Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

Kisah Pak Guru Menapaki Jalan Terjal

4 Mei 2010   06:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:25 547 0
[caption id="attachment_132773" align="alignleft" width="225" caption="Doc.Fathoni Arief"][/caption]

“Nama pemberian orang tua pertama kali saya diberi nama sesuai hari kelahiran. Karena saya lahir hari Kamis maka saya diberi nama Kamis. Namun setelah itu orang tua berfikir. Kok kayaknya kurang pas nama anak memakai nama hari. Akhirnya nama saya dirubah, karena saya lahir di bulan Safar akhirnya diberi nama Parman,” Guru Parman.

Waktu serasa berjalan cepat ketika saya dan tim mencari lokasi SD Gunung Agung untuk bertemu Guru Parman. Hampir dua jam mobil kami menelusuri daerah sekitar waduk Sermo berdasar informasi dari penduduk setempat. Namun semua info yang kami terima simpang siur tak ada yang sesuai. Kami nyaris putus asa maklum waktu yang kami punya terbatas belum lagi biasanya sekolah diatas jam 12 siswa-siswanya sudah bubar. Namun kami terus mencoba mencari hingga kami bertemu seorang tukang ojek.

Tukang ojek yang kami jumpai memiliki informasi mengenai keberadaan sekolah yang kami cari. Ternyata memang lokasinya berada di atas pantas saja berjam-jam mengitari daerah sekitar waduk Sermo kami tak menemukan lokasi yang kami cari. Satu keberuntungan lainnya tukang ojek tersebut bersedia mengantar rombongan kami.

Jalan menuju ke lokasi yang kami cari ternyata sedari tadi sudah kami lewati. Namun karena jalan tersebut kondisinya rusak dan tak terlihat seperti jalan utama sehingga tak pernah terfikir melalui jalan tersebut. Kami naik mobil sedangkan tukang ojek menjadi pemandu kami berada di depan.

Mobil berjalan menyusuri jalan dengan kecepatan rendah. Kami mengikuti tukang ojek yang berada di depan. Namun belum lama berjalan ojek berhenti. Ternyata jalan rusak berat dan tengah dalam perbaikan. Itu merupakan satu-satunya jalan sehingga terpaksa kami berhenti mencari solusi. Dari hasil pembicaraan dengan tukang ojek kami ditawarkan naik bertiga. Yang naik ke atas adalah saya dan seorang rekan yang membawa kamera video. Pilihan tersebut menjadi satu-satunya pilihan karena jika harus turun mencari tukang ojek lagi juga bakal menyita waktu.

Membayangkan sepeda motor bebek keluaran Jepang membawa 3 orang naik dengan kondisi jalan seperti ini sebenarnya tidak tega juga. Namun si tukang ojek sudah menyatakan kesanggupan okelah kami segera naik sementara yang lain menunggu di mobil.

Motor perlahan melanjutkan perjalanan melewati jalan berbatu. Batu bukan sekedar batu kecil namun terkadang batu-batu besar. Jalan yang masih memakai perkerasan makadam. Sambil terpental-pental diatas jok tukang ojeg menarik gas menuju SD Gunung Agung. Di sepanjang perjalanan ia bercerita tentang pahit getir penduduk yang tinggal di sekitar lokasi yang kami lewati. Satu yang menarik si tukang ojek dalam kondisi normal belum tentu setahun sekali naik ke atas.

Setelah menempuh perjalanan sekira setengah jam kami akhirnya tiba di SD Gunung Agung. Beberapa guru masih nampak dan untung saja orang yang saya cari masih ada disana. Seorang guru Agama bernama Parman.

Siapa sebenarnya sosok guru Parman? Apa yang membuat saya jauh-jauh berkunjung?

Semua berawal dari pertengahan 1984, saat Parman mendapat surat pengangkatan sebagai guru di SDN Gunung Agung, Kokap, Kulon Progo. Dalam angannya ia membayangkan akan menempati salah satu sekolah di daerah Gunung Agung, yang berjarak kurang lebih 8 km dari tempat tinggalnya. Daerah tersebut aksesnya termasuk gampang. Untuk mencapai lokasinyabisa ditempuh dengan menggunakan kendaraan umum.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun