Entah hingga berapa jam aku kuat berdiri dengan kondisi seperti ini. Apalagi hari ini aku belum makan dan kemarin hanya makan sebungkus mie instan sehari sekali. Uang yang kupunya, kumpulan lembaran ribuan dan recehan ternyata hanya cukup untuk membeli tiket. Itupun sebenarnya kurang 500 perak. Karenakebaikan penjaga loket saja aku mendapat tiket meskipun uangku kurang.
Stasiun demi stasiun terlewati. Penumpang bukanya berkurang malah makin padat saja. Mereka terus saja memenuhi gerbong yang sudah sesak ini.Diantara gerbong yang tadinya masih cukup longgar untuk berdiri kini juga mulai sesak.
“Maaf Nak minta tempatnya sedikit!” Seorang ibu tua menyusup diantara penumpang dan berdiri di dekatku. Ibu itu membawa tas dan terlihat dompet menyembul dari dalam. Mataku langsung tertuju ke benda berwarna coklat dan nampak tebal tersebut.
Dompet coklat, berukuran besar, tebal. Bisa kubayangkan berapa banyak lembaran uang yang ada di dompet itu. Tentunya isinya lebih dari cukup jika hanya sekedar untuk membeli mie rebus telur dan air mineral.
Entah darimana asalnya perlahan tanganku mulai menyentuh benda coklat tersebut. Tanganku gemetar dan hatiku mulai berdegup kencang. Ketika tanganku bisa meraih dompet itu dan kereta berhenti di stasiun... tiba-tiba saja...
“Copettttt!” terdengar suara orang berteriak dan aku pasrah menunggu yang terjadi dan memejamkan mata. Mungkin sebentar lagi semua orang berkerumun dan aku mati.
Beberapa lama aku diam, namun tak seorangpun menyentuhku. Akupun membuka mata. Aku melihat ibu tua diseret petugas keamanan dibawa ke kantor petugas.
Kereta kembali melaju. Dari jaket kukeluarkan dompet warna coklat. Dompet itupun kubuka namun hanya berisi dua lembar dua ribuan.
FATHONI ARIEF