Waktu baru menunjukkan pukul setengah 4 sore ketika sepeda motorku perlahan meninggalkan pusat kota Tulungagung. Sesuai dengan rencana semula saya menuju ke sebuah toko di jalan Pangeran Diponegoro. Di sana ternyata sudah menunggu rekan saya dengan rombongannya (Putri dan Ayahnya).
Tak butuh waktu lama menuju meeting point tersebut. Maklum saja, tempat tinggal saya tak jauh dari lokasi tersebut sekira 400 meter. Sekedar menyapa dan langsung saja motor kami melaju menuju arah Selatan kota Tulungagung. Tujuan kami seperti rencana sebelumnya adalah ke sebuah pura Hindu yang berada di kota ini dan sebuah candi yang berlokasi tak jauh dari pura tersebut. Rencana yang terinspirasi dari kisah perjalanan kami di candi Penampihan.
Ketika pertama kali rekan saya melontarkan ide berkunjung ke Pura tersebut, terus terang saja saya penasaran. Maklum saja selama ini saya justru tidak tahu jika ternyata di kota ini juga memiliki Pura.
Sepeda motor kami terus menuju daerah kecamatan Boyolangu, Tulungagung. Jalan kearah lokasi sangat bagus, jalannya lurus, aspalnya juga terasa enak saat sepeda motor melintasinya. Apalagi sore itu cuaca cukup bagus tidak begitu terik namun tidak juga mendung. Kontan saja kami dengan leluasa melewati jalan-jalan kabupaten menuju Sanggrahan.
Di sebuah toko kecil di jalan desa tiba-tiba saja motor rekan saya berhenti. Ternyata ada sesuatu yang hendak dibeli.
“ Bawa air minum?” tanya rekan saya,
“Tidak, ah nanti saja,” jawab saya,
Entah kenapa rekan saya tetap membeli air minum dan menyerahkan sebotol air mineral buat saya. “Nanti pasti butuh,” kata teman saya.
Sejenak saya menduga-duga seperti apa lokasi yang akan kami tuju. Dan satu lokasi yang 3 tahun lalu pernah saya datangi terlintas di benak saya. Di sana ada sebuah candi yang terletak di puncak bukit. Candi yang disebut dengan Candi Dadi. Tapi mungkinkah itu tujuan kami, karena kalau benar-benar itu berarti harus siap-siap melewati jalanan yang menanjak. Menuju puncak jika cepat butuh waktu sekira 30 menit itupun sana kesana siang hari.
Sepeda motor kembali melaju melintasi jalan desa. Kami melewati rumah-rumah penduduk dan hutan yang tersisa di kabupaten ini. Melintasi jalanan ini makin kuat dugaan saya, tujuan kami adalah candi Dadi.
Akhirnya kami berhenti di sebuah rumah berdinding gedhek (anyaman bambu). Dari luar saya bisa melihat simbol-simbol keagamaan (Agama Hindu). Tercium pula asap dupa yang baunya menjangkau hingga luar rumah.
Sesaat terjadi pembicaraan antara Ayah rekan saya dan pemilik rumah. Ia menyuruh kami lagsung saja melihat lokasi pura yang ternyata tak jauh dari rumah ini. Pura yag dimaksud ternyata mirip sebuah tugu dari beton yang belum selesai dibangun. Di dekat lokasi tersebut nampak seorang ibu-ibu yang ternyata istri dari pemilik rumah tadi. Kami memperkenalkan diri dan ibu bercerita mengenai ayah rekan saya dan seputar Pura ini.
Tak lama kemudian muncul Ayah teman saya. Ia menyebut satu lokasi dan kami ( saya dan rekan saya) akan dipandu oleh putra dari pemilik rumah. Ayah teman saya tidak ikut karena ada acara mendadak sedangkan putrinya juga tidak karena kondisi jalan yang tidak memungkinkan.
Sekira pukul empat sore kami mulai menuju lokasi candi Dadi. Berada di paling depan adalah pemandu, di tengah rekan saya dan saya sendiri berada di paling belakang.