Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

[FFK] Getir Senyum Sang Penyamun

18 Maret 2011   13:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:40 172 13
siang terik, menghamburkan hawa panas yang pekat. Yanto menyeka keringat di dahi, matanya mengernyit terkena silaunya matahari. Tiba-tiba terdengar suara tak asing dari perutnya, pertanda belum diisi. Dari tadi malam. Yanto menggerutu pelan, tak ada yang mau memberinya sesuatu, -bahkan meskipun hanya uang 500 perak- karena badannya yang “sehat”, padahal kerjapun belum dia dapat.
Panas, jalan aspal memunculkan fatamorgana. Setelah beberapa saat dia beristirahat, dilanjutkannya perjalanan. Tiba-tiba dia mengumpat, kakinya yang tak beralas menyentuh jalan membuatnya melepuh.
Lengkap sudah penderitaanku, rutuknya lagi.

Sepi. Tak ada lalu lalang motor, tak ada lalu lalang sepeda, bahkan manusia. Yanto memandang sekelilingnya nanar, pikirannya meng-onar. Rumah-rumah tak berpenghuni. Pelan-pelan Yanto mendekati pagar rumah yang setinggi badannya. Dia berjinjit, mengintip sedikit.
Ada apakah disana, pikirnya. Buah rambutan yang ranum tepat berada di pekarangannya. Tanpa pikir panjang ia, mencari cara tuk masuk ke dalam. Mudah. Terlalu mudah untuk menyelinap bagi mantan atlet pencak silat sepertinya. Diambilnya buah rambutan itu, dengan kaki rapuh yang hampir melepuh.

Enak, puas perutnya terganjal setelah seharian menyusuri lika liku jalanan. Tasnya masih berisi surat berharga, sama dengan saat ia meminta restu Ibunya tiga bulan lalu.
"Bagaimana bisa kota ini makin menjadi setelah lama aku di luar negeri?", cerabihnya. Dia bersandar di selasar. Teduh.
Suasana berubah menjadi lebih bersahabat. Sambil mengedarkan pandangan, dia bernostalgia. Dulu rumah majikannya lebih bagus dari ini, namun tidak dengan hati mereka. Yanto meringis, mengingat bagaimana dia dulu pulang tanpa uang. Pulang menanggung malu, mereka tak memberikan haknya.
Ah, andai aku bisa membikin rumah seperti ini untuk ibu, Yanto mulai berandai-andai. Berapakah uang yang dibutuhkan, pikirnya.
seandainya dulu ia mendapat majikan yang tepat, pastilah kisah kesuksesan teman seperjuangannya yang sukses di negeri seberang juga menjadi kisahnya. Tapi apalah artinya itu kini? Terlambat. Setidaknya istrinya yang saat itu sekarat tak lagi kuat menunggu juru selamat mengirimkan ringgit ringgit penuh harap.

Yanto menyeka keringatnya. Pepohonan yang bergoyang tertiup angin siang seakan mengejeknya. Begitu pula burung-burung dengan kicau riangnya di atas pohon rambutan. "Bagaimana mereka bisa hidup tenang sementara mereka tidak tahu apakah mereka bisa makan?", pikirnya.
Yanto melengos. Pandangannya tertuju ke pintu belakang, pintu yang terlihat gampang dimasuki. Entah, tiba-tiba pikiran itu datang begitu saja. Mengendap-endap, dia mencoba membukanya dan, berhasil! Pakaian-pakaian setengah kering tergantung di jemuran, suara tivi terdengar memekakkan. Ternyata pembantu rumah ini sedang asyik nonton tivi, pikir Yanto, membuatnya lebih bersemangat. Cepat-cepat dia menyelinap di balik pintu lainnya, dan bau ayam bumbu rujak menyergap. Perutnya yang terisi sedikit, sekarang mulai memprotes lagi.

“mbak” dari dalam rumah terdengar suara kecil, membuatnya terkejut. Cepat-cepat dia sembunyi ke balik pintu.
“ya non?”
“kata mama aku ntar brangkat les nya sama mama aja. Skarang bantuin siapin baju ya”
“oke non cantik”
Kemudian sepi.

Hufft, Yanto lega.
Dia beranjak masuk. Melihat kanan dan kiri dapur. Bau makanan tak kuasa menahan perutnya mendengkur. “Kriiuuuk", dibukanya lemari makanan itu pelan.

"Sebentar Non, bibi ambilkan minuman di dapur", suara itu seketika membuat Yanto tanpa pikir panjang memasuki kamar di dekat sebelah dapur. Tak terkunci. Lega hatinya kini, walau tak sedikitpun makanan tadi sempat disentuhnya.

"Bi, sekalian ambilkan tasku di kamar ", suara itu lagi. "Pastilah pembantu itu akan kemari"

Dengan langkah seribu Yanto beraksi. Bersembunyi, itulah yang ada di benaknya. Pilihannya tidak banyak. Kamar dengan lemari kecil. Juga ada beberapa asesoris ruangan yang mungil.

"Gleek", pintu dibuka. Yanto hanya bisa mengelus dada ketika dilihatnya sepasang kaki mondar mandir. Kaki kaki yang sedang, untuk ukuran wanita standar. Sama dengan ukuran kaki istrinya yang tak pernah bisa ia lupakan sosoknya.

Lama. Detik jam yang hanya Yanto bisa dengar. Tapi kembali sepasang kaki-kaki kembali. “Apa yang pembantu itu lakukan di kamar?”, celetuknya pelan. Hening. Bahkan langkah kaki pembantu itu tak sedikitpun bisa memecah keheningan, yang membuat Yanto pulas dalam gelapnya lorong tempat tidur.

Cahaya. Melihat cahya dari sela sela persembunyian Yanto terbangun. Tidak ada suara. Ia bergegas keluar. “Rumah sedang sepi”, teriaknya dalam hati. Niat-niat yang kemarin telah terpacu, muncul lagi.
Ruangan yang manis dan rapi. Berperabot sederhana, lemari dan meja. Serta, anak kecil duduk membelakanginya. Yanto terkejut, tak menyangka ada penghuni lain selain dirinya. Tak sengaja dia menyenggol pinggir pembaringan, membuat suara jedugan kecil. Si anak kecil seketika menoleh, menatap tepat di matanya. Sesaat sunyi, tak ada reaksi.
Yanto gemetaran. "Sialan, aku ketahuan", pikirnya. Tangannya mengepal. Di lihatnya arah pintu keluar. Tapi bayang pekerjaan yang dicarinya tak kunjung di dapatkan membuatnya mengalihkan pandangan ke arah kamar besar di sudut ruangan.
"Cepat tunjukkan dimana barang berharga di rumah ini berada?" bentaknya lantang seraya mengepalkan telunjuk ke anak kecil itu.
Bukannya takut, dia justru tersenyum. "Bapak mau tahu tempat berharga di rumah ini?"
"Ya, cepat tunjukkan!"
si kecil berkaki tiga itu melangkah ke arah kamar. Tempat semalaman Yanto bersembunyi di bawah ranjang. Dibukanya lemari, dan terlihatlah sebuah kotak besar di salah satu bagian atasnya.
"Barang berharga di rumah ini ada disitu", ujar si kecil.
Yanto mengambil dan antusias ingin membukanya.

“Apa ini??” teriakan Yanto hampir menggetarkan dinding, amarahnya memuncak.
“itu Ayahku” kata si kecil sembari menunjuk salah satu foto.
“Gagah kan?”tegasnya. Seorang lelaki dia perlihatkan, dengan anak kecil yang digendongnya.Sementara Yanto hanya terpaku. Amarahnya membeku.
Sementara, si kecil mengambil sebuah buku, dengan sampul coklat yang lusuh.
“yang ini tulisan Ayahku. Isinya cerita semua. Dulu, setiap malam Ayah selalu bacakan ini untukku. Sekarang sudah tak bisa lagi. Ayah ....", si kecil tak melanjutkan kata-katanya.
"Siapa nama kamu?", sela Yanto. Seketika raut wajah si kecil yang tadi terlihat agak sedih kembali tertahan.
"Nara", jawabnya singkat.
"Kamu kangen Ayah?", celetuk Yanto pelan. Nara menyambutnya dengan anggukan. Nara, si kecil berkaki tiga. Dengan bekas luka dimana-mana.

Sepi. Yanto tak bisa berkata-kata lagi. Kenangan Nara akan Ayahnya mengingatkannya pada istrinya yang selalu indah di bayangnya. Yanto pun melayang.
Jauh ke dalam kenangan, saat dulu masih berpacaran. Istrinya yang tak terlalu rupawan, tapi sangat perhatian dan termasuk sosok yang bisa dikatakan idaman.

Tak sadar. Air mata Yanto berguguran. Bak pohon sakura dengan indahnya tertiup angin dan berjatuhan. Suatu kejadian yang terakhir kali ia lakukan ketika istrinya meningal dalam pelukan.
"Om kenapa?", tanya Nara dengan nada pelan. Yanto mengusap matanya. Ia tak bisa mengolah kata.

"Ayahku dulu senang sekali tersenyum", ujarnya bangga, "selalu tersenyumlah kalian, karena senyum kalian itu indah dan membuatku bahagia",begitu katanya.
Jadi tiap kali aku dan Ibu sedih, aku selalu membuka kotak ini. Senyum Ayah selalu menenangkan", tambahnya.

Sejenak Yanto terbuai akan kata-kata si kecil, Nara. Ia kembali terbawa ke dalam gelombang memori tersisa, dengan belahan jiwanya.
“senyum dong kang, akang jangan sedih. Senyum akang itu bikin adem lho, dan neng pingin kenangan itu yang akan kebawa sampe neng ndak bisa nemenin akang lagi”
kata-kata itu terngiang dibenaknya. Tak dapat dicegah, Istrinya meninggal saat itu juga.
Yanto terduduk. "Bagaimana bisa aku menyerah jika anak kecil ini selalu berusaha tegar dengan kenangan Ayahnya", pikirnya.

“terima kasih nak” katanya sambil memeluk anak kecil itu penuh haru.
Dia bergegas keluar, meninggalkan rumah dengan kaki ringan.
"Aku akan kembali mencari kerja", tegasnya. Dia kembali melangkahkan kaki. Tapi berbeda kini, dengan semangat baru dan senyum yang menghiasi.

-------------

berkolaborasi dengan raffa (no. 090: duet tibatiba), trimakasih sudah mengajariku mengarang panjang :)

-------------

UNTUK MEMBACA TULISAN PARA PESERTA FFK YANG LAIN MAKA DIPERSILAKAN MENGUNJUNGI BLOG KF sbb: KampungFiksi@Kompasiana

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun