Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Ke Pusuk Buhit Mencari Lagumu

8 Desember 2012   06:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:00 257 0
“Padang-padang sepi/Di dataran tinggi/Daerah Toba batu-batu//Beri aku lagumu…” Sitor Situmorang menulis sajak itu, mungkin pada tahun 1955, mungkin sebelum itu. Dataran Tinggi, begitu tajuk sajak penyair ternama Batak itu. Saya bayangkan penyair Indonesia angkatan 45 itu dulu duduk di pinggir danau ini, memandang dari kampung kelahirannya di Harianboho, memandang pada kejauhan pulau nun di tengah-tengah, pulau yang bagai menyumbul dari perairan, pulau Samosir, “Pulau di tengah danau”. Daerah danau Toba, ya, yang dalam sajaknya, Sitor mengenangkannya sebagai “Yang memberi aku lagu”. Sekarang kami telah di Toba, setelah lima hari mengendarai Vespa tua ini. Danau tenang terhampar luas di depan mata. Seakan-akan lelah perjalanan baru saja terobati oleh keelokaan alam Tanah Batak ini. Di sisi-sana, nun Gunung Pusuk Buhit, berdiri kokoh di antara gunung-gunung kecil yang berbaris mengelilingi Toba. Pusuk Buhit, ke sana kami akan mendaki. Gunung suci yang agung. Tempat manusia pertama turun ke bumi, tempat nenek moyang sekalian orang Batak bermula. Tempat, konon, Siboru Deak Parujar yang cantik jelita turun dari kayangan, melarikan diri dari perjodohannya dengan Siraja Odap-odap titisan dewa. Hal ini tentu berbeda dengan apa yang dikemukakan Uli Kozok dalam Aschim Sibeth, The Batak. Menurut sejarawan Jerman itu, ledakan Gunung Toba sekitar 75.000 tahun yang lalu telah mengganggu habitat manusia pemburu, nomadic hunters, di zaman Palaeolithic. Ledakan tersebut mengeluarkan larva dan magma sampai ke Sri Langka dan Selat Bengal.  Dan 30.000 tahun yang lalu, penduduk pulau ini digoncang dengan ledakan yang kedua. Ledakan tersebut mengakibatkan terbentuknya pulau Samosir di bekas danau ledakan pertama yang disebut Tao Toba. Saban tahun, di bulan tertentu sesuai penanggalan setempat, sebagian orang Batak yang percaya akan keberadaan leluhurnya berasal dari Pusuk Buhit melakukan napak tilas. Napak tilas ke gunung itu. Napak tilas ini dianggap penting buat mengingat kembali asal-muasal mereka. Teman saya terlihat sangat letih setelah berhari-hari di atas kendaraan. Kami beristirahat hanya ketika malam tiba. Saya berjalan-jalan di udara sejuk desa Siboro, di kaki Pusuk Buhit, di bibir Toba. Sebuah batu besar dihiasi dengan mangkuk-mangkuk sesajen yang terlihat telah lama dan berkarat. Namanya bona-bona dolok. Batu itu merupakan tempat berdoa bagi orang Batak yang menganut ajaran leluhur. Permalim merupakan ajaran keagamaan dan budaya batak, yang hingga sekarang masih hidup di Tanah Batak. Ada juga yang menyebut Perpegu. Mereka menghormati roh nenek moyang, yang diyakini banyak bersemayam di Pusuk Buhit ini. Rasanya ingin juga saya berdoa di bona-bona dolok ini, tapi saya masih merasa risih dengan pakaian saya yang kotor dan bau. Bisa-bisa Opung (secara harfiah berarti kakek, tapi juga dipakai untuk menyebut sosok yang tidak bisa dilihat mata telanjang) tidak suka dengan doa saya. Perjalanan menyisakan lelah dan daki. Kami mencuci badan di danau Toba yang jernih, sambil berdoa, sambil tertawa.  Tepian Toba bagai urat-urat yang mencengkram kuat danau, dan seakan tidak bisa dilepaskan oleh kekuatan manapun. Saya mendirikan tenda di antara masjid dan gereja. Di belakang jalan di mana beberapa pasang remaja lalu-lalang pacaran. Toba membentang di hadapan. Kami sama-sama termangu di hadapan semua itu. Di hadapan langit senja, riak-riak danau menepi dan mengeluarkan desisan halus dan lamat-lamat. Sebentar lagi gelap, sementara bulan malu-malu mulai menyumbulkan dirinya. Saya membayangkan Sitor juga memandang ke arah yang sama, ke arah langit yang jingga bagai menjalari permukaan danau. Saya ingat sajak Sitor lagi, sajak yang lain: “Dan bulan/Jerit yang dalam/Ketika malam/Antara belukar… “Mana selimut kalian—bantal kalian? Kami di sini tidur pakai selimut,” kata Putri menyentakkan kami yang tengah asik bermenung. Ia dan bapaknya menatap kami bagai tatapan dermawan kaya yang melihat dua orang lelaki cacat dan belum makan berhari-hari karena deraan kemiskinan. Gadis kecil itu terdengar seperti membentak. Tapi memang begitulah dialeg Orang Batak, berbisik pun terdengar seperti menghardik. Anak-anak di sini menemukan kebebasan dan bermain dengan alam mereka sendiri. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu dalam permainan berbentuk pekerjaan. Seperti menggembalakan sapi, menjaring ikan. Dan ke sekolah pun mereka mandiri dengan cara mencari tumpangan, meyetop mobil apa saja untuk mendapatkan tumpangan. Hal ini jauh berbeda dengan anak-anak yang biasa saya jumpai di kota-kota yang kerap dimajakan oleh orang tua mereka. “Kau tidur di rumah kami saja!” kata Situmorang, lelaki yang tiap harinya menjadi tukang ojek di Samosir. Sebuah keramah-tamahan yang memaksa. Di rumahnya yang sederhana itu, kami akhirnya menginap. Mereka menyediakan sebuah kamar sederhana lengkap dengan termos dan air panas beserta kopi. Istri Situmorang perempuan yang sigap. Orang Batak menamai daerah sesuai daerah dengan nama marga mereka. Siboro berarti daerah orang marga Siboro. Sihotang, tempat orang-orang Sihotang tinggal. Sementara untuk penamaan diri bagi lelaki yang sudah menikah, orang Batak menamai dirinya dengan nama nama marga seperti Sitompul, , Situmorang, Sinaga, Siahaan, dan ada juga dengan nama anaknya, misalkan bapak si Posma. Orang Batak sepertinya masih tabu meyebut nama jika ia telah menikah. Nama adalah untuk lelaki yang masih kecil. Kalau perempuan, dipanggil Boru, seperti Boru Situmorang, Boru Siregar…. Orang-orang di sini sangat perhatian terhadap pendatang. Hingga motor tua kami begitu dikenali. Beberapa tempat dan warung menawari kami makan, dan mengajak ngobrol. Sungguh sebuah keramahan yang tak bisa ditolak. Saya tidak tahu, apakah keramahan seperti ini bisa didapat di hotel-hotel yang berdiri megah di pinggir danau dan terlihat begitu kontras dengan perumahan masyarakat sekitar. Mungkinkah di Jakarta suatu saat akan menjadikan warganya seramah orang-orang di sini? Ah, saya sedang bermimpi barangkali. **** Keesokan hari kami mendaki. Menapaki gunung tempat Batak bermula. Dari tempat saya menginap di Pangururan, butuh empat jam ke sana. Dua jam dengan motor, dua jam jalan kaki. Matahari bersinar terik, panas terasa di puncak ubun-ubun. Bukit batu yang kering, pepohonan yang sangat jarang ditemui. Tidak seperti di kampung saya, cuacanya sejuk, dan pohonnya rapat. Tapi, di sini, ah. Panasnya bukan main. Gunung setinggi 1800 meter dari permukaan laut ini, butuh kehati-hatian yang tinggi buat menapakinya. Salah langkah sedikit, jurang batu menanti. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sini, kecuali beberapa sesajen yang ditinggal begitu saja. Telah dua jam, tanpa air minum, kami sampai di bahu Pusuk Buhit. Sebuah batu besar sepertinya menawarkan tempat berteduh. Lelah bukan main. Tapi, batu yang seperti cangkang telur yang dipecahkan ini sangat sejuk terasa.  Tidur, tak ada alasan lagi. Kami tertidur. Lumayan, melepaskan diri dari terik. “Kalian telah menyalahi aturan, tidak seorang pun boleh tidur di atas batu itu. Pakai sepatu lagi!” kata seorang lelaki marga Silaban, masih terdengar suaranya seperti menghardik. Kami tengah tidur dalam lelap, ia datang membangunkan. Terbangun tiba-tiba lebih menyakitkan rasanya daripada tidak tidur sama sekali. Dua lelaki tegap itu melotot ke arah kami yang tidur tanpa baju di atas batu. Apa yang salah dengan kami? Batu yang kami tiduri ternyata adalah batu suci, batu yang dibelah oleh seorang Raja Batak dahulu kala. Batu yang melambangkan perjanjian yang tidak boleh diingkari. Begitu yang diyakini mereka yang menganut ajaran leluhur. Belum satu lelaki pun sanggup tidur, apalagi tanpa baju, dan memakai sepatu, di atas batu belah ini. Saya tidak tahu bagaimana cara minta maaf, apalagi teman saya. “Tidak apa, kalian tidak tahu, hukum hanya berlaku pada orang yang tahu,” begitu mereka mulai ramah. Lalu kami spontan terbelalak melihat mereka menaiki Pusuk Buhit tanpa alas kaki, tanpa penutup kepala. O, saya tidak membayangkan betapa panasnya gunung batu ini, walau pakai sepatu sekalipun, panasnya masih akan terasa sampai ke telapak kaki. Kaki saya hampir melepuh. Batu pecahan karang yang sangat tajam, belum lagi ilalang yang runcing-runcing dan juga tajam. Ia mendaki tanpa air minum, ia tak terengah-engah, malah menyalakan rokok. Saya ingin menanyakan, apakah anda setengah manusia dan setengah roh gaib. Tapi saya urungkan. Itu sangat tidak mungkin, kami baru saja  ia maafkan. Haus bukan main, tapi apa yang hendak diminum. Kami telah salah kira, kalau-kalau di atas sini ada warung yang menjual makanan ringan dan minuman. Ke mana hendak mengadu. Tak berapa jauh dari kami, sebuah bak kecil berisi air hujan yang menggenang. Tanpa aba-aba, kami menghampiri setengah berlari. Bagai menemukan oase di padang pasir, kami melepas dahaga. Dua orang Silaban tadi terkejut mengerutkan dahi memandang kami minum genangan air hujan, padahal kemarau telah tiga bulan berjalan di sini. Tak seharipun hujan datang. Ini air suci dari penjaga Pusuk Buhit, gumam saya. Teman saya tertawa, saya serius. Teman saya masih juga tertawa, dahaga lepas sudah. Dua orang Silaban di depan kami mulai menampakkan mimik muka curiga, namun mencoba untuk senyum. “Ayo ke puncak!”dua orang Silaban itu menawarkan untuk jalan bersama. Mereka hendak mencari sebatang pohon. Itu adalah wangsit yang diterima oleh sesepuh mereka. Pohon jenis apa, mereka tidak mau mengatakan. Ini masalah iman, masalah kepercayaan. Wajah teman saya telah memucat, entah kenapa. Kami harus turun, dua lelaki itu pamit dan berlalu menaiki hingga puncak Pusuk Buhit. Kami sudah tidak sanggup lagi ke puncak sana. Tadi, dari bahu gunung ini saja, pemandangan sudah sangat luar biasa. Danau yang hijau, entah biru, kampung-kampung dengan rumah-rumah di pinggirnya, gunung berlapis di belakangnya. Saya belum ingin turun, tapi teman saya pun begitu. Walau wajahnya bertambah pucat. Di penginapan, badan saya memerah.  Membuat teman saya risau, walau wajahnya tidak pucat lagi. Apa saya telah melanggar larangan? Saya tidak tahu kenapa badan saya memerah dan gatal begini. *** Kami ingin melihat tor-tor yang terkenal itu, setelah terjadi kisruh dengan Malaysia sebulan yang lalu. Saya menunggu Opung Ester Manihuruk di luar rumahnya, sebuah rumah adat Batak. “Kau harus menunggu, ia tadi sedang itu … mirip kesurupan lah. Mereka penyembah roh leluhur,” dari ekspresi tetangga Ester terlihat ia kurang senang dengan sang Opung. Di depan rumahnya berdiri beringin tua, yang berumur telah berapa ratus tahun. Di belakangnya berdiri tugu (tempat menyimpan tulang keluarga yang telah meninggal). Di rumah sang Opung, kami bercerita. Ia begitu ramah dan suka tertawa keras terbahak-bahak. Tak seangker yang saya bayangkan. Di umurnya yang hampir 70 tahun, ia masih terlihat kuat, dan mencoba mengikuti alur pikiran saya yang masih muda, masih bergejolak. Gerak tangannya pun masih cekatan. Tapi, saya tidak bisa melihat Opung menari. Tak ada gondang (musik), tak ada tor tor. Ini sudah hari keempat saya menginap di tempat Situmorang. Dengan hidupnya yang pas-pasan, ia melayani dengan sepenuh hati. Saya menjadi tidak nyaman secara moral dengan keramahan seperti ini. Terkesan seperti memberatkan. Kami membenahi pakaian, tapi ia terkejut. “Kalian tidak berangkat sekarang, bukan?” ia memperlihatkan wajah penyesalan karena belum sempat membelikan buah tangan. Sepetinya itu sesuatu yang wajib bagi tamu: mendapatkan oleh-oleh. Apakah ini basa-basi atau sungguh-sungguh, saya tak peduli. Saya telah mendapatkan keramah-tamahan yang tak sekedar basa-basi di sini. Tapi saya harus meninggalkan negeri Batak ini. Sebagaimana Sitor, sekali lagi, menyajakkan: Pelancong malam ini/Tak tahu ke mana Sumber: Majalah Chip FotoVideo edisi Oktober 2012  Naskah:Fatris MF___Foto: Nicko Angra

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun