Kontroversi UU BHP ini sejak awal memang menyiratkan aroma persaingan antara PTN dan PTS. Sejak beberapa PTN di tanah air di-BHMN-kan, beberapa PTS besar mengalami penurunan signifikan dalam hal animo calon mahasiswa. Sebagian besar orang berasumsi; jika harus membayar mahal untuk kuliah di PTS, lebih baik masuk PTN dengan jalur khusus/swadaya/non-reguler. Toh, sama mahalnya.
Inilah pangkal persoalan munculnya kontroversi UU BHP. Kenyataannnya sekarang persis seperti yang saya gambarkan di atas. Jadi, wajar jika pakar dan dosen di PTN pro terhadap UU BHP dan sebagian PTS memilih kontra terhadap kebijakan tersebut.
Sayangnya, UU BHP yang akhirnya "digagalkan" oleh MK tersebut ibaratnya gagasan bagus tapi di waktu dan kondisi yang tidak tepat. Bagaimana mungkin, kita bicara keseragaman badan hukum di tengah disparitas dan kesenjangan filosofi dan sistem pengelolaan perguruan tinggi yang begitu heterogen?
Yang bisa saya bayangkan sekarang, seandainya UU BHP establish diimplementasikan; PTS-PTS yang ada di Indonesia bisa kolaps perlahan-lahan atau bahkan lebih cepat. Siapa yang diuntungkan? Pemerintah dan PTN tentunya. Kalo nggak percaya, check saja biaya pendidikan di beberapa PTN di Yogya, ehm.... selangit biayanya.
Kuota Seleksi Masuk melalui SNMPTN (dulu Sipenmaru/UMPTN) hanya sekitar 25-30%. Sisanya, diperuntukkan bagi jalur masuk khusus (non-reguler, swadaya, swadana, kerjasama, dll) yang biayanya bisa 2x lipat dari seleksi reguler. Apa bedanya konsep ini dengan swasta?
Keputusan MK menurut saya sangat rasional dan memiliki landasan konstitusi yang jelas. BUkankah UUD 1945 dan UU Sisdiknas kita memberi kesempatan yang luas bagi masyarakat untuk berperan serta dalam peningkatan kualitas pendidikan (termasuk melalui pendidikan yang dikelola oleh swasta). Jadi, sangat beralasan jika dikatakan bahwa UU BHP bertabrakan dengan aturan dasar dalam UUD kita.
Mengenai pengakuan internasional terhadap institusi pendidikan tinggi kita, saya rasa tidak ada kaitan langsung dengan BHP/BHMN. Indikator yang digunakan lebih mengacu pada indikator publikasi riset, intensitas dan kualitas jejaring online di panggung internasional, center of excellence yang dimiliki, kemitraan strategis PT dengan lembaga industri, kerjasama dengan PT di luar negeri dll. Nggak ada hubungannya dengan apakah PT dikelola dengan badan hukum tertentu. COntoh konkrit, tempat kuliah orang berdasi STMIK AMIKOM (menurut UNESCO lho..) bisa berdiri sejajar dengan Harvard University dalam hal kemandirian pengelolaan perguruan tinggi tanpa tergantung dengan subsidi dari pemerintah.education1cost.jpg