Oleh: Fatma Elly
TELEVISI ditinggalkan. Langkahnya lemah menuju wastafel. Di mana di atasnya terdapat cermin.
Dada bergemuruh. Jantung berdetak tak teratur. Keringat mengguyur.
Butiran-butiran dingin merayap di sekujur badan.
Kata-kata itu masih mendenging di telinga. Bersemayam di hatinya.
“Beginikah selalu? Lingkar tak putus?”
Dan ia melihat sang diri. Gagah, tegap, kekar, ganteng, di atas wajah jantan yang dimiliki dan memukau. Walau usia sudah dikeroposi sekitar empat puluh limaan.
Diamati sebentar wajah itu. Juga keseluruhan bentuk tubuh yang berkimono. Pakaian yang biasa dipakai kala istirahat malam. Saat tidur.
Sejenak, senyum bangganya tersungging. Bibirnya merekah.Tapi hanya sekejap. Kebanggaan itu menepis. Wajahnya terlihat kusam di antara kepucatan yang meronai. Dahi bergaris. Muka berkerut.
Resahnya menghimpit.
“Kebanggaan macam apa?” pikirnya.
Dan ia seperti menyesali.
Selintas bayang itu menghampir.
Menggoda dalam kenang. Keresahan semakin membuatnya gundah. Wajahnya bertambah pucat.
Rasa itu mengurungnya dalam takut.
(Cuplikan dari cerpen “NURANI”, Kumpulan Cerpen, Serial Gender: “TERPASUNG”, Fatma Elly, Establitz, 2008)
__________________________
REVOLUSI INFORMASI paska posmodernisme, seperti teknologi komputer, penyimpanan data yang canggih, maupun teknologi satelit yang menghubungkan dunia lewat informasinya semacam televisi, semakin mencengkeram dan menggorestancapkan cakarnya yang tajam pada kulit-kulit manusia dan kehidupannya.
Sementara itu, percobaan-percobaan alat transportasi luar angkasa, dianggap oleh futurolog John Naisbitt, (Mega Trend 2000), sebagai; “dunia sedang menuju arah ekonomi global yang memberikan harapan kemakmuran”.
TETAPI, SESUATU perlu dipertanyakan; mengingat dunia Barat dan Timur, Utara dan Selatan dalam kesuramannya yang merawankan. Di tengah perbedaan kehidupan rakyatnya yang begitu nampak mencolok.
Antara kaya dan miskin yang semakin menganga. Curam jarak jurangnya. Di mana nilai materi atau ekonomi begitu di dambakan. Dikejar oleh sang manusia secara ambisius, agar kenikmatan hidup di dunia dengan mudah dan gampang dapat diraih.
Bahkan tanpa mengindahkan nilai-nilai baik sebuah moral atau agama. Keadaan seperti ini, kentara sekali terlihat dan dilakukan banyak orang.
BAGI MEREKA, yang penting, bagaimana bisa hidup dalam arus materialisme di atas selera nafsunya itu, dengan ambisi harta atau kehidupan yang mesti terpuaskan. Mengejawantah di dalam diri!
DALAM ERA INFORMASI seperti sekarang ini, kepribadian sejati manusia dalam harkat martabat kemanusiaannya yang baik dan tinggi. Yang telah diciptakan Allah dan dibedakan dengan makhluk lainnya, oleh posisi kemuliaan yang diperuntukkan baginya, seakan sudah mengalami degradasi dan pengrusakan.
Menurunkan nilai dirinya ke arah kerendahan yang diciptakannya sendiri.
Menjebaknya ke arah keterpurukan hidup, dan tempat tinggal terburuk di alam akhirat!
“Sesungguhya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka)” (QS 95:4-5)
KEJADIAN INI MEWUJUD, baik disebabkan oleh lingkungan yang membentuk, dan dibentuk. Ataupun karena adanya kecenderungan nafsu kejahatan dan kesenangan yang diperturutkan. Yang kata mereka, tak bisa dilerai dan dikendalikan.
PADAHAL Allah telah memperlihatkan dan membandingkan, antara nafsu jahat yang diikuti, dan keinginan baik yang dirahmati, berbeda.
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku…..” (QS 12:53)
PENGARUH pembauran budaya yang diciptakan era informasi global, revolusi informasi paska mordernisasi, yang supremasi power informasinya dikuasai Barat, sebagai pemegang hegemoni budaya dan peradaban, banyak menjerat kehidupan muslim atau muslimah ke dalam jurang kebinasaan.
CORAK, gaya hidup, sikap, watak dan tabiat kehidupan yang dimiliki Barat, ber-epidemi. Mewabah sedemikian rupa, seolah ingin dilahap habis-habisan, dalam kehausan nafsu hedonistis yang berlebihan.
"Mumpung masih hidup, reguklah kepuasan itu di mana saja bisa ditemui dan didapat." Itulah filosofi dan slogan hidup mereka.
TAK PELAKLAH, kalau dinihari tadi, SCTV telah menayangkan, bagaimana mereka yang mengatasnamakan ‘kebutuhan ekonomi’, di atas kemiskinan, telah rela menjual dirinya dengan menari strip-tease dan berbugil-bugilan.
Baik di dalam kamar hotel, kafe, klub-klub malam, apartemen, atau bahkan di rumah-rumah kos, atau tempat-tempat di mana mereka berdomisili atau berada.
Dan sebelumnya, pada waktu dinihari yang sama, beberapa waktu yang lalu, (penulis tak mengingat ketepatan hari dan tanggalnya) Metro TV juga pernah menayangkan tentang ‘sebahagian orang’ yang berkecenderungan sama dalam orientasi seksual mereka.
Mereka bertemu di tempat-tempat hiburan tertentu, café-café, bahkan di rumah atau di tempat-tempat di mana mereka biasa saling berjanji dan bertemu. Menjalin cinta mereka di atas asmara membara, tak berlogika.
Baik karena kebutuhan ekonomi akibat kemiskinan dan banyaknya pengangguran, sementara biaya hidup dan kuliah, barangkali sedemikian rupa menghimpit mereka, atau pula, gaya hidup metropolitan dan 'kecenderungan tertentu' tak bisa dihindari.
SEDANG Allah telah memperingatkan di dalam Al-Qur’an terhadap fenomena tersebut, seperti ini.
“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu? Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.” (QS 7: 80-81)
NILAI-NILAI agama, moral Timur bangsa, seolah lenyap di telan kegilaan. Larut dalam kesenangan dan kecenderungan hidup yang mereka bentuk, di atas khayal kosong angan-angan, sebagai janji-janji kebahagiaan yang ditawarkan setan, dan bersifat menipudaya itu!
Cocoklah seperti apa yang dilukiskan Al Qur’an:
“Setan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal setan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka.” (QS 4:120)
IRONINYA, apa yang diperingatkan Allah, agar manusia mempertanggung jawabkan seluruh aspek organ jasmani dan rohaninya, sepertinya sudah tidak dihiraukannya lagi.
“……………….Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS 17:36)
MESKIPUN ALLAH sudah berulang kali menandaskan dan mengingatkan: bahwa bermegah-megahan dengan dunia, telah melalaikan kita. Sehingga kita masuk ke dalam kubur.
Dan Dia menyeru, agar kita jangan begitu. Karena kelak kita akan mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, dan akan melihat neraka Jahiim.
Dan sesungguhnya kita akan benar-benar melihatnya dengan 'ainulyaqin.
Kemudian pada hari itu, kita pasti akan ditanyai tentang kenikmatan yang kita megah-megahkan di dunia ini. (Lihat QS 102: 1-8)
Mempertanggung jawabkan organ jasmani dan rohani saja sudah sulit. Dan seperti mengacuhkan. Apalagi mau thawaf dalam lingkaran Ka'bah atau kiblat. Berjalan bersama kaum muslimin lainnya, melangkah dan berputar dalam gerak meenyeru dan teratur, dengan seluruh organ bilogis, fisiologis, psikologis, rohani dan jasmani, menghadap dan terarah ke arah kiblat. Ka'bah. Simbol penyembahan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Yaitu Ilah, Allah yang Hak dan patut diibadati.
Keharusan seorang hamba, sebagaimana yang diwahyukan dan diperintahkan kepada Rasul-Nya SAW.:
"Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku." (QS 21:25)
RASA TAKUT akan hari perhitungan, tidak lagi menempati hati sebahagian kaum muslimin. Telingapun seolah pekak. Hati beku. Bahkan pikir, tumpul. Penglihatan guram, kalau tidak mau dikatakan; buta!
Tepatlah kalau sampai Allah menjadikan mereka yang lalai seperti itu, untuk isi api neraka. Dan menyamakan mereka dengan binatang ternak. Bahkan lebih buruk lagi:
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS 7:179)
KEMBALI pada cuplikan cerpen di atas. Pikirannya pun tertuju dan tercurah ke situ. Di kala nurani menyentuh, dan ia merasa bingung sendiri.
IA SEORANG lelaki. Banyak bergaul. Pergaulannyapun luas ke mana-mana. Bahkan di kalangan artis selebritis dan elit politis.
DAN IA MELIHAT, kalangan seperti yang digaulinya itu, banyak memiliki tuntutan ambisi kehidupan yang serba ‘wah’.
Maklum saja, dunia mereka adalah dunia glamour dan persaingan. Di mana kesenangan dan kemewahan serta tantangan dan pergulatan hidup, berada didalamnya.
Dan ia tak mau memiliki pasangan hidup semacam itu. Berisiko!
Ia mau seorang istri yang baik. Lugu. Berjilbab. Solehah. Dan tentu juga, ayu dan manis. Karena perempuan seperti itu, pada anggapannya, tidak banyak tuntutan. Menerima apa adanya. Tak mau ikut campur urusan pekerjaan atau masalah suami. Dan …..sabar!
PROSES ke arah pencapaian keinginan serupa itu pun, tak memakan waktu. Ibu mendapatkan, sebagaimana yang diinginkannya.Dan ia pun menikah tanpa hal-hal yang merintangi. Lancar. Selancar jetski mengarungi lautan!
TETAPI SEBELUMNYA, AWALNYA, ia hanya merasakan, bahwa keintiman itu menyenangkan. Segala dambaan terpuaskan.
Ini di rasakan dan ditemuinya, kala ia masih menjadi mahasiswa. Dan betapa bangganya ia, di saat libidonya begitu melonjak, dan ia mendapatkan itu.
SETERUSNYA, bukanlah hal yang menjadi pemikirannya lagi.
Bukankah hal-hal, atau kejadian semacam itu, biasa-biasa saja dan wajar? Banyak dilakukan oleh siapa saja yang seusia dengannya? Termasuk kalangan kampus?
Tak pandang dosen, apalagi mahasiswa atau mahasiswi. Bukankah ini zamannya paska modernisasi, dengan posmodernismenya itu?
SEGALA HAL, bisa saja terjadi. Mumpung masih muda, kata orang; rauplah segala kesenangan hingga terpuaskan!
Norma? Ah kuno! Itu kan sejarah masa lampau yang tak terpakai lagi. Usang!
Progresiflah sedikit! Maju!
Jangan terkungkung melulu di batas nilai-nilai yang membelenggu. Gairah jiwa anak muda yang ditabu.
Bisakah ditahan?
TENGOKLAH air yang direbus di dalam panci, di atas api yang menyala dan di tutup, apakah jika sudah mendidih sedemikian rupa, karena panas apinya yang membakar, sanggup menahannya dari ketidakmeluapan? Dari ketidaktertumpahan?
BERLENGGANG-lah ia dengan santai dan nyaman. Tak mau di pusingkan dengan hal-hal sepele yang tak ada guna. Norma-norma yang sudah usang!
DENGAN SIAPAPUN, jadilah. Seperti ayam-ayam kampus. Bukankah mereka melakukan juga? Walau bagaimana bentuk dan caranya. Model dan gayanya. Selera dan nafsunya?!
ORIENTASI SEKSUAL, bukankah tidak harus di batasi oleh norma-norma?
Norma dan kaedah itu, tidakkah berlaku hanya di satu periode perjalanan kehidupan saja?
Bukankah budaya masyarakat selalu berubah dan berkembang?
