Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Sang Pemburu

19 Juni 2010   01:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:27 102 0
[caption id="attachment_171191" align="alignleft" width="300" caption="Sumber Foto : bioweb.uwlax.edu"][/caption]

Degup jantung ini berdetak semakin cepat, "deg…deg…deg…deg..deg" rasanya mau copot saja. Nafasku juga sudah mulai sesak dan sedikit ngos-ngosan, semuanya menjadi satu sampai-sampai tubuh ini hampir kehilangan keseimbangan. Semua ini terjadi gara-gara peristiwa tadi sore. Kejadian menakjubkan yang baru saja kualami. Aku melihatnya, buruan istimewa yang membuat diri ini semakin penasaran.

Sesuatu yang terjadi dan membangkitkan energi luar biasa bagaikan sebuah generator yang mampu menghasilkan menggerakkan alat-alat listrik dan menyalakan lampu. Kekuatan yang sungguh luar biasa, target yang membuat para pemburu mati-matian mengejarnya. Sesuatu yang sangat bernilai bak harta karun yang telah lama menghilang. Semuanya lepas begitu saja sayang memang, tapi bagaimana lagi aku tak punya senjata yang cukup mematikan untuk melumpuhkannya. Aku akan tetap mengejarnya, akan kucari sampai dapat karena itulah buruanku. Aku yakin suatu ketika akan kudapatkan buruanku.

Saat ini yang kupunya untuk memburunya hanyalah senapan tua dan usang peninggalan kompeni, sudah sangat uzur memang. Senapan peninggalan kakek, yang dianggap sebagai penghianat. Kata Ayah kakek adalah anjing kompeni, begitu bencinya ia padanya. Menurut cerita ayah konon senapan ini juga yang menghabisi nyawa kakek. Tewas mengenaskan ditangan gerombolan yang katanya para pengacau yang keluar dari hutan tempat persembunyiannya. Aku seorang pemburu handal pasti akan kudapatkan buruanku.

"Sssssssssttttt…." Terdengar suara semak-semak yang diinjak mungkin itu bruanku ia datang lagi. Senapan yang sedari tadi ada ditangan kanan segera kusiapkan. Mataku awas melihat keseluruh sisi hutan ini mengawasi gerak-gerik dari buruanku. Nampaknya ia semakin menjauh dan terus menjauh. Aku tak boleh membiarkannya pergi begitu saja dia tak boleh lepas kali ini. Dengan sigap dan secepat kilat aku berlari dan terus berlari mengejarnya mengikuti kearah ia pergi. Kelihatannya kehadiranku belum sepenuhnya ia ketahui. Jiwa pemburuku kemabli bangkit. "Kali ini ia tak boleh lepas". Begitu kata-kata dalam hati yang terus saja kuulang-ulang.

Aku memang besar dalam kesendirian. Dalam lingkungan alam rimab yang terpencil. Sejak kecil diri ini terasing dalam rimba belantara dengan hanya ditemani ayah. Sejak usia tak tahulah aku sudah lupa ayahku tewas. Seeekor harimau besar menrkam tubuh ayahku hingga aku ditinggalkannya sendirian. Semenajk itulah aku sendiri dan benar-benar sendiri di belantara ini. Berburu, berburu dan berburu…..itulah kegiatanku. Aku berburu apa saja segala jenis mahluk yang ada dan memasuki wilayahku adalah buruanku. Tak ada ampun dan rasa kasihan bagi merekayang berani masuk dan kuanggap mengsusik keberadaanku. Semuanya yang berani berbuat demikian akan berakhir dengan terjangan peluru dari senapanku atau tebasan parang tajamku. Kali ini aku sungguh keheranan, baru sekali kudapatkan buruan yang aneh seperti ini dan sangat sulit ditangkap.

Mataku kini kembali tertuju pada satu tujuan. Fokus pada satu titik, hanya buruanku. Dari kejauhan kulihat ia mulai mendekat dan terus saja mendekat. Memang jaraknya masih lumayan jauh tapi penciumanku dan insting pemburuku yakin inilah target buruanku yang atdi kukejar-kejar. Ya…pelan-pelan ia menuju kearahku, meski dari tempatku berdiri yang nampak hanyalah warna merah. Ya ayo cepat datanglah kemari semakin mendekat dan sebentar lagi kau akan jadi bagian dari milikku. Bagus ia semakin dekat, jaraknya dariku kini hanya beberapa puluh meter. Aku tetap diam ditempatku menunggu posisi bidik yang paling baik.

Aku tetap saja diam dengan penuh kesiagaan. Senapan tua ini terus saja terarah padanya kini tinggal menunggu posisi tembak yang terbaik. Jantungku kembali berdetak semakin kencang dan semakin kencang. Semakin dekat buruanku makin kencang saja laju dari jantungku ini.

"Ini buruan langka kau harus dapatkannya! Jangan sampai luput lagi!" begitu suara hatiku terus saja meneriakiku.

Sepuluh meter, sembilan, delapan, tujuh ya ayo datanglah kesini kau sebentar lagi akan jadi milikku. Kini buruanku hanya empat atau lima meter didepanku berdiri. Ia melihat ke arahku " Sangat menakjubkan sungguh koleksi langka!" belum sempat kubidikkan senapan ini tiba-tiba saja ia roboh. Begitu lebih baik jadi aku akan mendpatkannya secara utuh tanpa goresan apapun lagi pula sudah lama stok persedian peluruku hampir habis.Aku tidak perlu mengeluarkan butir-butir peluru.

Segera kudekati buruanku, "astaga benar-benar menakjubkan mahluk macam apa ini?" aku terus saja memandangi dan keheranan melihatnya. Sekitar dia sepertiku dan ku raba tubuhnya,.

"Astaga benar-benar sama". Hanya saja ketika kutelusuri ada sesautu yang beda denganku.

"Apakah ini mahluk yang dulu pernah diceritakan ayah. Apakah ia seorang wanita?" masih dari cerita Ayah dari hasil hubungan dengan mahluk yang bernama wanita aku muncul didunia ini. Lewat suatu proses pertukaran cairan kata ayah mahluk sepertiku setelah beberapa bulan tepatnya sembilan bulanan akan lahir mahluk sepertiku. Untuk makluk yang pernah melahirkanku ayah menyebutnya dengan nama Ibu, begitu kata ayah aku harus memanggilnya.

Buruan berhargaku ini segera kupanggul. Kulitnya begitu halus dan kuning langsat, bersih dan sangat berbeda dengan kulitku yang kasar. Ada perasan aneh yang kurasakan baru kali ini aku mengalaminya.

" Kenapa tiba-tiba saja naluri pemburuku hilang?"

Segera kubawa ia ke pondokanku. Pondok bambu tempat ku bertedu dan berlindung dari panas dan dingin. Kutempatkan ia di atas tumpukan daun-daun kering yang sering kugunakan sebagai alas untuk tidur. Kupandangi dia tak tahu kenapa ada perasaan yang aneh lagi dan baru kali ini aku merasakannya. Perasaan apa ya? Sulit memang untuk menjelaskannya yang jelas hal seperti itu muncul tiap kali aku melihat dan memandangi tubuhnya. Perasan seperti itu semakin menjadi-jadi. Buruan yang sangat menarik, mahkluk yang indah rambut lurusnya wajah yang begitu tak tahu apa istilahnya ayah tak pernah menceritakan yang seperti ini.

"Mau kuapakan ia?" hati kecilku bertanya-tanya.

Timbul pertentangan dalam batinku. Tak seharusnya aku mengurungkan niatku, bukankah tujuan dari aku membawa kesini untuk menjadikan salah satu dari koleksiku.

"tidak-tidak!" hatiku kecilku menolaknya. Dia terlalu sayang untuk dibunuh.

"Apakah ia sudah mati?" kuamati dari tadi semenjak ia roboh belum bergerak sama sekali. Jika dari panas tubuhnya masih bisa kurasakan dan ada suara dari dada yang bisa kudengarkan. Kubiarkan saja ia tergeletak tak athu akan kuapakan ia mungkin besok aku athu apa yang akan kulakukan. Dengan tubuh yang sangat lelah akhirnya akupun tergeletak dan terlelap dalam alam bawah sadarku.

Sinar matahari mulai terlihat. Cahayanya yang mampu menerobos dinding-dinding bambu rumahku membuat terbangun dari tidur lelapku. Cahaya menyilaukan ini membuatku bangkit, kulihat disampingku buruanku sudah tak ada lagi. Segera kulangkahkan kaki tak lupa kubawa senapan buruku. Aku lapar sudah lama tak makan daging kancil hari ini aku akan mencarinya sebagai menu sarapan pagiku. Dalam hatiku aku marah dengan lepasnya buruan yang kudapat dengan susah payah itu.

"Aku harus mencarinya lagi!"

Menyusuri jalan diantara rimbunnya belantara. Dari gubuk bambu aku menuju sebuah mata air yang terletak tak jauh dari tempat tinggalku. Sebuah sungai yang dipenuhi dengan batu-batu besar dan air yang begitu jernih. Disini tempat biasa aku mandi dan membilas tubuh kotorku. Air yang begitu jernih itu sangat menyegarkan tubuhku.

Kini pandanganku tertuju pada salah satu sisi sungai. "Astaga itu buruanku!" aku sempat terkaget melihatnya dia juga berada di sungai ini. Tubuh kecil itu kini terlihat begitu polos tanpa selembar kainpun menutupinya. Sesuatu yang bergejolak muncul kembali dari dalam diriku entah apa itu.

Sebuah pemandangan indah, buruan yang indah. Entah apa yang terjadi tiba tiba ada sesuatu yang membawaku mendekatinya menerkam bak macan lapar dan sesuatupun terjadi. Gejolak yang menuntutunku untuk menerkam danj perbuatan penuh nafsu hewani itupun terjadi. Hal yang belum pernah kulihat di tengah rimba yang memunculkan sebuah sisi yang hilang.

Begitulah awal mula dari hilangnya sifat primitifku. Aku kini bukan lagi seorang pemburu karena insting itu telah menghilang. Aku maih saja tinggal di gubuk bambu ini. Bedanya kini aku ditemani buruanku dan aku menyebutnya sebagai istri. Tak hanya berdua kini aku hidup bertiga, seorang mahluk kecil muncul begitusaja tepat seperti kata ayahku dulu dan kini aku memanggilnya dengan sebutan anak

Aku tak tahu apa yang akan kulakukan kemudian dengan mahluk kecilku. Apakah ia nanti akan kudidik sebagai pembuiru handal penguasa rimba ini? Ataukah ia akan kujadikan sebagai koleksi abadiku?

Cukup dengan satu buruan saja aku bisa hidup damai. Perlahan tapi pasti buruanku mengajariku dengan cara-cara baru yang ia sebut kebudayaan. Dia mengajariku katanya untuk hidup sebagai manusia modern. Kata buruanku suatu saat aku harus keluar dari belantara dan bergabung dengan mahluk lain sepertiku yang bertebaran di luar sana. Kini aku muali bisa hidup sebagai manusia palan pelan perdaban ada di belantara ini walupun sebenarnya aku tak mau memungkiri lebih enak hidup sendirian sebagai sang pemburu.

Yogyakarta, Desember 2005

Fathoni Arief

Tulisan Fiksi Saya Sebelumnya :

1. Mantra Pemanggil Hujan

2. Rumah Angker Di sudut Kota

3. Manusia Linuwih

4. Surat

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun