Fatris MF
Lewat jendela pesawat, gugusan pulau-pulau kecil di perairan Batam itu seperti kepingan surga yang dijatuhkan ke bumi. Di abad ke-18 pulau-pulau itu masih merupakan tempat persinggahan para lanun, para perompak lautan. Mereka membangun markas-markas penyimpanan di sana, mengikat perjanjian-perjanjian untuk tidak menginjak daratan. Bagi mereka, pulau-pulau kecil bukanlah daratan. Sebab, daratan adalah ketika kau tak bisa melihat lautan, tak dapat mendengar debur ombak, merasakan angin. Daratan bagi mereka adalah benua.
Entah dari mana para perompak laut itu datang. Orang kata dari Mindanao. Atau pulau-pulau kecil antara Philipina dan Sulawesi. Tak jelas. Yang pasti, mereka adalah para pelaut ulung, yang berangkat bersama angin yang bergerak sekali semusim. Angin dari utara benua yang menyerong terus ke barat daya. Orang Melayu menyebutnya angin samun, angin yang membawa para penyamun para lanun. Mereka merompaki kota-kota pesisir timur dan kapal-kapal dagang yang melintasi Malaka. Mereka akan pulang di musim yang lain, ketika angin berbalik arah. Sambil menunggu, mereka menginap di pulau-pulau yang seperti gumpalan hijau dilemparkan dari langit, walau telah banyak yang tandus.
Di antara gugusan pulau-pulau kecil itu, ada sebuah pulau yang menjadi tujuan utama kunjung saya. “Kalau kau sempat ke pesisir timur, jangan lupa ke Pulau Galang. Di sana kau akan tahu arti filosofi kuno Melayu: Jika takut mati berarti harus berani hidup!” kata seorang dosen kepada saya. Dulu sekali, ketika masih duduk di bangku kuliah. Dan sebentar lagi pesawat yang saya tumpang akan mendarat. Kini nasehat dosen saya itu akan mendapat momentumnya untuk saya buktikan.
Angin berkesiur kencang ketika saya sampai di Bandara Hang Nadim, Batam. Betul-betul cuaca wilyah kepulauan. Tak lama, seorang teman mengirim pesan singkat ke telpon genggam saya: “kalau kau di Batam, kau adalah urusanku.” Saya tak tahu persis apa maksudnya, barangkali ia ingin melayani saya; teman yang telah puluhan tahun tak pernah bertemu kini mendapat kesempatan untuk bersua. Tapi kami hanya bertukar kabar lewat pesan pada telpon genggam. Dan kali ini saya enggan membalasnya. Saya ingin sendiri di kota ini, kata saya dalam hati. Membiarkan diri tersesat di belantara kota ini tentu tak ada salahnya. Untuk menemukan sesuatu yang baru, kadang kita butuh teresat, bukan?
Hujan yang turun membuat malam datang lebih awal dari biasanya. “Hujan mempercepat kelam,” tulis Chairil dalam sebuah sajak. Dan benar saja, langit kota Batam telah diselimuti kelam bulan April. Tanpa berpikir panjang lagi, saya menyetop taksi.
Malam di Batam adalah raung mesin dan derap sepatu ribuan buruh pabrik yang pulang dengan dentang lonceng dan deru sirine. Saya tak tahu bagaimana orang-orang bertahan hidup di kota industri ini, kota yang tidak mengenal jam malam. Karyawan pabrik pulang-pergi, bergantian jam kerja. Dentuman musik dari klub malam, gemerlapan kota yang tak ada matinya, terdengar menyelinap jendela taksi yang saya biarkan terbuka. Kota ini seperti tak pernah tidur, dan memang tak pernah tidur. Namun, saya yakin, dari cerita dan kisah-kisah lama orang-orangnya, betapa banyak keindahan yang disimpannya, begitu dalam rahasia yang ditanggungnya. Seberapapun majunya sebuah kota, ia tak akan bisa benar-benar terlepas dari mitos dan cerita, juga beban dan derita.
“Ini Bukit Senyum, tak perlu singgah di sini. Dari seratus orang di sini sembilan puluh tiganya adalah orang jahat,” kata supir taksi yang saya tumpangi menunjuk pada sebuah bukit landai yang ketika malam rumah-rumah di pinggangnya gemerlapan oleh lampu. Saya tertawa, dia tertawa. Taksi melaju kencang, membelah gelap malam. Saya sampai di penginapan.