Yang penting senang. Mau apa lagi! Keinginan tercapai dan terpuaskan!
Apapula bilamana menyangkut masalah ekonomi dan materi. Kebutuhan terhadap uang kuliah dan lain keperluan itu.
Jika memang bisa terjamin dan teratasi, serta ada yang mau memberi, kenapa tidak?!
Ya namanya rezeki, bo', kok mau ditolak?! Pusing-pusing amat sih!
LAKI-LAKI ITUPUN terus mencari. Dan mendapatkan. Bukankah tubuhnya gagah. Ganteng menarik. Menawan hati seseorang? Apalagi bagi yang satu kecenderungan. Satu keinginan. Satu pemikiran. Satu kegairahan..! Wooi, kenapa mesti menolak?
TETAPI YA AMPUN, perjalanan waktu yang sedemikian cepat bergerak dan berubah, mengikuti proses sosial dan budaya itu, kemudian seakan berbenturan.
Menyergap, menyerang, menegurnya, dalam suara yang ia sendiri tidak mengerti bagaimana datangnya. Dan bagaimana hadirnya! Dan bagaimana pula ia menagih dan meminta. Menjerit dan meronta, dalam cemas takutnya yang mengurung!
NILAI TETAP tak tersadarikah itu, yang tak akan sirna sepanjang masa? dan adakah ia sebagai perlambang suatu kekuatan dan kebenaran?
IA MENJADI bingung sendiri!
Tetapi, kalau tidak, kenapa ia harus seperti itu? Keringat deras mengucur, tubuh menggigil takut, nafas sengal dan sesak, leher seakan mau tercekik, saat Ustad itu berbicara, kuliah subuh itu didengar, televisi itu dipasang?
Padahal, tidak biasanya ia bangun sepagi itu, lalu memasang televisi. Apalagi semalam, setelah penat bekerja, dihabiskan dengan kenikmatan bersama seseorang?!
SIAPAKAH yang berada di balik itu? Siapa yang mengendalikan? Kenapa seperti meneriakkan aba-aba dan larangan, ketika telinga mulai mendengar, dan hati tergetar?
“Tidak!!” teriaknya lantang. Keras sekali. Hingga pisau cukur kumis yang berada di tangan, terjepit dan terkepit di antara jari, terlontar cepat secara tak sengaja.
Mengenai cermin di hadapan, oleh gerak tubuh yang seakan tersentak marah dan tak dapat dibendungnya lagi!!
Geram, kesal, jengkel dan sebal. Apalagi segalanya jelas terpampang!
Tak asing lagi baginya, bgaimana akibat dan kesudahan bagi si penderita. Si manusia terpasung itu!
DAN ALLAH berulangkali menandaskan:
Padahal ia pernah membaca dan
mengetahui, bahwa hal seperti itu pernah menjangkiti sang aktor gagah, ganteng menawan dari Hollywood, Amerika Serikat, yang bernama Rock Hudson!
Yang digeragoti tubuh dan usia, hingga membawanya pada kematian, karena penyakit HIV AIDS yang diderita!!
WAJAH GAGAH di cermin yang rengat karena lemparan keras itu, ditatapnya garang. Sedang bayang kabur yang samar menyembul, menampakkan diri dalam ejek sanubari, seakan berkata:
“Kaukah itu? dalam selimut baju kotormu? topeng buruk wajah dirimu?"
"Heh, ketahuilah sobat! Nurani tak pernah salah dan keliru! Masihkah kau akan lari, dari suara dan ajak baiknya?”
KERINGAT cemas dan takut, semakin menyerbu dan menyeliputinya, atas suara ini.
BILAMANA NURANI mengejawantah, pikir bekerja, hati merasa, penglihatan dan pendengaran tidak buta. Tidak pekak dan tidak beku, maka baik dan buruk sudahlah jelas. Yang menguntungkan dan merugikan juga gamblang!
Tak perlu di ragukan. Tak perlu dipaksakan.
Ia datang sendiri dengan nurani yang bersuara. Fitrah yang berbicara.
Tinggal kita berada di mana: Apakah mau menerima, mengikuti, ataukah melanggarnya lagi?
Wallahu a’lam.