernah menjadi ajudannya semasa menjabat presiden sebagai Kapolri.
Sanggupkan Jokowi berkata tidak kepada sang Ibu Ketua? Tentu saja tidak. Posisinya sebagai presiden saat ini masih cukup lemah, dan ia masih butuh dukungan politisi PDIP di Senayan yang masih berada di bawah komando Mega.
Rasanya mustahil pengajuan nama Budi Gunawan adalah inisiatif pribadi Jokowi. Memangnya Jokowi sudah gila mengajukan nama orang yang sudah jelas-jelas disorot publik dan mendapat raport merah dari KPK pada saat menyusun kabinet lalu sebagai calon Kapolri. Ini sama saja bunuh diri. Sebab ia akan berhadapan tidak saja dengan KMP, tetapi juga para pendukungnya sendiri.
Tapi lantaran Mega, dan tampaknya juga Surya Paloh, berburu dengan waktu untuk menyambut Kongres yang tinggal tiga bulan lagi, Jokowi sengaja melepas begitu saja Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri, dan sengaja tidak minta rekomendasi KPK. Tujuannya jelas; calon pilihan Mega itu ditolak mentah-mentah DPR dan mendapat resistensi dari masyarakat luas. Jadi, Budi jatuh bukan oleh tangannya sendiri, atau istilah jawanya, nabok nyilih tangan (memukul dengan meminjam tangan orang lain).
Rupanya politisi KMP di Senayan sudah membaca gelagat ini. Merek tidak bodoh, mau begitu saja dijadikan alat untuk kepentingan internal PDIP. Maka siasat pun disusun. Di luar dugaan, pada saat fit and proper test dan berlanjut di rapat paripurna, bukannya menolak, mereka justru kompak mendukung calon yang diusulkan Presiden. Maka bola panas pun kembali berada di tangan Jokowi. Ia ibarat menghadapi buah simalakama. Budi Gunawan dilantik salah, tak dilantik, wong dia sendiri yang mengusulkan dan meminta DPR secepatnya menyetujui.