Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Menjelajahi Romantisme Medieval Britain (III)

16 Februari 2012   05:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:35 391 0

Sejenak aku pun mencoba merasakan nikmatnya duduk di bawah pilar-pilar besar. Banyak kutemui orang duduk di lantainya yang berjenjang-jenjang, di pilar bangunan Bodleian Library—salah satu perpustakaan tertua di belahan Eropa—di mana banyak karya ilmiah dari ilmuan termasyhur yang menggemparkan dunia ilmu pengetahuan terabadikan dengan rapi di sini, seperti manuskrip teori relativitas Einstein. Dan ternyata benar, pelataran ini sangat cocok dan paling digemari oleh pelajar ataupun pejalan kaki yang lewat untuk berhenti sebentar sambil menikmati keindahan kota dengan pemandangan terbuka dan kemudahan akses untuk berpergian kemanapun. Sambil menikmati penantian senja, kubuka lembaran kecil catatan perjalananku. Kucoba sebisa mungkin merangkai kata untuk melukiskan tekstur dan kemegahan sejarah peradaban medieval di Eropa Barat, di langit-langit Oxford ini. Baris demi baris kata mengalir dengan lancar seakan menumpahkan semua memori di kepalaku tentang perjalanan panjang yang mengantarkanku sampai di Oxford ini.

Sesaat aku terbawa oleh lamunan. Suasana seakan hening, tatapanku terpaku pada pilar-pilar kokoh bangunan pustaka ini. Bagaimana mungkin peradaban masa lalu bisa menciptakan karya agung dan merefleksikannya lewat dinding serta masih bisa digunakan oleh ratusan atau bahkan ribuan tahun setelahnya? Seakan tak percaya, aku kembali memerhatikan dinding dan pilar itu secara seksama dan kembali berkontemplasi. Seakan dinding-dinding bangunannya ikut bersaksi dan bercerita padaku tentang dinamika peradaban masa lampau dan dedikasi orang-orang terdahulu. Bangunan ini adalah karya agung hasil kerja keras yang cerdas dan menggambarkan akan semangat, dedikasi jiwa, serta efisiensi tata ruang sehingga membuat orang teringat selalu dengan sejarahnya. Ya, sejarah ternyata bukan hanya rentetan peristiwa yang berisi tanggal-tanggal penting tentang suatu kejadian hebat yang perlu diperingati, tetapi lebih dari itu, sejarah memberikan kebijaksanaan akan pilihan hidup dan membuat manusia-manusia yang hidup setelah itu belajar banyak dari pengalaman hidup manusia masa lalu. Bukankah manusia yang bijak adalah manusia yang bisa belajar dari pengalaman? Demikian kiranya pemikiran futuristik arsitektur bangunan kampus tua ini.

Satu hal yang kutahu, sifat independent variable dari waktu—yang tidak akan pernah kembali ini—adalah sebulan lalu aku duduk-duduk sambil mereguk secangkir kopi kental khas berselera Padang di pelataran parkir gedung PKM kampus Unand Limau Manis, bercengkrama dengan teman-temanku, juga sambil menikmati senja dan menatapi gedung-gedung megahnya. Dan kini, aku duduk di suatu senja yang lain, melintasi miliyaran getaran cesium-133, di ruang yang berbeda, melintasi dua samudera, di peradaban Britain, di bawah langit Oxford, dan juga tentunya mempunyai dimensi ruang yang sama sekali beda. Kejadian-kejadian masa lalu yang kuanggap biasa-biasa saja ternyata berdampak besar bagi kehidupanku selanjutnya. Rutinitas di ruang kuliah, dari seminar ke seminar, bernegosiasi dari kantor ke kantor, serta petualangan bersama MAPALA UNAND tanpa kusadari secara simultan juga telah ikut merajut masa depan di getaran cesium -133 berikutnya.

Oxford, Mei 2008

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun