Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Air Mata Kurip

21 Februari 2011   08:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:24 192 4

Langit makin gelap. Hawa dingin juga sudah terasa di kulit tubuhku, ketika sepeda motor bebekku meninggalkan Sekolah tempatku mengajar. Suasana mirip jelang petang, padahal masuk waktu Ashar saja juga belum.  Tak ingin terjebak hujan di tengah jalan motor tua ini terus kupacu, perjalanan menuju rumahku masih 10 kilometer lagi. Rupanya alam memang tak pernah bisa diajak kompromi, baru sepuluh menit motor melaju dari langit jatuh titik-titik air, dan dengan cepatnya intensitasnya makin tinggi.

Seminggu terakhir, setiap sore, biasanya cuaca relatif cerah, makanya jas hujan yang biasanya selalu ada di jok motor tertinggal di rumah. Tak ingin basah kuyup, aku segera menepi, tepat di samping warung mie ayam langgananku, Warung Pak Bejo. Kebetulan sekali, perutku sudah berbunyi. Selain aku nampaknya ada juga beberapa pengendara yang turut berteduh. Seorang bapak tua bersepeda, dua orang pelajar SMA, dan seorang karyawati. Mereka menepi di emperan toko plastik, di samping warung mie ayam.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun